BAB II
BIOGRAFI ABDURRAHMAN
WAHID
A.
Riwayat
Hidup Abdurrahman Wahid
Jombang
merupakan salah satu kota kecil yang berada di wilayah Jawa Timur. Kota yang merupakan
saksi bisu lahirnya sejumlah tokoh besar dalam gerakan sosial keagamaan.
Diantara tokoh-tokoh tersebut anatara lain KH. Hasyim Asy’ari, KH. Wahid
Hasyim, KH. Abdul Wahab Hasbullah, KH. Bisri Syamsur dan sejumlah tokoh-tokoh
besar lainnya. Termasuk juga tokoh besar bangsa ini yang akan menjadi pembahsan
dalam penulisan ini. Beliau adalah KH. Abdurrahman Wahid, walaupun beliau
sekarang sudah almarhum namun pemikiran dan sepak terjang beliau telah menjadi
inspirasi hidup kita, memotivasi kita untuk selalu berfikir demokratis dalam
setiap hidup.
Abdurrahman
Wahid lahir di Denanyar,
Jombang, Jawa Timur pada tanggal 4 Agustus 1940.[46]
Abdurrahman Wahid adalah putra pertama dar KH. Wahid Hasyim dan Ny. Sholihah.
KH. Wahid Hasyim adalah putra dar KH. Hasyim Asy’ari yang merupakan tokoh
pendiri Nahdhlotul Ulama (NU) dan juga tokoh pendiri pondok pesantren Tebu
Ireng Jombang, Jawa Timur. Sedangkan ibunya merupakan putri dari KH. Bisri Syansuri
yang merupakan salah satu tokoh pendiri NU juga. KH. Bisri Syansuri pernah
menjadi Ras Aam PBNU setelah KH. Wahab Hasbullah.
Abdurrahman
Wahid memilki nama lengkap Abdurrahman Ad Dakhil. Ad Dakhil diambil oleh KH.
Wahid Hasyim dar tokoh pada masa Dinasti Umayyah yang artinya penakluk. Namun
nama Ad Dakhil tidak cukup dikenal dan kemudian diganti Wahid sehingga kemudian
dkenal dengan Abdurrahman Wahid. Abdurrahman Wahid merupakan putra pertama dari
keenam bersaudara, keturunan keluarga muslim terhormat di Jawa Timur. Ayahnya
selain seorang ulama juga seorang negarawan yang ulung. KH. Wahid Hasyim
tercatat sebagai salah satu tokoh yang menandatangai Piagam Jakarta dan
mendapat gelar pahlawan nasional. Beliau pernah menjadi ketua umum pertama
partai Majelis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi) yang merupakan penjelmaan
baru dari Majelis Islam A’la
Indonesia (MIAI). MIAI sendiri berdiri pada tahun 1939. KH. Wahid Hasyim
diangkat menjadi menteri
agama dua kali yaitu pada masa kabinet Republik Indonesia Serikat dan kabinet
presidensil pada tahun 1945.
KH. Abdurrahman
Wahid atau akrab dipanggil dengan Gus Dur. Gus adalah gelar dikalangan Islam
jawa yang diberikan
kepada anak laki-laki dari seorang ulama terkenal, yang digunakan dalam dua
pengertian. Pertama, dalam pengertian keagamaan, sebutan ini merujuk
pada berkah Ilahi dan karomah yang diasosiasikan kepadanya, yang
diturunkan dari generasi ke generasi menurut keturunan kyai. Karena itu maka
seorang Gus dianggap mempunyai kemampuan bawaan yang dikenal dengan sebutan
Ilmu Laduni untuk menghafal Al Qur’an dan ilmu-ilmu ke-Islaman. Kedua, Gus
juga digunakan dalam pengertian manja dan nakal, sebuah reputasi yang layak
dinisbatkan kepada beberapa orang diantara mereka yang mereka disebut dengan
nama panggilan tersebut.[47]
Ia menghabiskan masa kanak-kanaknya didalam lingkungan pesantren milik kakeknya
KH. Hasyim Asy’ari.
Berkat bimbingan
ibunya, Gus Dur pada usia 4 tahun telah mampu membaca Al Qur’an beserta Ilmu
Tajwidnya dan ditambah lagi dengan kehidupan pesantren yang terbiasa akan
kajian-kajian kitab kuning berbahasa arab tanpa syakal dan tanpa arti dalam
bahasa Indonesia maupun Jawa. Dan pada usia 4 tahun pula Gus Dur tinggal
bersama ayahnya di Jakarta Pusat, ketika itu Wahid Hasyim di percayai
mengepalai shumubu, semacam kantor urusan agama atas permintaan
pemerintahan Jepang.[48]
Sejak tinggal di Jakarta bersama ayahnya, Gus
Dur langsung dibimbing oleh ayahnya dan sekaligus mendapatkan wawasan yang
cukup. Dan sejak awal mula ini ia diperkenalkan ayahnya dengan dunia yang
sangat berbeda dari kehidupan pesantren, yaitu dunia perkotaan yang
kosmopolitan. Belum lagi didukung dengan ayahnya yang mempunyai banyak relasi
dengan berbagai lapisan masyarakat baik pribumi maupun orang dari luar serta
berbagai tokoh, baik dari kalangan agamawan, nasionalis, politikus maupun
pemimpin komunitas termasuk Tan Malaka, Mohammad Hatta, anak muda bernama
Munnawir Sadzali (dari kalangan mahasiswa) serta seorang Jerman Williem
Iskandar Bueller yang masuk Islam. Dengan relasi pergaulan ayahnya yang luas,
Gus Dur sejak kecil telah diperkenalkan dengan orang-orang yang memiliki latar
belakang dan ideologi yang berbeda-beda.
B. Latar
Belakang Pendidikan Abdurrahman Wahid
Pendidikan
sebagai sebuah proses kehidupan, ia tidak hanya membicarakan proses pendidikan
di bangku sekolah saja. Namun pendidikan tidak terlepas dari peran serta
masyarakat seluas-luasnya, baik pendidikan informal, pendidikan formal di
sekolah, pendidikan luar sekolah yang dilembagakan, media massa sebagai “guru
tersamar”, dan segala kebijakan politik yang menyangkut dunia pendidikan.
Semakin jelas bahwa menyelenggarakan pendidikan yang ideal belumlah menjadi hal
yang mudah. Begitupun kami dalam memaparkan proses pendidikan Abdurrahman
Wahid, karena prosesi pendidikan Abdurrahman Wahid dalam kurun skala waktu segi
informal mempengaruhi dalam pemikiran-pemikirannya terkait konsep pluralisme
dan humanisme.
Abdurrahman
Wahid dilahirkan di tengah-tengah kehidupan pesantren yang penuh nuansa etika,
moral dan pendidikan agama. dari sinilah awal dasar-dasar pendidikan agama
ditanamkan oleh Ibunya. Ketika baru berusia 4 tahun, ilmu Al Qur’an dan bahasa
Arab pun telah dikuasai meski belum lancar. Ketika menginjak usia 4 tahun ia
mengikuti jejak perjuangan ayahnya di Jakarta dan ia dimasukkan pada sekolah yang
tergolong bonafit, namun ia lebih menyukai kehidupan yang wajar dengan memilih
sekolah biasa saja. Abdurrahman Wahid masuk sekolah dasar KRIS Jakarta Pusat
mulai kelas 3-4, tetapi kemudian pindah ke Sekolah Dasar Matraman Perwari,
Jakarta Pusat dekat rumahnya yang baru.[49]
Pada saat di
Jakarta pula, Abdurrahman Wahid juga mengikuti les privat bahasa Belanda. Guru
lesnya bernama Willem Buhl, seorang Jerman yang telah masuk Islam, yang
mengganti namanya menjadi Iskandar. Untuk menambah bahasa Belanda tersebut,
Buhl selalu menyajikan musik klasik yang biasa dinikmati oleh orang dewasa.
Inilah pertama kalinya persentuhan Abdurrahman Wahid dengan dunia Barat dari
sini pula ia mulai tertarik dan mencintai musik klasik.
Setelah ayahnya
meninggal, Ibunya mengambil alih pimpinan keluarga dan membesarkan keenam
anak-anaknya. Pada tahun 1954 Gus Dur melanjutkan sekolah di SMEP (Sekolah
Menengah Ekonomi Pertama), tinggal bersama keluarga Haji Junaidi (teman ayahnya
dan seorang aktivis Majlis Tarjih/penasihat Agama Muhammadiyah) di Kauman
Yogyakarta dan untuk melengkapi pendidikan agama serta memperdalam Ilmu Bahasa
Arab, maka ia mengatur jadwalnya, seminggu 3 kali untuk mengaji dengan Kyai Ali
Ma’shum di Pondok Pesantren Al Munawwir Krapyak. Gus Dur adalah anak nakal dan
bandel, waktunya dihabiskan untuk menonton sepak bola dan film sehingga tidak
cukup waktu untuk mengerjakan pekerjaan rumahnya dan ujung-ujungnya ia harus
tinggal kelas. Baginya, pelajaran yang diterima di kelas dirasa tidak cukup
menantang. Alih-alih, ia menghabiskan waktu untuk nonton sepak bola dan membaca
buku.
Meskipun
kemampuannya dalam Bahasa Inggris adalah baik dan mampu membaca tulisan dalam
Bahasa Perancis dan serta Jerman, namun di Yogyakarta kemampuan membacanya
melesat jauh dan melahab banyak buku, antara lain: Das Kapital (Karl
Max), What Is Tobe Done (Lenin), dan ia mencoba memahami tulisan-tulisan
Plato dan Aristoteles serta ia tertarik ide Lenin tenang keterlibatan sosial
secara radikal, seperti dalam Infantile Cimmunism (kekiri-kirian
penyakit kekanak-kanakan) dan dalam Little Red Book-Mao (kutipan
kata-kata ketua Mao).[50]
Akan tetapi bagi
Gus Dur, topik yang sangat menarik perhatiannya bukanlah politik atau filsafat
yang dipelajari sebagai sesuatu yang abstrak, namun bagaimana mempunyai sifat
manusiawi. Pada waktu itu, dan kemdian sepanjang hidupnya, ia sangat suka
memahami kepelikan sifat manusia.
Setelah tamat
SEMP tahun 1957, Kyai Bisri Syamsuri memindahkan Gus Dur, hal ini disebabkan
karena hobi menonton film yang kelewat batas. Untuk mondok di Magelang dan
berada dalam asuhan dan bimbingan Kyai Khudori, pengasuh Pondok Pesantren Tegal
Rejo. Dari Kyai Khudori inilah Gus Dur banyak belajar tentang dunia mistik dan
tasawuf. Dibawah Kyai Khudori Gus Dur mulai melakukan ziarah kemakam keramat
para wali di Jawa. Hal ini dilakukan pada hari dan waktu tertentu.
Setelah dua
tahun berkutat di Pesantren Tegal
Rejo, pada tahun 1959, KH. Abdul Fatah Hasyim, pamanya meminta Gus Dur (usia
19 tahun) membantu mengurusi sekolah Mualimat di Pondok Pesantren Tambak Beras
Jombang, jabatannya
lumayan keren sebagai sekretaris Pondok Pesantren. Tak sampai setahun ia naik
menjadi guru. Namu belajar ngaji tak pernah ia tinggalkan. Di Madrasah Tambak
Beras inilah, ia jatuh hati kepada muridnya berama Siti Nuriyah yang sejak 12
tahun belajar disana. Siti Nuriyah adalah anak dari H. Abdus Syukur, teman
akrab pamannya
dan muruid kakeknya. Pada usia 22 tahun, Gus Dur menamatkan beberapa kitab
ternama standar Pesantren, sehingga ia dapat dikatakan telah memenuhi syarat
untuk menjadi seorang alim.
Dalam usia itu,
dia berangkat menuju Mekkah untuk menunaikan ibadah Haji dan melanjutkan
studinya di Al-Azhar Islamic University Mesir. Sebelum berangkat, pamannya yang sangat
menyayanginya menganjurkan agar ia mencari istri terlebih dahulu. Akhirnya,
dengan berat hati ia berangkat ke Mesir menumpang kapal laut. Sesampainya ia di
Mesir, ijazah sekolahnya tak berlaku di negeri piramida itu. Prektis selama dua
tahun disana, waktunya terbuang hanya untuk mengurus hal ihwal ijazah tadi.
Hingga akhirnya
ia bisa diterima di Fakultas Syariah, Universitas Al-Azhar, hatinya malah tak
terpuaskan, ia belajar di Masjid, materi yang diajarkan persis di Pesantren,
misalnya ia harus belajar Alfiah lagi, padahal di Pesantren sudah Khatam.
Untuk menghilangkan rasa bosan, sebagai gantinya ia habiskan waktunya di
salah satu perpustakaan yang lengkap di Kairo, termasuk di America
University Library, pusat pelayanan informasi Amerika dan toko-toko buku di
mana dia dapat memperoleh buku yang ia kehendaki.
Di tempat itulah
Gus Dur menemukan buku mengenai John F. Kenedy dan novel-novel serta sejumlah
karya tentang sejarah, filsafat, dan musik. Setiap hari Gus Dur menyempatkan
diri melihat film-film Perancis. Di sini Gus Dur tampak bisa menikmati musik
kesukaannya, yaitu musik-musik
klasik, nonton film dan main sepak bola. Ada kondisi yang menguntung saat Gus
Dur berada di Mesir. Di bawah pemerintahan presiden Gamal Abdul Nasser, seorang
nasionalis yang dinamis. Kairo menjadi era keemasan kaum intelektual. Kebebasan
untuk bertukar pendapat mendapat perlindungan yang cukup. Misalnya, para
pendukung Negara Islam di Mesir melakukan debat terbuka dengan kaum sosialis
dibuku-buku, surat kabar dan kolom-kolom majalah. Perdebatan ini lebih menarik
dari pada harus menghabiskan waktu untuk kuliah di kampus Al Azhar.
Hal ini
dilakukan respek atas pemikir-pemikir Mesir modern. Menurut salah satu rekan
dekatnya ketika belajar di Mesir, Gus Dur adalah pengagum dan pemerhati
pandangan-pandangan Toha Husain dan Ali Abd Rozik, yang menurut kalangan
Al-Azhar, dianggap kontroversial, sekuler dan membias dari akidah Islam.
Akibatnya Gus Dur tidak naik kelas dikuliahnya di Al Azhar, ia lebih aktif
diperpustakaan, nonton film dan kegiatan di organisasi PPI (Persatuan Pelajar
Indonesia) Kairo, suatu organisasi mahasiswa Indonesia di timur tengah. Gus Dur
menjadi ketua PPI masa bakti 1964-1970. Mendengar kabar kegagalanya kuliah di
Mesir, gadis Nuriyah mengirim surat kepadanya bernada mengibur. Meski begitu,
bagi Gus Dur belajar di Mesir bukanlah tanpa kesan. Menurut pengakuannya, di
Mesir itulah dia banyak memperoleh paham “sosialisme yang berbudaya”. Orang-orang
arab, kata Gus Dur sering mempersoalkan sosialisme dari sudut budaya.
Hal ini
dilakukan karena mereka tidak punya tenpat mempersoalkan sosialisme dari sudut
agama. merasa tak berkembang, Gus Dur lalu memutuskan keluar dari Universitas
Al Azhar. Dari Mesir ia pergi ke Irak. Kebetulan ia mengetahui banyak tentang
fakultas sastra Universitas Bagdad, yang mutunya cukup bagus. Ia berniat
mendaftar disana.
Pada tahun 1966,
dalam usia 26 tah[51]un
Gus Dur masuk dalam Departeman Of Religion di Universitas Bagdad Irak.
Sebuah negara modern yang memiliki peradaban Islam yang cukup maju. Dari tahun
1966-1970, di Irak ia mendapat ransangan intelektual yang tak pernah ia
dapatkan di Mesir. Dia menyatakan “di Bagdad, saya mulai berfikir secara
sistematis”. Disini masyarakat arab klasik dikaji secara empiris dengan
metodologi yang tajam. Dia menemukan gairah intelektualnya kembali dilingkungan
yang baru itu.
Gus Dur banyak
membaca karya-karya sosiologi seperti Emiel Durkheim. Pada waktu yang sama, Gus
Dur banyak bersentuhan dengan buku-buku besar karya sarjana orientalis Barat. Di
samping itu yang menarik lagi adalah perpustakaan Universitas penuh dengan
buku-buku mengenai Indonesia. Karena itu, Gus Dur diminta untuk meneliti
asal-usul historis Islam di Indonesia. Di luar studi, Gus Dur rajin mengunjungi
makam-makam keramat para wali, termasuk makam Syekh Abdul Qadir Al Jailani,
pendiri Thariqah Qodiriah. Gus Dur juga menggeluti ajaran-ajaran Imam
Junaidi al-Bagdadi, seorang pendiri aliran tasawuf yang diikuti oleh jamaah NU.[52]
Di negeri seribu
satu malam itu, Gus Dur memperoleh gelar Lc setingkat dengan S1 di Indonesia
sastra arab. Kemudian melanjutkan S2 setingkat MA, judul tesisnya sudah diajukan.
Tapi nasib baik belum berpihak padanya, pembimbingnya meninggal dunia. Akhirnya
ia pulang ke Indonesia setelah ia menyelesaikan studinya di Bagdad tahun 1970.
Gus Dur berharap bisa mendaftar di perguruan tinggi di Eropa. Dia merancang
untuk melakukan penjajakan. Untuk memasuki perguruan tinggi tersebut,
dibutuhkan persyaratan bahasa yang ketat yang tidak dapat dipenuhi tanpa ikut
pendidikan satu tahun di sana. Harapan untuk memperoleh penempatan di sebuah
Unversitas di Eropa pupus, karena ternyata kualifikasi-kualifikasi mahasiswa Timur
Tengah tidak diakui di sana. Inilah
salah satu yang memotivasi Gus Dur untuk berangkat ke McGill University Canada.
Untuk mempelajari kajian-kajian keislaman secara mendalam. Namun juga akhirnya
tidak jadi. Setengah bulan disana, akhirnya ia menetap di Belanda, dia tinggal
selama enam bulan dan mendirikan perkumpulan pelajar muslim Indonesia dan
Malaysia yang tinggal di Eropa. Organisasi ini sampai sekarang masih hidup.
untuk biaya selama dirantau, dua kali sebulan ia pergi kepelabuhan untuk
bekerja sebagai pembersih kapal tanker.[53]
Adapun sketsa
singkat perjalanan pendidikan Gus Dur adalah sebagai berikut:
1. Belajar
di Sekolah Dasar (SD) Jakarta, 1947-1953.
2. Belajar
di SMEP (Sekolah Menengah Ekonomi Pertama) di Jakarta dan Yogyakarta,
1953-1957.
3. Belajar
di Pondok Pesantren Krapyak, Yogyakarta, 1954-1957.
4. Belajar
di Pondok Pesantren Tegalrejo, Magelang, Jawa Tengah, 1957-1959.
5. Belajar
di Pondok Pesantren Tambak Beras, sambil mengajar di Madrasah Mu’alimat Tambak
Beras, Jombang, 1959-1963.
6. Belajar
di Ma’had Al-Dirasat Al-Islamiyah (Departemen of Hinger Islamic and Arabic
Studies) Al-Azhar Islamic University, Cairo, Mesir, 1964-1969.
7. Belajar
di Fakultas Sastra Universitas Bagdad Irak, 1970-1974.
8. Menjadi
dekan dan dosen fakultas Ushuludin Universitas Hasyim Asy’ari, Tebu Ireng,
Jombang 1972-1979.
9. Sekeretaris
Pondok Pesantren Tebu Ireng Jombang, Jawa Timur 1974-1979.
10. Pengasuh
Pondok Pesantren Ciganjur, Jakarta Selatan 1979-2009.
11. Pengasuh
Yayasan Pondok Pesantren Denanyar, Jombang 1996-2009.
12. Anggota
dewan kehormatan Universitas Saddam Hussein Bagdad.
Abdurrahman
Wahid menikah pada tanggal 11 Juli 1968 dengan gadis yang bernama Sinta
Nuriyah, putri KH. Abdullah Syukur. Dalam pernikahannya Gus Dur meminta kakeknya
KH. Bisri Syansuri untuk menjadi melamar dan menjadi wakil untuk pengantin
laki-laki. Pesta pernikahannya di langsungkan pada tanggal 11 September 1971.[54]
Dari hasil pernikahannya Gus Dur dikaruniai 4 orang putri yaitu Allisa
Qutrunnada Munawarah, Zanuba Arifah Chafsoh, Anita Chayatunnufus, dan Innayah
Wulandari.
C. Perjalanan
Organisasi Abdurrahman
Wahid
Pada tahun 1972,
Abdurrahman Wahid mulai memberikan ceramah dan seminar secara teratur dengan
berkeliling Jawa. Ia juga menulis kolom untuk majalah berita nasional seperti Tempo
dan juga artikel di Kompas, yang merupakan surat kabar terkemuka
yang dimiliki oleh orang Cina Katolik. Kolom-kolomnya di Tempo dan Kompas
mendapat sambutan baik dan dengan cepat Gus Dur dinggap sebagai pengamat sosial
yang sedabf naik daun.[55]
Di tengah
kesibukan mengajar dan memberikan ceramah, Gus Dur diminta oleh Kyai Bisri
Syamsuri untuk bergabung dengan organisasi Syuriah Nasional NU. Dengan demikian
Gus Dur bergabung dengan Dewan Syuriah pusat NU. Gus Dur menjadi anggota Dewan
Syuriah selama beberapa tahun dengan kakeknya
yang menjabat Rais ‘Am.
Pada tahuun
1980, Kyai Syamsuri meninggal dunia. Dengan kejadian ini, Gus Dur memutuskan
untuk pindah menetap ke Ciganjur, yang terletak di pinggiran selatan Jakarta
secara tetap dengan keluarganya. Dengan menetapnya Gus Dur beserta keluarganya
di Jakarta maka otomatis ia tidak lagi mengajar lagi di Universitas Hasyim
Asy’ari Jombang, melainkan lebih banyak mengurusi organisasi NU sebagai anggota
Dewan Syuriah Pusat. Karena Gus Dur telah menunjukan integritasnya sebagai
anggota Dewan Syuriah Pusat NU, ia diangkat menjadi wakil Khatib Awwal Syuriah
PBNU menggantikan kakeknya Kyai Bisri Syamsuri. Kemudian Gus Dur terlibat dalam
kegiatan LSM. Pertama di LP3ES bersama Dawam Rahardjo, Aswab Mahasin dan Adi
Sasono dalam proyek pengembangan pesantren, kemudian Gus Dur mendirikan P3M
yang dimotori LP3ES.
Kemudian pada
tahun yang sama yakni 1982, Gus Dur juga mendapat politik pertamanya, pada
pemilihan umum legislatif 1982. Gus Dur berkampanye untuk Partai Persatuan
Pembangunan (PPP), sebuah partai Islam yag dibentuk sebagai hasil gabungan 4
partai Islam termasuk NU.
Pada tahun 1983,
Soeharto dipilih kembali sebagai presiden untuk masa jabatan ke-4 oleh Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR) dan mulai mengambil langkah menjadikan Pancasila
sebagai Ideologi Negara. Dari Juni 1983, Gus Dur menjadi bagian dari kelompok
yang ditugaskan untuk menyiapkan respon NU terhadap isu tersebut. Gus Dur
berkonsultasi dengan Al-Qur’an dan Sunnah untuk pembenaran dan akhirnya, pada
Oktober 1983, ia menyimpulkan bahwa NU harus menerima Pancasila sebagai
Ideologi Negara.[56]
Pada tahun 1984,
Gus Dur terpilih sebagai Ketua Umum PBNU pada Mukhtamar ke 27 di Situbondo Jawa
Timur. Kepemimpinanya di Jam’iyyah semakin populer, hingga pada periode
selanjutnya ia terpilih kembali sebagai ketua umum di Muktamar NU ke 29 di
Pondok Pesantren Cipasung, Jawa Barat untuk periode 1994-1999.
Jabatan Ketua
Umum PBNU kemudian dilepas ketika Gus Dur menjabat Presiden ke-4. Meskipun
sudah menjadi presiden, kenylenehannya tidak hilang, bahkan semakin
diketahui oleh seluruh lapisan masyarakat. Dahulu mungkin hanya masyarakat
tertentu, khususnya kalangan Nahdhliyin yang merasakan kontroversi gagasanya.
Sekarang seluruh
bangsa Indonesia ikut memikirkan kontroversi gagasan yang dilontarkan oleh Gus
Dur. Di samping itu, Gus Dur juga pernah menjadi ketua Forum Demokrasi (Fordem)
untuk masa bakti 1991-1999.
Dari paparan
tersebut memberikan gambaran betapa kompleks dan rumitnya perjalanan seorang
Gus Dur dalam meniti kehidupannya, bertemu dengan berbagai macam orang yang hidup
dengan berbagai latar belakang ideologi, budaya, kepentingan, strata sosial dan
pemikiran yang berbeda. pemikiran Gus Dur mengenai agama diperoleh dari dunia
pesantren. Lembaga inilah yang membentuk karakter keagamaan yang penuh etik,
formal dan struktural. Sementara pengembaraanya ke Timur Tengah talah
mempertemukan Gus Dur dengan berbagai corak pemikiran agama, dari yang
konservatif, simbolik-fundamentalis sampai yang liberal-radikal.
Dalam bidang
kemanusiaan, pikiran-pikiran Gus Dur banyak dipengaruhi oleh pemikir Barat
dengan filsafat Humanisnya. Secara rasa maupun praktik perilaku yang humanis,
pengaruh para kyai yang mendidik dan membimbingnya mempunyai andil besar dalam
membentuk pemikiran Gus Dur. Kisah tentang Kyai Fatah dari Tambak Beras, KH. Ali
Ma’syum dari Krapyak dan Kyai Khudori dari Tegalrejo Magelang telah membuat
pribadinya menjadi orang yang sangat peka pada sentuhan-sentuhan kemanusiaan.
Dari segi
kultur, Gus Dur melintasi tiga model lapisan budaya yaitu kultur dunia Pesantren
yang sangat hierarkis, tertutup penuh etika yang serba formal, kultur dunia
Timur yang tebuka dan keras dan budaya Barat yang liberal, rasional dan
sekuler. Kesemuanya tampak masuk dalam pribadi dan membentuk sinergi. Hampir
tidak ada yang secara dominan berpengaruh membentuk pribadi Gus Dur. Inilah
sebabnya mengapa Gus Dur selalu kelihatan dinamis dan terkadang sulit dipahami.
Kebebasannya dalam berpikir dan luasnya cakrawala pemikiran yang dimilikinya
melampui batas-batas tradisionalisme yang dipegangi komunitasnya sendiri.[57]
Gus Dur tutup
usia pada tanggal 30 Desember 2009, pukul 18.45 WIB di Rumah Sakit Cipto
Mangunkusumo (RSCM), Jakarta pada usia 69 tahun. Sepanjang hidupnya, Gus Dur
telah mendedikasikan hidupnya dengan aktif diberbagai organisasi, antara lain
sebagai: Wakil Ketua Himpunan Pemuda Indonesia di Kairo-United Arab dan Mesir
(1965). Dekan dan Dosen Fakultas Ushuluddin Universitas Hasyim Asy’ari, Jombang
(1972-1974), Pengasuh Pondok Pesantren Ciganjur Jakarta (1979-wafat),
mendirikan Pusat Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) Jakarta (1983),
Ketua Tahfidz PBNU (1989-1999), anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)
(1989-1999), mendirikan Forum Demokrasi (Fordem) (1991-wafat), Ketua Dewan
Syuro DPP Partai Kebnagkitan Bangsa (PKB) (1998-wafat), Presiden Republik
Indonesia (1999-2001), mendirikan Yayasan Manusia Merdeka, Jakarta (2001),
Penasehat Solidaritas Pelanggaran HAM (2002-wafat), Penasehat Gerakan Moral
Rekonsiliasi Nasional (2003-wafat) dan Pendiri The Wahid Institute, Indonesia
(2004).
D. Karya-karya
Abdurrahman Wahid
Awal karier
Abdurrahman Wahid dalam pembaharuan pemikiran keIslaman di Indonesia dimulai
dari Jombang ketika beberapa tulisannya dikirim ke beberapa media massa seperti
Kompas, Tempo dan Jurnal Prisma. Tema utama dari tulisan Abdurrahman Wahid
adalah permasalahan pesantren dan modernitas. Dalam kurun waktu 1970-an sampai
1980-an Gus Dur sangat kreatif dalam menulis. Pada masa ini bisa disebut
sebagai periode ilmiahnya. Pada periode ini beliau sangat gemar menggunakan
metodologi ilmu sosial, terutama antropologi untuk menjelaskan ideologinya.
Pemikiran Gus Dur terfokus pada persoalan sosial, budaya, politik dan keagamaan
yang langsung berkaitan dengan dunia pesantren.
Kumpulan tulisan Gus Dur
sejak tahun 1978-1980 kemudian diakumulasikan dalam sebuah buku dengan judul Bunga
Rampai Pesantren: Kumpulan Karya Tulis Abdurrahman Wahid. Sedangkan
berbagai artikel Abdurrahman Wahid sejak tahun 1980-1990 dijadikan sebuah buku
dengan judul Muslim di tengah Pergumulan, yang banyak membahas tentang
modernitas dan pemahaman yang lebih luas tentang ke-Islaman dan ke-Indonesiaan. Pada
periode ini berbagai tulisannya tersebar ke berbagai media massa selain Prisma,
Kompas, Pesantren melainkan juga di Panji Masyarakat, Aula, Pelita, Editor,
Amanah, Media Indonesia, Jawa Pos Forum Keadilan dan lainnya.
Kemudian pada
periode tahun 1990-an akhir tulisan Abdurrahman Wahid selain berbentuk artikel
dan kolom juga berbentuk kata pengantar dari buku-buku. Berikut ini adalah
daftar beberapa karya-karya Abdurrahman Wahid baik dalam bentuk buku,
terjemahan, pengantar dalam makalah, maupun artikel.
1. Dalam
bentuk buku meliputi:[58]
a. Bunga
Rampai Pesantren, Jakarta: CV. Dharma Bhakti, 1978.
b. Muslim
di Tengah Pergumulan, Jakarta: Lappenas, 1981.
c. Kyai
Nyentrik Membela Pemerintah, Yogyakarta: LkiS, 1999.
d. Tabayun
Abdurrahman Wahid, Yogyakarta: LkiS, 1998.
e. Islam,
Negara dan Demokrasi: Himpunan Percikan Perenungan Abdurrahman Wahid,
Yogyakarta : Erlangga, 1999.
f.
Prisma Pemikiran
Abdurrahman Wahid, Yogyakarta: LkiS, 1999.
g. Tuhan
Tak Perlu Dibela, Yogyakarta : LkiS, 1999.
h. Abdurrahman
Wahid Menjawab Tantangan Perubahan, Jakarta: Kompas, 1999.
i.
Membangun Demokrasi,
Bandung : PT. Rosda Karya, 1999.
j.
Mengurai Hubungan Agama
dan Negara, Jakarta : Grasindo, 1999.
k. Melawan
Melalui Lelucon, Jakarta : Kompas, 2005.
l.
Islamku, Islam Anda,
Islam Kita, Jakarta : Kompas, 2005.
m. Membaca
Sejarah Nusantara, 25 Kolo Sejarah Abdurraman Wahid, Yogyakarta : LkiS, 2010.
n. Islam
Kosmopolitan, Jakarta : The Wahid Institute, 2007
2. Dalam
bentuk terjemahan :
a. Sayyid
Huseib Nasr, Islam dalam Cita dan Fakta, Jakarta : Lappenas, 1981.
3. Dalam
bentuk pengantar buku:
a. Benarkah
Kyai Membawa Perubahan Sosial. Sebuah Pengantar, dalam Hiroko Hirokasi, Kyai
dan Perubahan Sosial, terj. Umar Basalim dan Andi Muarly Ramli, Jakarta : P3M,
1989.
b. Kasus
Penafsiran Ulang Yang Terputus, dalam Masdar F. Mas’udi, Agama dan Keadilan,
Risalah Zakat (Pajak) Dalam Islam, Jakarta : Pustaka Firdaus, 1991.
c. Agama
Ideologi dan Pembangunan, dalam Religion, Ideologi And Development, terj. Son
Haji Sholeh, Jakarta : P3M, 1991.
d. Hasan
Hanafi Dalam Eksperimentasinya, dalam Kazuo Simoghaki, Kiri Islam, Antara
Modernisme dan Postmodernisme : Telaah Kritis Atas Pemikiran Hasan Hanafi,
terj. Imam Aziz dan Jadul Maulana, Yoyakarta : LkiS, 1993.
e. Van
Bruinessen dan Pencariannya, dalam Kitab Kuning Pesantren dan Tarikat, Tradisi
Islam di Indonesia, Bandung : Mizan, 1995.
f.
Pengantar dalam
Pradjarta Dirjosanjoto, Memelihara Umat, Kyai Pesantren, Kyai Langgar di Jawa,
Yogyakarta : LkiS, 1999.
g. Pengantar
dalam Greg Fealy, Greg Barton (ed.), Tradisonalisme Radikal, Persinggungan
Nahdhlatul Ulama-Negara, Yogyakarta : LkiS, 1997.
4. Dalam
bentuk epilog buku :
Tantangan Kepemimpinan Islam: Mampukah
Menjawab Religiusitas yang Keropos, epilog dalam Maksum (ed.), Mencari Pemimpin
Umat, Bandung : Mizan, 1999.
5. Dalam
bentuk antologi buku :
a. Pesantren
Sebagai Sub Kultur, dalam Dawam Raharjo (ed.), Pesantren dan Pembaharuan,
Jakrta : LP3ES, 1974.
b. Republik
Bumi Sorga, dalam Prisma II Agama dan Tantangan Zaman : Pilihan Artikel Prisma
1975-1984, Jakarta : LP3ES, 1975.
c. Menjadikan
Hukum Islam Sebagai Penunjang Pembangunan, dalam Prisma II Agama dan Tantangan
Zaman : Pilihan Artikel Prisma 1976-1984, Jakarta : LP3ES, 1976.
d. Peranan
Umat Dalam Berbagai Pendekatan, dalam Abdurrahman Wahid, Universalisme dan
Kosmopolitanisme Peradaban Islam, edisi yang terbatas, 1991.
e. Sosialisme
Nilai-Nilai Demokrasi, dalam Mashuri Amin (ed.), Agama Demokrasi dan
Transformasi Sosial, Yogyakarta : LKPSM, 1993.
f.
Santri Abangan dan
Kehidupan Orang Jawa : Teropong Dari Pesantren, dalam Prisma II Agama dan
Tantangan Zaman : Pilihan Artikel Prisma 1975-1984, Jakarta : LP3ES, 1976.
g. Agama
dan Demokrasi, dalam redaksi Dian/Interfedai, Spiritualitas Agama Baru,
Yogyakarta : Seri Dian/Interfedai, 1994.
h. Romo
Mangun dan Moral Absolut, dalam TH. Sumartana (ed.), Mendidik Manusia Merdeka, Romo
Yb. Mangun Wijaya, Yogyakarta : Seri Dian/Infedai, 1995.
i.
Dialog Agama dan
Masalah Pendangkalan Agama, dalam Komarudin Hidayat dan Ahmad Gous (ed.),
Passing Over, Melintasi Batas Agama, Jakarta : Gramedia Paramadina, 1998.
j.
Kebebasan Beragama
dalam Hegemoni Beragama, dalam Komarudin Hidayat dan Ahmad Gous (ed.), Passing
Over. Melintasi Batas Agama, Jakarta : Gramedia Paramadina, 1998.
k. Dilema
Pendekatan Tarikh, dalam Imam Baihaqie (ed.), Kontroversi Aswaja, Yogyakarta :
LkiS, 2000.
Adapun artikel
yang ditulis Abdurrahman Wahid antara lain Pesantren Pendidikan Elitis atau
Populis tahun 1976, Mahdiisme dan Protes Sosial Tahun 1977, Agama Sosiologi dan
pembangunan tahun 1977, Islam dan Kebangsaan tahun 1993 dan lain sebagainya.
Sedangkan dalam bentuk makalah antaralain Tradisi Keilmuan Islam tahun 1984,
Kearifan Masyarakat dalam Pengelolaan Keserasian Sosial Ditinjau dari Segi
Agama tahun 1978, NU dan Pandangannya Tentang Kekuasaan tahun 1993 dan masih
banyak lagi yang lainya yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu.
E. Konstruksi
Pemikiran Abdurrahman Wahid
Sebagai seorang pemikir ulung
Abdurrahman Wahid Mempunyai karakter pemikiran yang berbeda dengan para tokoh
pemikir lainya. Hal ini dimungkinkan karena setiap tokoh sangat dipengaruhi
oleh beberapa setting background, konsdisi sosial, geografis, historis, latar
pemikirannya dan sebagainya.
Pada sisi
pemikiran, sejak terpilih sebagai Ketua Umum Tanfidhliyah PBNU, Gus dur telah
menjadi salah satu seorang intelektual muslim Indonesia yang sangat berpengaruh
dan diperhitungkan. Hal ini seolah sangat didukung oleh posisinya di NU sebagai
salah satu organisasi terbesar yang ada di Indonesia, melainkan juga karena
percikan-percikan pemikirannya yang progresif tentang Islam, Pluralitas,
Pancasila, Demokrasi dan Humanis.
Dougles E.
Ramage, Greg Barton, Adam Schwarz, Mitsuo Nakamura dan Eimar M. Sitompul,
secara umum meskipun tersirat mereka sepakat menyebutkan sebagai salah seorang
intelektual Indonesia yang paling berpengaruh dalam diskursus pemikiran Islam
yang kritis dan progresif.[59]
Menurut mereka, Gus Dur pada satu sisi dipandang banyak orang sebagai figur
yang genius dan karismatik setingkat Wali. Namun pada sisi lain ia ditafsirkan
oleh banyak orang khususnya kelas menengah terdidik Indonesia, sebagai politisi
yang sekuler atau sebagai intelektual liberal. Kedua posisi inilah, dalam
perjalanan sosial Gus Dur menjadi kekuatan sekaligus menjadi sasaran kritik
dari banyak kalangan Islam sendiri. Hal tersebut menjadi penting untuk kita
perhatikan karena setidaknya itu dapat menjadi pintu masuk kita dalam memahami
Gus Dur lebih dalam lagi.
Pemikiran Gus
Dur bisa disebut juga sebagai sufi sejati. Beliau adalah seorang yang murah
hati dan pemaaf, meski kepada orang yang memusuhinya sekalipun. Meski pernah
dicaci karena membela non-muslim, beliau tetap sabar dan tenang. Beliau pun
tidak pernah menaruh dendam kepada siapa saja, tidak pula takut menghadapi
apapun, ikhlas, tanpa pamrih dan mencorakkan pada sisi yang sufistik. Seorang
sufistik sejati selalu menggabunngkan kerja keras dan kepasrahan kepada Tuhan
secara total. Hal tersebut selalu beliau lakukan, termasuk pada saat beliau
akan menjabat menjadi presiden Republik Indonesia waktu itu.
Membaca
pemikiran Gus Dur bararti membaca samudra keilmuan yang begitu besar
cangkupannya. Gus Dur merupakan seorang tokoh intelektual sunni. Pemikirannya
dilatar belakangi oleh kehidupan pesantren dan lingkungan tempat di mana beliau dibesarkan.
Sebagai cucu seorang kyai sekaligus sebagai pendiri salah satu ormas terbesar
di Indonesia yaitu Nahdhatul Ulama atau NU.
Untuk menggali
pemikiran seorang tokoh, maka menjadi penting untuk mengetahui paradigma
pemikirannya. Paradigma yang dimaksud adalah asumsi dasar yang dimiliki oleh
seorang intelektual sebagai dasar pemahaman atas realitas yang ada di sekitarnya.
Dalam hal ini berkaitan dengan paradigma Gus Dur dilihat dalam pengelompokan
ketokohannya.
Sebagai
intelektual Sunni tradisional pada umumnya, Gus Dur membangun pemikirannya
melalui paradigma kontekstualisasi khazanah pemikiran Sunni klasik. Oleh karena
itu wajar saja jika yang menjadi kepedulian utamanya minimal menyangkut tiga
hal. Pertama, revitalisasi khazanah Islam tradisional Ahli Sunnah Wal Jama’ah.
Kedua, ikut berkiprah dalam wacana modernitas. Ketiga, berupaya melakukan
pencarian jawaban atas persoalan konkret yang dihadapi bangsa Indonesia.
Pembelaan dan perlindungan merupakan cerminan komitmen Gus Dur yang tegas
menyatakan bahwa kepada diri kita sebagai manusia dan kemanusiaan itulah yang
mengajarkan kepada kita bahwa kita adalah anak bangsa, bersama-sama menciptakan
kehidupan di muka bumi dalam lingkup negara kita. Sebuah Negara Pancasila bukan
Negara Agama.[60]
Konstruksi
pemikiran Abdurrahman Wahid antara lain[61] :
1. Pemikiran Religiustik
Abdurrahman
Wahid atau Gus Dur dilahirkan di tengah-tengah kehidupan pesantren yang penuh
dengan nuansa etika, moral dan pendidikan agama. pemikiran Gus ur mengenai
agama diperoleh dari dunia pesantren yang sangat akrab dengan budaya lokal.
Dari pesantren
itulah yang membentuk karakter keberagaman seorang Gus Dur. Dapat dijadikan
sebuah contoh dari sifat kereligiusan seorang Gus Dur yaitu sewaktu beliau
membantu mengurusi sebuah sekolah Mualimat di Pondok Pesantren Tambak Beras
Jombang, jabatannya lumayan strategis yaitu sebagai sekretaris Pondok
Pesantren. Tak sampai satu tahun beliau langsung di angkat menjadi dewan asatidz
atau dewan guru di Pondok Pesantren tersebut.
2. Pemikiran Demokratistik
Abdurrahman
Wahid dalam sikapnya yang demokratis yaitu ketika beliau lebih menekankan untuk
membina kerukunan antara sesama pemeluk agama, bagaimanapun juga satu agama
dengan agama lain jelas berbeda. ia mencontohkan Kristen dan Yahudi tentu tidak
bisa menerima konsep dasar, demikian juga sebaliknya.
Kemudian dalam
konteks ketuhanan, sebab memang berbeda. Gus Dur menilai bahwa pada wilayah
teologis yaitu masalah keyakinan. Dalam masalah keyakinan (keimanan)
masing-masing tradisi agama mempunyai tradisi teologis sendiri-sendiri.
3. Pemikiran Liberalistik
Abdurrahman Wahid
sangat menghormati dan menjunjung tinggi HAM. Bagi Gus Dur menjunjung tinggi
HAM merupakan perintah dan konstitusi dan juga ajaran Islam yang paling besar.
Gus Dur sangat apresiatif terhadap liberal yang menempatkan manusia sebagai
makhluk yang bebas dan berdaulat.
Kemudian Gus Dur
menambahkan, dengan kebebasan yang dimiliki oleh manusia, maka mereka akan
mampu berkembang menjadi individu yang kreatif dan produktif sehingga mampu
mengemban tugas mulia sebagai khalifah di muka bumi. Namun Gus Dur menolak
secara tegas terhadap masyarakat tanpa aturan dan norma, karena hal itu bukan
sebuah kemustahilan, justru sebaliknya akan bisa menimbulkan anarki dan situasi
yang penuh kerusakan.
4. Pemikiran Neo-Tradisionalistik
Neo-tradisionalis
merupakan bentuk pemikiran mutakhir yang mencoba membangun kesadaran akan
pentingnya tradisi dalam struktur kehidupan. Neo-tradisionalisme Abdurrahman
Wahid adalah memilih menyajikan tradisi dalam bahasa kemodernan. Menurut
Abdurrahman Wahid memahami manusia modern beserta pengetahuan modern yang
membentuknya agar tetap akrab dengan agama dan akar-akar tradisi bahkan
menjadikan Islam sebagai world view untuk memberi makna kehidupan
ditengah dunia yang kehilangan orientasinya.
Abdurrahman
Wahid berpendapat bahwa ajaran Islam lebih baik ditempaykan sebagai komponen
yang membentuk dan mengisi kehidupan bermasyarakat warga negara kita. Fungsi
ini disebut dengan komplementer. Pendekatan yang digunakan Abdurrahman Wahid
dalam usaha menampilkan citra Islam ke dalam kehidupan kemasyarakatan adalah
pendekatan sosio-kultural. Pendekatan ini mengutamakan sikap mengembangkan
pandangan dan perangkat kultural yang dilengkapi oleh upaya membangun sistem
kemasyarakatan yang sesuai dengan wawasan budaya yang dicapai itu.
Pendekatan ini
lebih mementingkan aktifitas budaya dalam konteks pengembangan lembaga-lembaga
yang dapat mendorong transformasi sistem sosial secara evolutif dan gradual.
Pendekatan seperti ini dapat mempermudah masuknya agenda Islam ke dalam agenda
nasional bangsa secara inklusifistik.
5. Pemikiran Neo-Modernistik
Neo-modernis
pemikiran Abdurrahman Wahid mempunyai asumsi dasar bahwa Islam harus dilibatkan
dalam pergaulan modernisme dan hal itu tidak harus dengan menghilangkan tradisi
Islam yang mapan. Dalil yang mendasari pemikiran Abdurrahman Wahid adalah
“memelihara yang lama yang baik dan mengambil yang baru yang lebih baik”.
Beliau berusaha memadukan antara pemikiran Islam tradisional dan pendidikan
barat modern. Dalam konteks ini Gus Dur menerima pemikiran barat secara makro
namun beliau juga tetap menjadikan Islam tradisional sebagai pondasi kehiduoan.
Neo-modernsme Gus Dur meliputi: Pertama, gerakan yang melakukan
pembaharuan pemikiran Islam agar progresif, bersikap modern terhadap
modernitas, perubahan dan pembangunan. Kedua, Gus Dur melihat
Barat bukanlah suatu ancaman terhadap Islam, tetapi berpeluang untuk mengisi dan
melengkapi, ide-ide dan wacana yang diusung oleh Barat seperti demokrasi,
pluralisme, gender dan perlindungan terhadap HAM menjadi isu utama yang
dikembangkan oleh Gus Dur. Ketiga, Gus Dur mengedepankan sikap ekdlusif
dan liberal terutama dalam menerima realitas faktual pluralitas yang ada
ditengah masyarakat.
6. Pemikiran Pluralistik
Sikap pluralis
Abdurrahman Wahid ini lahir dari bentuk keniscayaan di saat pola keberagaman
agama, kultur, ras, bersama-sama hidup dalam satu komunitas. Dengan sikap dan
kesadaran ini Gus Dur memunculkan toleransi, dialog, kerjasama, solidaritas,
persamaan dan tatanan politik yang demokratis. Dalam pandangan Gus Dur, sikap
pluralis ini perlu dikembangkan untuk membina kerukunan antar umat beragama.
Penerimaan secara teologis merupakan suatu yang signifikan ketika wacana
tersebut dibawa dalam kerangka truth claim dalam beragama. Menurut Gus
Dur, bahwa perbedaan keyakinan secara teologis tidak akan menghalangi untuk bekerjasama
antar Islam dengan pemeluk agama lainnya, terutama dalam menyangkut masalah
kemanusiaan. Baginya, sikap saling pengertian merupakan yang mendasar bagi umat
agama, sehingga dapat bersama-sama melakukan refleksi diri dan bersama-sama
menegakkan moralitas, keadilan dan perdamaian umat manusia.
7. Pemikiran Humanistik
Pemikiran
Abdurrahman Wahid berpijak pada dari suatu humanisme Islam. Humanisme Islam
merupakan dasar normatif dan muara etis dari segenap pemikiran Abdurrahman
Wahid. Sejak pribumisasi Islam, Islam sebagai etika sosial, negara
kesejahteraan Islam hingga pluralitas. Dengan demikian, humanis Abdurrahman
Wahid bukan antroposentrisme yang meniadakan agama dan Tuhan. Sebaliknya ia
berangkat dari pemuliaan atas manusia, dimana manusia menjadi subjek sekaligus
objek humanisme kehidupan, karena Allah telah memerintahkannya. Gus Dur
mendasarkan sikap humanisnya pada pemuliaan Allah atas manusia sehingga Dia
menciptakan manusia dengan kualitas terbaik. Humanis Gus Dur sangat menjunjung
nilai kemanusiaan dan keadilan serta persamaan, karena martabat manusia
terletak pada kebebasan dan rasionalitas setiap individu, maka manusia harus di
hormati martabatnya. Gus Dur selalu memperjuangkan pembelaan terhadap
kemanusiaan serta perlindungannya terhadap kelompok minoritas.
Perlindungan dan
pembelaan Gus Dur adalah koitmen kepada diri kita sebagai manusia dan
kemanusiaan itulah yang mengajarkan kepada kita bahwa kita adalah anak dari
sebuah bangsa, bersama-sama menciptakan kehidupan dimuka bumi dalam lingkup
Negara kita. Perlindungan atas hak dasar manusia, Gus Dur menyebutnya sebagai
universalisme yang bisa diwujudkan melalui perluasan cakrawala keranah
peradaban kosmopolitan modern. Karena Gus Dur menganggap bahwa persoalan manusia
kontemporer hanya bisa diselesaikan melalui pranata modern.
Dengan demikian
humanisasi yang di usung Gus Dur dapat dipraksisikan kedalam penegakan keadilan
dalam bentuk demokratis, keadilan, kasih sayang antar sesama serta keshalihan
normatif dan sosial. Humanisasi Gus Dur ada dua yaitu komitmen terhadap
rasionalitas dan keyakinan bahwa melaui usaha rasioanal yang terus menerus maka
Islam lebih sekedar mampu menjawab tantangan modernitas.
Ada lima eleman
yang sangat disimpulkan dari pemikiran Abdurrahman Wahid. Pertama, pemikirannya progresif dan jauh kedepan. Baginya, daripada
terlena oleh kemenangan masa lalu, Abdurahman melihat masa depan dengan harapan
pasti bahwa, bagi Islam dan masyaakat Muslim, suatu yang terbaik pasti akan
datang. Kedua, pemikiran Abdurrahman
Wahid sebagian besar merupakan respons terhadap modernitas; respons dengan
penuh percaya diri dan cerdas. Sembari tetap kritis terhadap
kegagalan-kegagalan masyaraka Barat modern, Abdurrahman Wahid secara teratur
bersikap positif terhadap nilai-nilai inti pemikiran liberal pasca pencerahan,
walapun dia juga berpendapat hal ini perlu diikatkan pada dasar-dasar teistik. Ketiga, dia menegaskan bahwa sekularisme
teistik ditegaskan dalam Pancasila merupakan dasar yang paling mungkin da
terbaik bagi terbentuknya negara Indonesia modern dengan alasan posisi
non-sektarian Pancasila sangat penting bagi kesejahteraan dan kejayaan bangsa.
Abdurrahman Wahid menegaskan bahwa ruang yang paling cocok untuk islam adalah
ruang sipil (civil sphere), bukan
ruang politik praktis. Keempat, Abdurrahman Wahid mengartikulasikan pemahaman Islam
liberal dan terbuka yang toleran terhadap
perbedaan dan sangat peduli untuk menjaga harmoni dalam masyarakat. Kelima, pemikiran Abdurrahman Wahid
mempresentasikan sintesis cerdas peikiran Islam tradisional, elemen modernisme
Islam dan kesarjanaan
modern, yang berusaha menghadapi tantangan modernitas baik dengan jujuran
intelektual yang kuat mapun dengan keimanan yang mendalam terhadap kebenaran
utama Islam.[62]
F. Pandangan
Abdurrahman Wahid Tentang Pendidikan
Pendidikan
merupakan suatu proses memanusiakan manusia. Pendidikan adalah sebuah proses
dimana generasi muda dipersiapkan untuk memasuki masa depan. Sementara itu
dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 2 tahun 1989 Bab 1 Pasal 1
diesbutkan bahwa pendidikan ialah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan
suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual, keagamaan,
pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta keterampilan
yang dipelukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Dengan
berdasarkan kepada nilai-niai ke-Islaman Abdurrahman Wahid memandang bahwasanya
pendidikan merupakan langkah yang harus ditempuh seorang individu khususnya
peserta didik untuk menyempurnakan kepribadian anak sesuai dengan tuntunan
agama dan berakhlak universal. Lebih luas lagi Abdurrahman Wahid menambahkan
bahwa dengan pendidikan akan membentuk pribadi kritis, peduli pada oluralisme sosial,
hak asasi manusia sadar terhadap hak-hak publik dan taat pada hukum negara.
Terkait
dengan pendidikan khususnya pendidikan Islam, Abdurrahman Wahid membaginya
menjadi dua konsep yaitu pembaharuan pendidikan Islam dan modernisasi
pendidikan Islam. Ajaran Islam itu harus diutamakan dan kaum muslimin harus
dididik mengenai ajaran-ajaran agama mereka, dan dalam hal ini yang perlu
dirubah adalah cara menyampaikan kepada peserta didik sehingga mereka mampu
memahami dan mempertahankan kebenaran. Hal ini memiliki validitas sendiri,
dapat dilihat dari kesungguhan anak muda muslim terpelajar, untuk menerapkan
apa yang mereka anggap sebagai ajaran-ajaran yang benar tentang Islam.[63]
Pendidikan
Islam tidak hanya hanya disampaikan dalam ajaran-ajaran formal Islam di
sekolah-sekolah agama atau madrasah saja melainkan juga melalui sekolah-sekolah
non agama yang berada diseluruh dunia. Hal lain yang harus diterima sebagai
kenyataan kaum Muslimin adalah respon terhadap tantangan modernisasi. Tantangan
seperti pengentasan kemiskinan, pelestarian lingkungan sampai menjaga keamanan
dan kenyamanan bermasyarakat dan lain sebagainya merupakan renungan secara
mendalam pendidikan Islam yang peduli terhadap kebersamaan dalam hidup.
Pendidikan Islam harus bisa mampu meluruskan respon terhadap tanangan
modernisasi itu, namun kesadaran akan hal itu justru belum nampak dalam
pendidikan Islam dimanapun keberadaannya.[64]
[46] Tanggal kelahiran
Abdurrahman Wahid sebenarnya adalah 7 September 1940, namun yang diingat oleh
Gus Dur adalah tanggal hjriah sehingga ketka beliau ditanya oleh gurunya
bahwasanya dia lahir pada tanggal 4 bulan 8, yang kemudian ditulis dengan 4
Agustus 1940. Padahal yang benar tanggal 4 Sya’ban 1359 yang bertepatan dengan
7 September 1940 dalam Greg Barton, Biografi Gus Dur The Authorzed Biography
of Abdurrahman Wahid, (Yogyakarta: Lkis, 2006) hal. 25.
[47] Umarudin Masdar, Membaca
Pikiran Gus Dur dan Amien Rais Tentang Demokrasi, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1999), hal. 119
[54] Abdullah Faishol, Abdurrahman
Wahid; Jejak Sang Pendidikan Agama Islam dan Humoris, (Surakarta:
AIS-Aswaja Institute Surakarta, 2010), hal. 22.
[57] Greg Barton, Biografi
Gus Dur. . . hal. 26
[58] Sofwan Hidayat, “Multikulturalisme
Abdurrahman Wahid dan Relevansinya dengan Pendidikan Islam”, Skripsi,
Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2003, hal. 44
[59] Greg Barton, Gagasan
Islam Liberal Di Indonesia: Pemikiran: Pemikiran Neo-Moderniseme Nurcholis
Madjid, Djohan Effendi, Ahmad Wahab dan Abdurrahman Wahid, (Jakarta:
Yayasan Adikarya, 1999), Hal. 332.
[61] M. Sofyan
Hidayat, “Multikulturalisme Abdurrahman
Wahid dan Relevansinya dengan Pendidikan Islam”, Skripsi, Fakultas Ilmu
Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2003, hlm. 67.
[62] Greg Barton, Abdurrman Wahid Dan Toleransi Keberagaman, dalam
buku Gila Gus Dur, (Yogyakarta: LkiS 2000), hlm. 89-90.
[63]
Abdurrahman Wahid, Islamku Islam Anda
Islam Kita, (Jakarta: The Wahid Institute, 2006), hlm. 225.
Casinos Near Harrah's Casino in Tunica - MapYRO
BalasHapusCasinos Near Harrah's 안동 출장안마 Casino · The Shoshone 의정부 출장샵 Casino Tunica · Harrah's Cherokee Casino 공주 출장샵 · Hollywood Casino at 거제 출장마사지 Charles Town Races · 원주 출장안마 Horseshoe Casino at