Selasa, 27 Mei 2014

Bab II skripsi

BAB II
BIOGRAFI ABDURRAHMAN WAHID

A.     Riwayat Hidup Abdurrahman Wahid
Jombang merupakan salah satu kota kecil yang berada di wilayah Jawa Timur. Kota yang merupakan saksi bisu lahirnya sejumlah tokoh besar dalam gerakan sosial keagamaan. Diantara tokoh-tokoh tersebut anatara lain KH. Hasyim Asy’ari, KH. Wahid Hasyim, KH. Abdul Wahab Hasbullah, KH. Bisri Syamsur dan sejumlah tokoh-tokoh besar lainnya. Termasuk juga tokoh besar bangsa ini yang akan menjadi pembahsan dalam penulisan ini. Beliau adalah KH. Abdurrahman Wahid, walaupun beliau sekarang sudah almarhum namun pemikiran dan sepak terjang beliau telah menjadi inspirasi hidup kita, memotivasi kita untuk selalu berfikir demokratis dalam setiap hidup.
Abdurrahman Wahid lahir di Denanyar, Jombang, Jawa Timur pada tanggal 4 Agustus 1940.[46] Abdurrahman Wahid adalah putra pertama dar KH. Wahid Hasyim dan Ny. Sholihah. KH. Wahid Hasyim adalah putra dar KH. Hasyim Asy’ari yang merupakan tokoh pendiri Nahdhlotul Ulama (NU) dan juga tokoh pendiri pondok pesantren Tebu Ireng Jombang, Jawa Timur. Sedangkan ibunya merupakan putri dari KH. Bisri Syansuri yang merupakan salah satu tokoh pendiri NU juga. KH. Bisri Syansuri pernah menjadi Ras Aam PBNU setelah KH. Wahab Hasbullah.
Abdurrahman Wahid memilki nama lengkap Abdurrahman Ad Dakhil. Ad Dakhil diambil oleh KH. Wahid Hasyim dar tokoh pada masa Dinasti Umayyah yang artinya penakluk. Namun nama Ad Dakhil tidak cukup dikenal dan kemudian diganti Wahid sehingga kemudian dkenal dengan Abdurrahman Wahid. Abdurrahman Wahid merupakan putra pertama dari keenam bersaudara, keturunan keluarga muslim terhormat di Jawa Timur. Ayahnya selain seorang ulama juga seorang negarawan yang ulung. KH. Wahid Hasyim tercatat sebagai salah satu tokoh yang menandatangai Piagam Jakarta dan mendapat gelar pahlawan nasional. Beliau pernah menjadi ketua umum pertama partai Majelis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi) yang merupakan penjelmaan baru dari Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI). MIAI sendiri berdiri pada tahun 1939. KH. Wahid Hasyim diangkat menjadi menteri agama dua kali yaitu pada masa kabinet Republik Indonesia Serikat dan kabinet presidensil pada tahun 1945.
KH. Abdurrahman Wahid atau akrab dipanggil dengan Gus Dur. Gus adalah gelar dikalangan Islam jawa yang diberikan kepada anak laki-laki dari seorang ulama terkenal, yang digunakan dalam dua pengertian. Pertama, dalam pengertian keagamaan, sebutan ini merujuk pada berkah Ilahi dan karomah yang diasosiasikan kepadanya, yang diturunkan dari generasi ke generasi menurut keturunan kyai. Karena itu maka seorang Gus dianggap mempunyai kemampuan bawaan yang dikenal dengan sebutan Ilmu Laduni untuk menghafal Al Qur’an dan ilmu-ilmu ke-Islaman. Kedua, Gus juga digunakan dalam pengertian manja dan nakal, sebuah reputasi yang layak dinisbatkan kepada beberapa orang diantara mereka yang mereka disebut dengan nama panggilan tersebut.[47] Ia menghabiskan masa kanak-kanaknya didalam lingkungan pesantren milik kakeknya KH. Hasyim Asy’ari.
Berkat bimbingan ibunya, Gus Dur pada usia 4 tahun telah mampu membaca Al Qur’an beserta Ilmu Tajwidnya dan ditambah lagi dengan kehidupan pesantren yang terbiasa akan kajian-kajian kitab kuning berbahasa arab tanpa syakal dan tanpa arti dalam bahasa Indonesia maupun Jawa. Dan pada usia 4 tahun pula Gus Dur tinggal bersama ayahnya di Jakarta Pusat, ketika itu Wahid Hasyim di percayai mengepalai shumubu, semacam kantor urusan agama atas permintaan pemerintahan Jepang.[48]
 Sejak tinggal di Jakarta bersama ayahnya, Gus Dur langsung dibimbing oleh ayahnya dan sekaligus mendapatkan wawasan yang cukup. Dan sejak awal mula ini ia diperkenalkan ayahnya dengan dunia yang sangat berbeda dari kehidupan pesantren, yaitu dunia perkotaan yang kosmopolitan. Belum lagi didukung dengan ayahnya yang mempunyai banyak relasi dengan berbagai lapisan masyarakat baik pribumi maupun orang dari luar serta berbagai tokoh, baik dari kalangan agamawan, nasionalis, politikus maupun pemimpin komunitas termasuk Tan Malaka, Mohammad Hatta, anak muda bernama Munnawir Sadzali (dari kalangan mahasiswa) serta seorang Jerman Williem Iskandar Bueller yang masuk Islam. Dengan relasi pergaulan ayahnya yang luas, Gus Dur sejak kecil telah diperkenalkan dengan orang-orang yang memiliki latar belakang dan ideologi yang berbeda-beda.

B.     Latar Belakang Pendidikan Abdurrahman Wahid
Pendidikan sebagai sebuah proses kehidupan, ia tidak hanya membicarakan proses pendidikan di bangku sekolah saja. Namun pendidikan tidak terlepas dari peran serta masyarakat seluas-luasnya, baik pendidikan informal, pendidikan formal di sekolah, pendidikan luar sekolah yang dilembagakan, media massa sebagai “guru tersamar”, dan segala kebijakan politik yang menyangkut dunia pendidikan. Semakin jelas bahwa menyelenggarakan pendidikan yang ideal belumlah menjadi hal yang mudah. Begitupun kami dalam memaparkan proses pendidikan Abdurrahman Wahid, karena prosesi pendidikan Abdurrahman Wahid dalam kurun skala waktu segi informal mempengaruhi dalam pemikiran-pemikirannya terkait konsep pluralisme dan humanisme.
Abdurrahman Wahid dilahirkan di tengah-tengah kehidupan pesantren yang penuh nuansa etika, moral dan pendidikan agama. dari sinilah awal dasar-dasar pendidikan agama ditanamkan oleh Ibunya. Ketika baru berusia 4 tahun, ilmu Al Qur’an dan bahasa Arab pun telah dikuasai meski belum lancar. Ketika menginjak usia 4 tahun ia mengikuti jejak perjuangan ayahnya di Jakarta dan ia dimasukkan pada sekolah yang tergolong bonafit, namun ia lebih menyukai kehidupan yang wajar dengan memilih sekolah biasa saja. Abdurrahman Wahid masuk sekolah dasar KRIS Jakarta Pusat mulai kelas 3-4, tetapi kemudian pindah ke Sekolah Dasar Matraman Perwari, Jakarta Pusat dekat rumahnya yang baru.[49]
Pada saat di Jakarta pula, Abdurrahman Wahid juga mengikuti les privat bahasa Belanda. Guru lesnya bernama Willem Buhl, seorang Jerman yang telah masuk Islam, yang mengganti namanya menjadi Iskandar. Untuk menambah bahasa Belanda tersebut, Buhl selalu menyajikan musik klasik yang biasa dinikmati oleh orang dewasa. Inilah pertama kalinya persentuhan Abdurrahman Wahid dengan dunia Barat dari sini pula ia mulai tertarik dan mencintai musik klasik.
Setelah ayahnya meninggal, Ibunya mengambil alih pimpinan keluarga dan membesarkan keenam anak-anaknya. Pada tahun 1954 Gus Dur melanjutkan sekolah di SMEP (Sekolah Menengah Ekonomi Pertama), tinggal bersama keluarga Haji Junaidi (teman ayahnya dan seorang aktivis Majlis Tarjih/penasihat Agama Muhammadiyah) di Kauman Yogyakarta dan untuk melengkapi pendidikan agama serta memperdalam Ilmu Bahasa Arab, maka ia mengatur jadwalnya, seminggu 3 kali untuk mengaji dengan Kyai Ali Ma’shum di Pondok Pesantren Al Munawwir Krapyak. Gus Dur adalah anak nakal dan bandel, waktunya dihabiskan untuk menonton sepak bola dan film sehingga tidak cukup waktu untuk mengerjakan pekerjaan rumahnya dan ujung-ujungnya ia harus tinggal kelas. Baginya, pelajaran yang diterima di kelas dirasa tidak cukup menantang. Alih-alih, ia menghabiskan waktu untuk nonton sepak bola dan membaca buku.
Meskipun kemampuannya dalam Bahasa Inggris adalah baik dan mampu membaca tulisan dalam Bahasa Perancis dan serta Jerman, namun di Yogyakarta kemampuan membacanya melesat jauh dan melahab banyak buku, antara lain: Das Kapital (Karl Max), What Is Tobe Done (Lenin), dan ia mencoba memahami tulisan-tulisan Plato dan Aristoteles serta ia tertarik ide Lenin tenang keterlibatan sosial secara radikal, seperti dalam Infantile Cimmunism (kekiri-kirian penyakit kekanak-kanakan) dan dalam Little Red Book-Mao (kutipan kata-kata ketua Mao).[50]
Akan tetapi bagi Gus Dur, topik yang sangat menarik perhatiannya bukanlah politik atau filsafat yang dipelajari sebagai sesuatu yang abstrak, namun bagaimana mempunyai sifat manusiawi. Pada waktu itu, dan kemdian sepanjang hidupnya, ia sangat suka memahami kepelikan sifat manusia.
Setelah tamat SEMP tahun 1957, Kyai Bisri Syamsuri memindahkan Gus Dur, hal ini disebabkan karena hobi menonton film yang kelewat batas. Untuk mondok di Magelang dan berada dalam asuhan dan bimbingan Kyai Khudori, pengasuh Pondok Pesantren Tegal Rejo. Dari Kyai Khudori inilah Gus Dur banyak belajar tentang dunia mistik dan tasawuf. Dibawah Kyai Khudori Gus Dur mulai melakukan ziarah kemakam keramat para wali di Jawa. Hal ini dilakukan pada hari dan waktu tertentu.
Setelah dua tahun berkutat di Pesantren Tegal Rejo, pada tahun 1959, KH. Abdul  Fatah Hasyim, pamanya meminta Gus Dur (usia 19 tahun) membantu mengurusi sekolah Mualimat di Pondok Pesantren Tambak Beras Jombang, jabatannya lumayan keren sebagai sekretaris Pondok Pesantren. Tak sampai setahun ia naik menjadi guru. Namu belajar ngaji tak pernah ia tinggalkan. Di Madrasah Tambak Beras inilah, ia jatuh hati kepada muridnya berama Siti Nuriyah yang sejak 12 tahun belajar disana. Siti Nuriyah adalah anak dari H. Abdus Syukur, teman akrab pamannya dan muruid kakeknya. Pada usia 22 tahun, Gus Dur menamatkan beberapa kitab ternama standar Pesantren, sehingga ia dapat dikatakan telah memenuhi syarat untuk menjadi seorang alim.
Dalam usia itu, dia berangkat menuju Mekkah untuk menunaikan ibadah Haji dan melanjutkan studinya di Al-Azhar Islamic University Mesir. Sebelum berangkat, pamannya yang sangat menyayanginya menganjurkan agar ia mencari istri terlebih dahulu. Akhirnya, dengan berat hati ia berangkat ke Mesir menumpang kapal laut. Sesampainya ia di Mesir, ijazah sekolahnya tak berlaku di negeri piramida itu. Prektis selama dua tahun disana, waktunya terbuang hanya untuk mengurus hal ihwal ijazah tadi.
Hingga akhirnya ia bisa diterima di Fakultas Syariah, Universitas Al-Azhar, hatinya malah tak terpuaskan, ia belajar di Masjid, materi yang diajarkan persis di Pesantren, misalnya ia harus belajar Alfiah lagi, padahal di Pesantren sudah Khatam. Untuk menghilangkan rasa bosan, sebagai gantinya ia habiskan waktunya di salah satu perpustakaan yang lengkap di Kairo, termasuk di America University Library, pusat pelayanan informasi Amerika dan toko-toko buku di mana dia dapat memperoleh buku yang ia kehendaki.
Di tempat itulah Gus Dur menemukan buku mengenai John F. Kenedy dan novel-novel serta sejumlah karya tentang sejarah, filsafat, dan musik. Setiap hari Gus Dur menyempatkan diri melihat film-film Perancis. Di sini Gus Dur tampak bisa menikmati musik kesukaannya, yaitu musik-musik klasik, nonton film dan main sepak bola. Ada kondisi yang menguntung saat Gus Dur berada di Mesir. Di bawah pemerintahan presiden Gamal Abdul Nasser, seorang nasionalis yang dinamis. Kairo menjadi era keemasan kaum intelektual. Kebebasan untuk bertukar pendapat mendapat perlindungan yang cukup. Misalnya, para pendukung Negara Islam di Mesir melakukan debat terbuka dengan kaum sosialis dibuku-buku, surat kabar dan kolom-kolom majalah. Perdebatan ini lebih menarik dari pada harus menghabiskan waktu untuk kuliah di kampus Al Azhar.
Hal ini dilakukan respek atas pemikir-pemikir Mesir modern. Menurut salah satu rekan dekatnya ketika belajar di Mesir, Gus Dur adalah pengagum dan pemerhati pandangan-pandangan Toha Husain dan Ali Abd Rozik, yang menurut kalangan Al-Azhar, dianggap kontroversial, sekuler dan membias dari akidah Islam. Akibatnya Gus Dur tidak naik kelas dikuliahnya di Al Azhar, ia lebih aktif diperpustakaan, nonton film dan kegiatan di organisasi PPI (Persatuan Pelajar Indonesia) Kairo, suatu organisasi mahasiswa Indonesia di timur tengah. Gus Dur menjadi ketua PPI masa bakti 1964-1970. Mendengar kabar kegagalanya kuliah di Mesir, gadis Nuriyah mengirim surat kepadanya bernada mengibur. Meski begitu, bagi Gus Dur belajar di Mesir bukanlah tanpa kesan. Menurut pengakuannya, di Mesir itulah dia banyak memperoleh paham “sosialisme yang berbudaya”. Orang-orang arab, kata Gus Dur sering mempersoalkan sosialisme dari sudut budaya.
Hal ini dilakukan karena mereka tidak punya tenpat mempersoalkan sosialisme dari sudut agama. merasa tak berkembang, Gus Dur lalu memutuskan keluar dari Universitas Al Azhar. Dari Mesir ia pergi ke Irak. Kebetulan ia mengetahui banyak tentang fakultas sastra Universitas Bagdad, yang mutunya cukup bagus. Ia berniat mendaftar disana.
Pada tahun 1966, dalam usia 26 tah[51]un Gus Dur masuk dalam Departeman Of Religion di Universitas Bagdad Irak. Sebuah negara modern yang memiliki peradaban Islam yang cukup maju. Dari tahun 1966-1970, di Irak ia mendapat ransangan intelektual yang tak pernah ia dapatkan di Mesir. Dia menyatakan “di Bagdad, saya mulai berfikir secara sistematis”. Disini masyarakat arab klasik dikaji secara empiris dengan metodologi yang tajam. Dia menemukan gairah intelektualnya kembali dilingkungan yang baru itu.
Gus Dur banyak membaca karya-karya sosiologi seperti Emiel Durkheim. Pada waktu yang sama, Gus Dur banyak bersentuhan dengan buku-buku besar karya sarjana orientalis Barat. Di samping itu yang menarik lagi adalah perpustakaan Universitas penuh dengan buku-buku mengenai Indonesia. Karena itu, Gus Dur diminta untuk meneliti asal-usul historis Islam di Indonesia. Di luar studi, Gus Dur rajin mengunjungi makam-makam keramat para wali, termasuk makam Syekh Abdul Qadir Al Jailani, pendiri Thariqah Qodiriah. Gus Dur juga menggeluti ajaran-ajaran Imam Junaidi al-Bagdadi, seorang pendiri aliran tasawuf yang diikuti oleh jamaah NU.[52]
Di negeri seribu satu malam itu, Gus Dur memperoleh gelar Lc setingkat dengan S1 di Indonesia sastra arab. Kemudian melanjutkan S2 setingkat MA, judul tesisnya sudah diajukan. Tapi nasib baik belum berpihak padanya, pembimbingnya meninggal dunia. Akhirnya ia pulang ke Indonesia setelah ia menyelesaikan studinya di Bagdad tahun 1970. Gus Dur berharap bisa mendaftar di perguruan tinggi di Eropa. Dia merancang untuk melakukan penjajakan. Untuk memasuki perguruan tinggi tersebut, dibutuhkan persyaratan bahasa yang ketat yang tidak dapat dipenuhi tanpa ikut pendidikan satu tahun di sana. Harapan untuk memperoleh penempatan di sebuah Unversitas di Eropa pupus, karena ternyata kualifikasi-kualifikasi mahasiswa Timur Tengah tidak diakui  di sana. Inilah salah satu yang memotivasi Gus Dur untuk berangkat ke McGill University Canada. Untuk mempelajari kajian-kajian keislaman secara mendalam. Namun juga akhirnya tidak jadi. Setengah bulan disana, akhirnya ia menetap di Belanda, dia tinggal selama enam bulan dan mendirikan perkumpulan pelajar muslim Indonesia dan Malaysia yang tinggal di Eropa. Organisasi ini sampai sekarang masih hidup. untuk biaya selama dirantau, dua kali sebulan ia pergi kepelabuhan untuk bekerja sebagai pembersih kapal tanker.[53]
Adapun sketsa singkat perjalanan pendidikan Gus Dur adalah sebagai berikut:
1.      Belajar di Sekolah Dasar (SD) Jakarta, 1947-1953.
2.      Belajar di SMEP (Sekolah Menengah Ekonomi Pertama) di Jakarta dan Yogyakarta, 1953-1957.
3.      Belajar di Pondok Pesantren Krapyak, Yogyakarta, 1954-1957.
4.      Belajar di Pondok Pesantren Tegalrejo, Magelang, Jawa Tengah, 1957-1959.
5.      Belajar di Pondok Pesantren Tambak Beras, sambil mengajar di Madrasah Mu’alimat Tambak Beras, Jombang, 1959-1963.
6.      Belajar di Ma’had Al-Dirasat Al-Islamiyah (Departemen of Hinger Islamic and Arabic Studies) Al-Azhar Islamic University, Cairo, Mesir, 1964-1969.
7.      Belajar di Fakultas Sastra Universitas Bagdad Irak, 1970-1974.
8.      Menjadi dekan dan dosen fakultas Ushuludin Universitas Hasyim Asy’ari, Tebu Ireng, Jombang 1972-1979.
9.      Sekeretaris Pondok Pesantren Tebu Ireng Jombang, Jawa Timur 1974-1979.
10.  Pengasuh Pondok Pesantren Ciganjur, Jakarta Selatan 1979-2009.
11.  Pengasuh Yayasan Pondok Pesantren Denanyar, Jombang 1996-2009.
12.  Anggota dewan kehormatan Universitas Saddam Hussein Bagdad.
Abdurrahman Wahid menikah pada tanggal 11 Juli 1968 dengan gadis yang bernama Sinta Nuriyah, putri KH. Abdullah Syukur. Dalam pernikahannya Gus Dur meminta kakeknya KH. Bisri Syansuri untuk menjadi melamar dan menjadi wakil untuk pengantin laki-laki. Pesta pernikahannya di langsungkan pada tanggal 11 September 1971.[54] Dari hasil pernikahannya Gus Dur dikaruniai 4 orang putri yaitu Allisa Qutrunnada Munawarah, Zanuba Arifah Chafsoh, Anita Chayatunnufus, dan Innayah Wulandari.


C.     Perjalanan Organisasi Abdurrahman Wahid
Pada tahun 1972, Abdurrahman Wahid mulai memberikan ceramah dan seminar secara teratur dengan berkeliling Jawa. Ia juga menulis kolom untuk majalah berita nasional seperti Tempo dan juga artikel di Kompas, yang merupakan surat kabar terkemuka yang dimiliki oleh orang Cina Katolik. Kolom-kolomnya di Tempo dan Kompas mendapat sambutan baik dan dengan cepat Gus Dur dinggap sebagai pengamat sosial yang sedabf naik daun.[55]
Di tengah kesibukan mengajar dan memberikan ceramah, Gus Dur diminta oleh Kyai Bisri Syamsuri untuk bergabung dengan organisasi Syuriah Nasional NU. Dengan demikian Gus Dur bergabung dengan Dewan Syuriah pusat NU. Gus Dur menjadi anggota Dewan Syuriah selama beberapa tahun dengan kakeknya yang menjabat Rais ‘Am.
Pada tahuun 1980, Kyai Syamsuri meninggal dunia. Dengan kejadian ini, Gus Dur memutuskan untuk pindah menetap ke Ciganjur, yang terletak di pinggiran selatan Jakarta secara tetap dengan keluarganya. Dengan menetapnya Gus Dur beserta keluarganya di Jakarta maka otomatis ia tidak lagi mengajar lagi di Universitas Hasyim Asy’ari Jombang, melainkan lebih banyak mengurusi organisasi NU sebagai anggota Dewan Syuriah Pusat. Karena Gus Dur telah menunjukan integritasnya sebagai anggota Dewan Syuriah Pusat NU, ia diangkat menjadi wakil Khatib Awwal Syuriah PBNU menggantikan kakeknya Kyai Bisri Syamsuri. Kemudian Gus Dur terlibat dalam kegiatan LSM. Pertama di LP3ES bersama Dawam Rahardjo, Aswab Mahasin dan Adi Sasono dalam proyek pengembangan pesantren, kemudian Gus Dur mendirikan P3M yang dimotori LP3ES.
Kemudian pada tahun yang sama yakni 1982, Gus Dur juga mendapat politik pertamanya, pada pemilihan umum legislatif 1982. Gus Dur berkampanye untuk Partai Persatuan Pembangunan (PPP), sebuah partai Islam yag dibentuk sebagai hasil gabungan 4 partai Islam termasuk NU.
Pada tahun 1983, Soeharto dipilih kembali sebagai presiden untuk masa jabatan ke-4 oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dan mulai mengambil langkah menjadikan Pancasila sebagai Ideologi Negara. Dari Juni 1983, Gus Dur menjadi bagian dari kelompok yang ditugaskan untuk menyiapkan respon NU terhadap isu tersebut. Gus Dur berkonsultasi dengan Al-Qur’an dan Sunnah untuk pembenaran dan akhirnya, pada Oktober 1983, ia menyimpulkan bahwa NU harus menerima Pancasila sebagai Ideologi Negara.[56]
Pada tahun 1984, Gus Dur terpilih sebagai Ketua Umum PBNU pada Mukhtamar ke 27 di Situbondo Jawa Timur. Kepemimpinanya di Jam’iyyah semakin populer, hingga pada periode selanjutnya ia terpilih kembali sebagai ketua umum di Muktamar NU ke 29 di Pondok Pesantren Cipasung, Jawa Barat untuk periode 1994-1999.
Jabatan Ketua Umum PBNU kemudian dilepas ketika Gus Dur menjabat Presiden ke-4. Meskipun sudah menjadi presiden, kenylenehannya tidak hilang, bahkan semakin diketahui oleh seluruh lapisan masyarakat. Dahulu mungkin hanya masyarakat tertentu, khususnya kalangan Nahdhliyin yang merasakan kontroversi gagasanya.
Sekarang seluruh bangsa Indonesia ikut memikirkan kontroversi gagasan yang dilontarkan oleh Gus Dur. Di samping itu, Gus Dur juga pernah menjadi ketua Forum Demokrasi (Fordem) untuk masa bakti 1991-1999.
Dari paparan tersebut memberikan gambaran betapa kompleks dan rumitnya perjalanan seorang Gus Dur dalam meniti kehidupannya, bertemu dengan berbagai macam orang yang hidup dengan berbagai latar belakang ideologi, budaya, kepentingan, strata sosial dan pemikiran yang berbeda. pemikiran Gus Dur mengenai agama diperoleh dari dunia pesantren. Lembaga inilah yang membentuk karakter keagamaan yang penuh etik, formal dan struktural. Sementara pengembaraanya ke Timur Tengah talah mempertemukan Gus Dur dengan berbagai corak pemikiran agama, dari yang konservatif, simbolik-fundamentalis sampai yang liberal-radikal.
Dalam bidang kemanusiaan, pikiran-pikiran Gus Dur banyak dipengaruhi oleh pemikir Barat dengan filsafat Humanisnya. Secara rasa maupun praktik perilaku yang humanis, pengaruh para kyai yang mendidik dan membimbingnya mempunyai andil besar dalam membentuk pemikiran Gus Dur. Kisah tentang Kyai Fatah dari Tambak Beras, KH. Ali Ma’syum dari Krapyak dan Kyai Khudori dari Tegalrejo Magelang telah membuat pribadinya menjadi orang yang sangat peka pada sentuhan-sentuhan kemanusiaan.
Dari segi kultur, Gus Dur melintasi tiga model lapisan budaya yaitu kultur dunia Pesantren yang sangat hierarkis, tertutup penuh etika yang serba formal, kultur dunia Timur yang tebuka dan keras dan budaya Barat yang liberal, rasional dan sekuler. Kesemuanya tampak masuk dalam pribadi dan membentuk sinergi. Hampir tidak ada yang secara dominan berpengaruh membentuk pribadi Gus Dur. Inilah sebabnya mengapa Gus Dur selalu kelihatan dinamis dan terkadang sulit dipahami. Kebebasannya dalam berpikir dan luasnya cakrawala pemikiran yang dimilikinya melampui batas-batas tradisionalisme yang dipegangi komunitasnya sendiri.[57]
Gus Dur tutup usia pada tanggal 30 Desember 2009, pukul 18.45 WIB di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), Jakarta pada usia 69 tahun. Sepanjang hidupnya, Gus Dur telah mendedikasikan hidupnya dengan aktif diberbagai organisasi, antara lain sebagai: Wakil Ketua Himpunan Pemuda Indonesia di Kairo-United Arab dan Mesir (1965). Dekan dan Dosen Fakultas Ushuluddin Universitas Hasyim Asy’ari, Jombang (1972-1974), Pengasuh Pondok Pesantren Ciganjur Jakarta (1979-wafat), mendirikan Pusat Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) Jakarta (1983), Ketua Tahfidz PBNU (1989-1999), anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) (1989-1999), mendirikan Forum Demokrasi (Fordem) (1991-wafat), Ketua Dewan Syuro DPP Partai Kebnagkitan Bangsa (PKB) (1998-wafat), Presiden Republik Indonesia (1999-2001), mendirikan Yayasan Manusia Merdeka, Jakarta (2001), Penasehat Solidaritas Pelanggaran HAM (2002-wafat), Penasehat Gerakan Moral Rekonsiliasi Nasional (2003-wafat) dan Pendiri The Wahid Institute, Indonesia (2004).
D.    Karya-karya Abdurrahman Wahid
Awal karier Abdurrahman Wahid dalam pembaharuan pemikiran keIslaman di Indonesia dimulai dari Jombang ketika beberapa tulisannya dikirim ke beberapa media massa seperti Kompas, Tempo dan Jurnal Prisma. Tema utama dari tulisan Abdurrahman Wahid adalah permasalahan pesantren dan modernitas. Dalam kurun waktu 1970-an sampai 1980-an Gus Dur sangat kreatif dalam menulis. Pada masa ini bisa disebut sebagai periode ilmiahnya. Pada periode ini beliau sangat gemar menggunakan metodologi ilmu sosial, terutama antropologi untuk menjelaskan ideologinya. Pemikiran Gus Dur terfokus pada persoalan sosial, budaya, politik dan keagamaan yang langsung berkaitan dengan dunia pesantren.
Kumpulan tulisan Gus Dur sejak tahun 1978-1980 kemudian diakumulasikan dalam sebuah buku dengan judul Bunga Rampai Pesantren: Kumpulan Karya Tulis Abdurrahman Wahid. Sedangkan berbagai artikel Abdurrahman Wahid sejak tahun 1980-1990 dijadikan sebuah buku dengan judul Muslim di tengah Pergumulan, yang banyak membahas tentang modernitas dan pemahaman yang lebih luas tentang ke-Islaman dan ke-Indonesiaan. Pada periode ini berbagai tulisannya tersebar ke berbagai media massa selain Prisma, Kompas, Pesantren melainkan juga di Panji Masyarakat, Aula, Pelita, Editor, Amanah, Media Indonesia, Jawa Pos Forum Keadilan dan lainnya.
Kemudian pada periode tahun 1990-an akhir tulisan Abdurrahman Wahid selain berbentuk artikel dan kolom juga berbentuk kata pengantar dari buku-buku. Berikut ini adalah daftar beberapa karya-karya Abdurrahman Wahid baik dalam bentuk buku, terjemahan, pengantar dalam makalah, maupun artikel.
1.      Dalam bentuk buku meliputi:[58]
a.       Bunga Rampai Pesantren, Jakarta: CV. Dharma Bhakti, 1978.
b.      Muslim di Tengah Pergumulan, Jakarta: Lappenas, 1981.
c.       Kyai Nyentrik Membela Pemerintah, Yogyakarta: LkiS, 1999.
d.      Tabayun Abdurrahman Wahid, Yogyakarta: LkiS, 1998.
e.       Islam, Negara dan Demokrasi: Himpunan Percikan Perenungan Abdurrahman Wahid, Yogyakarta : Erlangga, 1999.
f.        Prisma Pemikiran Abdurrahman Wahid, Yogyakarta: LkiS, 1999.
g.       Tuhan Tak Perlu Dibela, Yogyakarta : LkiS, 1999.
h.       Abdurrahman Wahid Menjawab Tantangan Perubahan, Jakarta: Kompas, 1999.
i.         Membangun Demokrasi, Bandung : PT. Rosda Karya, 1999.
j.        Mengurai Hubungan Agama dan Negara, Jakarta : Grasindo, 1999.
k.      Melawan Melalui Lelucon, Jakarta : Kompas, 2005.
l.         Islamku, Islam Anda, Islam Kita, Jakarta : Kompas, 2005.
m.     Membaca Sejarah Nusantara, 25 Kolo Sejarah Abdurraman Wahid, Yogyakarta : LkiS, 2010.
n.       Islam Kosmopolitan, Jakarta : The Wahid Institute, 2007


2.      Dalam bentuk terjemahan :
a.       Sayyid Huseib Nasr, Islam dalam Cita dan Fakta, Jakarta : Lappenas, 1981.
3.      Dalam bentuk pengantar buku:
a.       Benarkah Kyai Membawa Perubahan Sosial. Sebuah Pengantar, dalam Hiroko Hirokasi, Kyai dan Perubahan Sosial, terj. Umar Basalim dan Andi Muarly Ramli, Jakarta : P3M, 1989.
b.      Kasus Penafsiran Ulang Yang Terputus, dalam Masdar F. Mas’udi, Agama dan Keadilan, Risalah Zakat (Pajak) Dalam Islam, Jakarta : Pustaka Firdaus, 1991.
c.       Agama Ideologi dan Pembangunan, dalam Religion, Ideologi And Development, terj. Son Haji Sholeh, Jakarta : P3M, 1991.
d.      Hasan Hanafi Dalam Eksperimentasinya, dalam Kazuo Simoghaki, Kiri Islam, Antara Modernisme dan Postmodernisme : Telaah Kritis Atas Pemikiran Hasan Hanafi, terj. Imam Aziz dan Jadul Maulana, Yoyakarta : LkiS, 1993.
e.       Van Bruinessen dan Pencariannya, dalam Kitab Kuning Pesantren dan Tarikat, Tradisi Islam di Indonesia, Bandung : Mizan, 1995.
f.        Pengantar dalam Pradjarta Dirjosanjoto, Memelihara Umat, Kyai Pesantren, Kyai Langgar di Jawa, Yogyakarta : LkiS, 1999.
g.       Pengantar dalam Greg Fealy, Greg Barton (ed.), Tradisonalisme Radikal, Persinggungan Nahdhlatul Ulama-Negara, Yogyakarta : LkiS, 1997.

4.      Dalam bentuk epilog buku :
Tantangan Kepemimpinan Islam: Mampukah Menjawab Religiusitas yang Keropos, epilog dalam Maksum (ed.), Mencari Pemimpin Umat, Bandung : Mizan, 1999.
5.      Dalam bentuk antologi buku :
a.       Pesantren Sebagai Sub Kultur, dalam Dawam Raharjo (ed.), Pesantren dan Pembaharuan, Jakrta : LP3ES, 1974.
b.      Republik Bumi Sorga, dalam Prisma II Agama dan Tantangan Zaman : Pilihan Artikel Prisma 1975-1984, Jakarta : LP3ES, 1975.
c.       Menjadikan Hukum Islam Sebagai Penunjang Pembangunan, dalam Prisma II Agama dan Tantangan Zaman : Pilihan Artikel Prisma 1976-1984, Jakarta : LP3ES, 1976.
d.      Peranan Umat Dalam Berbagai Pendekatan, dalam Abdurrahman Wahid, Universalisme dan Kosmopolitanisme Peradaban Islam, edisi yang terbatas, 1991.
e.       Sosialisme Nilai-Nilai Demokrasi, dalam Mashuri Amin (ed.), Agama Demokrasi dan Transformasi Sosial, Yogyakarta : LKPSM, 1993.
f.        Santri Abangan dan Kehidupan Orang Jawa : Teropong Dari Pesantren, dalam Prisma II Agama dan Tantangan Zaman : Pilihan Artikel Prisma 1975-1984, Jakarta : LP3ES, 1976.
g.       Agama dan Demokrasi, dalam redaksi Dian/Interfedai, Spiritualitas Agama Baru, Yogyakarta : Seri Dian/Interfedai, 1994.
h.       Romo Mangun dan Moral Absolut, dalam TH. Sumartana (ed.), Mendidik Manusia Merdeka, Romo Yb. Mangun Wijaya, Yogyakarta : Seri Dian/Infedai, 1995.
i.         Dialog Agama dan Masalah Pendangkalan Agama, dalam Komarudin Hidayat dan Ahmad Gous (ed.), Passing Over, Melintasi Batas Agama, Jakarta : Gramedia Paramadina, 1998.
j.        Kebebasan Beragama dalam Hegemoni Beragama, dalam Komarudin Hidayat dan Ahmad Gous (ed.), Passing Over. Melintasi Batas Agama, Jakarta : Gramedia Paramadina, 1998.
k.      Dilema Pendekatan Tarikh, dalam Imam Baihaqie (ed.), Kontroversi Aswaja, Yogyakarta : LkiS, 2000.
Adapun artikel yang ditulis Abdurrahman Wahid antara lain Pesantren Pendidikan Elitis atau Populis tahun 1976, Mahdiisme dan Protes Sosial Tahun 1977, Agama Sosiologi dan pembangunan tahun 1977, Islam dan Kebangsaan tahun 1993 dan lain sebagainya. Sedangkan dalam bentuk makalah antaralain Tradisi Keilmuan Islam tahun 1984, Kearifan Masyarakat dalam Pengelolaan Keserasian Sosial Ditinjau dari Segi Agama tahun 1978, NU dan Pandangannya Tentang Kekuasaan tahun 1993 dan masih banyak lagi yang lainya yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu.




E.     Konstruksi Pemikiran Abdurrahman Wahid
Sebagai seorang pemikir ulung Abdurrahman Wahid Mempunyai karakter pemikiran yang berbeda dengan para tokoh pemikir lainya. Hal ini dimungkinkan karena setiap tokoh sangat dipengaruhi oleh beberapa setting background, konsdisi sosial, geografis, historis, latar pemikirannya dan sebagainya.
Pada sisi pemikiran, sejak terpilih sebagai Ketua Umum Tanfidhliyah PBNU, Gus dur telah menjadi salah satu seorang intelektual muslim Indonesia yang sangat berpengaruh dan diperhitungkan. Hal ini seolah sangat didukung oleh posisinya di NU sebagai salah satu organisasi terbesar yang ada di Indonesia, melainkan juga karena percikan-percikan pemikirannya yang progresif tentang Islam, Pluralitas, Pancasila, Demokrasi dan Humanis.
Dougles E. Ramage, Greg Barton, Adam Schwarz, Mitsuo Nakamura dan Eimar M. Sitompul, secara umum meskipun tersirat mereka sepakat menyebutkan sebagai salah seorang intelektual Indonesia yang paling berpengaruh dalam diskursus pemikiran Islam yang kritis dan progresif.[59] Menurut mereka, Gus Dur pada satu sisi dipandang banyak orang sebagai figur yang genius dan karismatik setingkat Wali. Namun pada sisi lain ia ditafsirkan oleh banyak orang khususnya kelas menengah terdidik Indonesia, sebagai politisi yang sekuler atau sebagai intelektual liberal. Kedua posisi inilah, dalam perjalanan sosial Gus Dur menjadi kekuatan sekaligus menjadi sasaran kritik dari banyak kalangan Islam sendiri. Hal tersebut menjadi penting untuk kita perhatikan karena setidaknya itu dapat menjadi pintu masuk kita dalam memahami Gus Dur lebih dalam lagi.
Pemikiran Gus Dur bisa disebut juga sebagai sufi sejati. Beliau adalah seorang yang murah hati dan pemaaf, meski kepada orang yang memusuhinya sekalipun. Meski pernah dicaci karena membela non-muslim, beliau tetap sabar dan tenang. Beliau pun tidak pernah menaruh dendam kepada siapa saja, tidak pula takut menghadapi apapun, ikhlas, tanpa pamrih dan mencorakkan pada sisi yang sufistik. Seorang sufistik sejati selalu menggabunngkan kerja keras dan kepasrahan kepada Tuhan secara total. Hal tersebut selalu beliau lakukan, termasuk pada saat beliau akan menjabat menjadi presiden Republik Indonesia waktu itu.
Membaca pemikiran Gus Dur bararti membaca samudra keilmuan yang begitu besar cangkupannya. Gus Dur merupakan seorang tokoh intelektual sunni. Pemikirannya dilatar belakangi oleh kehidupan pesantren dan lingkungan tempat di mana beliau dibesarkan. Sebagai cucu seorang kyai sekaligus sebagai pendiri salah satu ormas terbesar di Indonesia yaitu Nahdhatul Ulama atau NU.
Untuk menggali pemikiran seorang tokoh, maka menjadi penting untuk mengetahui paradigma pemikirannya. Paradigma yang dimaksud adalah asumsi dasar yang dimiliki oleh seorang intelektual sebagai dasar pemahaman atas realitas yang ada di sekitarnya. Dalam hal ini berkaitan dengan paradigma Gus Dur dilihat dalam pengelompokan ketokohannya.
Sebagai intelektual Sunni tradisional pada umumnya, Gus Dur membangun pemikirannya melalui paradigma kontekstualisasi khazanah pemikiran Sunni klasik. Oleh karena itu wajar saja jika yang menjadi kepedulian utamanya minimal menyangkut tiga hal. Pertama, revitalisasi khazanah Islam tradisional Ahli Sunnah Wal Jama’ah. Kedua, ikut berkiprah dalam wacana modernitas. Ketiga, berupaya melakukan pencarian jawaban atas persoalan konkret yang dihadapi bangsa Indonesia. Pembelaan dan perlindungan merupakan cerminan komitmen Gus Dur yang tegas menyatakan bahwa kepada diri kita sebagai manusia dan kemanusiaan itulah yang mengajarkan kepada kita bahwa kita adalah anak bangsa, bersama-sama menciptakan kehidupan di muka bumi dalam lingkup negara kita. Sebuah Negara Pancasila bukan Negara Agama.[60]
Konstruksi pemikiran Abdurrahman Wahid antara lain[61] :
1.      Pemikiran Religiustik
Abdurrahman Wahid atau Gus Dur dilahirkan di tengah-tengah kehidupan pesantren yang penuh dengan nuansa etika, moral dan pendidikan agama. pemikiran Gus ur mengenai agama diperoleh dari dunia pesantren yang sangat akrab dengan budaya lokal.
Dari pesantren itulah yang membentuk karakter keberagaman seorang Gus Dur. Dapat dijadikan sebuah contoh dari sifat kereligiusan seorang Gus Dur yaitu sewaktu beliau membantu mengurusi sebuah sekolah Mualimat di Pondok Pesantren Tambak Beras Jombang, jabatannya lumayan strategis yaitu sebagai sekretaris Pondok Pesantren. Tak sampai satu tahun beliau langsung di angkat menjadi dewan asatidz atau dewan guru di Pondok Pesantren tersebut.


2.      Pemikiran Demokratistik
Abdurrahman Wahid dalam sikapnya yang demokratis yaitu ketika beliau lebih menekankan untuk membina kerukunan antara sesama pemeluk agama, bagaimanapun juga satu agama dengan agama lain jelas berbeda. ia mencontohkan Kristen dan Yahudi tentu tidak bisa menerima konsep dasar, demikian juga sebaliknya.
Kemudian dalam konteks ketuhanan, sebab memang berbeda. Gus Dur menilai bahwa pada wilayah teologis yaitu masalah keyakinan. Dalam masalah keyakinan (keimanan) masing-masing tradisi agama mempunyai tradisi teologis sendiri-sendiri.
3.      Pemikiran Liberalistik
Abdurrahman Wahid sangat menghormati dan menjunjung tinggi HAM. Bagi Gus Dur menjunjung tinggi HAM merupakan perintah dan konstitusi dan juga ajaran Islam yang paling besar. Gus Dur sangat apresiatif terhadap liberal yang menempatkan manusia sebagai makhluk yang bebas dan berdaulat.
Kemudian Gus Dur menambahkan, dengan kebebasan yang dimiliki oleh manusia, maka mereka akan mampu berkembang menjadi individu yang kreatif dan produktif sehingga mampu mengemban tugas mulia sebagai khalifah di muka bumi. Namun Gus Dur menolak secara tegas terhadap masyarakat tanpa aturan dan norma, karena hal itu bukan sebuah kemustahilan, justru sebaliknya akan bisa menimbulkan anarki dan situasi yang penuh kerusakan.


4.      Pemikiran Neo-Tradisionalistik
Neo-tradisionalis merupakan bentuk pemikiran mutakhir yang mencoba membangun kesadaran akan pentingnya tradisi dalam struktur kehidupan. Neo-tradisionalisme Abdurrahman Wahid adalah memilih menyajikan tradisi dalam bahasa kemodernan. Menurut Abdurrahman Wahid memahami manusia modern beserta pengetahuan modern yang membentuknya agar tetap akrab dengan agama dan akar-akar tradisi bahkan menjadikan Islam sebagai world view untuk memberi makna kehidupan ditengah dunia yang kehilangan orientasinya.
Abdurrahman Wahid berpendapat bahwa ajaran Islam lebih baik ditempaykan sebagai komponen yang membentuk dan mengisi kehidupan bermasyarakat warga negara kita. Fungsi ini disebut dengan komplementer. Pendekatan yang digunakan Abdurrahman Wahid dalam usaha menampilkan citra Islam ke dalam kehidupan kemasyarakatan adalah pendekatan sosio-kultural. Pendekatan ini mengutamakan sikap mengembangkan pandangan dan perangkat kultural yang dilengkapi oleh upaya membangun sistem kemasyarakatan yang sesuai dengan wawasan budaya yang dicapai itu.
Pendekatan ini lebih mementingkan aktifitas budaya dalam konteks pengembangan lembaga-lembaga yang dapat mendorong transformasi sistem sosial secara evolutif dan gradual. Pendekatan seperti ini dapat mempermudah masuknya agenda Islam ke dalam agenda nasional bangsa secara inklusifistik.
5.      Pemikiran Neo-Modernistik
Neo-modernis pemikiran Abdurrahman Wahid mempunyai asumsi dasar bahwa Islam harus dilibatkan dalam pergaulan modernisme dan hal itu tidak harus dengan menghilangkan tradisi Islam yang mapan. Dalil yang mendasari pemikiran Abdurrahman Wahid adalah “memelihara yang lama yang baik dan mengambil yang baru yang lebih baik”. Beliau berusaha memadukan antara pemikiran Islam tradisional dan pendidikan barat modern. Dalam konteks ini Gus Dur menerima pemikiran barat secara makro namun beliau juga tetap menjadikan Islam tradisional sebagai pondasi kehiduoan. Neo-modernsme Gus Dur meliputi: Pertama, gerakan yang melakukan pembaharuan pemikiran Islam agar progresif, bersikap modern terhadap modernitas, perubahan dan pembangunan. Kedua, Gus Dur melihat Barat bukanlah suatu ancaman terhadap Islam, tetapi berpeluang untuk mengisi dan melengkapi, ide-ide dan wacana yang diusung oleh Barat seperti demokrasi, pluralisme, gender dan perlindungan terhadap HAM menjadi isu utama yang dikembangkan oleh Gus Dur. Ketiga, Gus Dur mengedepankan sikap ekdlusif dan liberal terutama dalam menerima realitas faktual pluralitas yang ada ditengah masyarakat.
6.      Pemikiran Pluralistik
Sikap pluralis Abdurrahman Wahid ini lahir dari bentuk keniscayaan di saat pola keberagaman agama, kultur, ras, bersama-sama hidup dalam satu komunitas. Dengan sikap dan kesadaran ini Gus Dur memunculkan toleransi, dialog, kerjasama, solidaritas, persamaan dan tatanan politik yang demokratis. Dalam pandangan Gus Dur, sikap pluralis ini perlu dikembangkan untuk membina kerukunan antar umat beragama. Penerimaan secara teologis merupakan suatu yang signifikan ketika wacana tersebut dibawa dalam kerangka truth claim dalam beragama. Menurut Gus Dur, bahwa perbedaan keyakinan secara teologis tidak akan menghalangi untuk bekerjasama antar Islam dengan pemeluk agama lainnya, terutama dalam menyangkut masalah kemanusiaan. Baginya, sikap saling pengertian merupakan yang mendasar bagi umat agama, sehingga dapat bersama-sama melakukan refleksi diri dan bersama-sama menegakkan moralitas, keadilan dan perdamaian umat manusia.
7.      Pemikiran Humanistik
Pemikiran Abdurrahman Wahid berpijak pada dari suatu humanisme Islam. Humanisme Islam merupakan dasar normatif dan muara etis dari segenap pemikiran Abdurrahman Wahid. Sejak pribumisasi Islam, Islam sebagai etika sosial, negara kesejahteraan Islam hingga pluralitas. Dengan demikian, humanis Abdurrahman Wahid bukan antroposentrisme yang meniadakan agama dan Tuhan. Sebaliknya ia berangkat dari pemuliaan atas manusia, dimana manusia menjadi subjek sekaligus objek humanisme kehidupan, karena Allah telah memerintahkannya. Gus Dur mendasarkan sikap humanisnya pada pemuliaan Allah atas manusia sehingga Dia menciptakan manusia dengan kualitas terbaik. Humanis Gus Dur sangat menjunjung nilai kemanusiaan dan keadilan serta persamaan, karena martabat manusia terletak pada kebebasan dan rasionalitas setiap individu, maka manusia harus di hormati martabatnya. Gus Dur selalu memperjuangkan pembelaan terhadap kemanusiaan serta perlindungannya terhadap kelompok minoritas.
Perlindungan dan pembelaan Gus Dur adalah koitmen kepada diri kita sebagai manusia dan kemanusiaan itulah yang mengajarkan kepada kita bahwa kita adalah anak dari sebuah bangsa, bersama-sama menciptakan kehidupan dimuka bumi dalam lingkup Negara kita. Perlindungan atas hak dasar manusia, Gus Dur menyebutnya sebagai universalisme yang bisa diwujudkan melalui perluasan cakrawala keranah peradaban kosmopolitan modern. Karena Gus Dur menganggap bahwa persoalan manusia kontemporer hanya bisa diselesaikan melalui pranata modern.
Dengan demikian humanisasi yang di usung Gus Dur dapat dipraksisikan kedalam penegakan keadilan dalam bentuk demokratis, keadilan, kasih sayang antar sesama serta keshalihan normatif dan sosial. Humanisasi Gus Dur ada dua yaitu komitmen terhadap rasionalitas dan keyakinan bahwa melaui usaha rasioanal yang terus menerus maka Islam lebih sekedar mampu menjawab tantangan modernitas.
Ada lima eleman yang sangat disimpulkan dari pemikiran Abdurrahman Wahid. Pertama, pemikirannya progresif dan jauh kedepan. Baginya, daripada terlena oleh kemenangan masa lalu, Abdurahman melihat masa depan dengan harapan pasti bahwa, bagi Islam dan masyaakat Muslim, suatu yang terbaik pasti akan datang. Kedua, pemikiran Abdurrahman Wahid sebagian besar merupakan respons terhadap modernitas; respons dengan penuh percaya diri dan cerdas. Sembari tetap kritis terhadap kegagalan-kegagalan masyaraka Barat modern, Abdurrahman Wahid secara teratur bersikap positif terhadap nilai-nilai inti pemikiran liberal pasca pencerahan, walapun dia juga berpendapat hal ini perlu diikatkan pada dasar-dasar teistik. Ketiga, dia menegaskan bahwa sekularisme teistik ditegaskan dalam Pancasila merupakan dasar yang paling mungkin da terbaik bagi terbentuknya negara Indonesia modern dengan alasan posisi non-sektarian Pancasila sangat penting bagi kesejahteraan dan kejayaan bangsa. Abdurrahman Wahid menegaskan bahwa ruang yang paling cocok untuk islam adalah ruang sipil (civil sphere), bukan ruang politik praktis. Keempat, Abdurrahman Wahid mengartikulasikan pemahaman Islam liberal dan terbuka yang toleran terhadap perbedaan dan sangat peduli untuk menjaga harmoni dalam masyarakat. Kelima, pemikiran Abdurrahman Wahid mempresentasikan sintesis cerdas peikiran Islam tradisional, elemen modernisme Islam dan kesarjanaan modern, yang berusaha menghadapi tantangan modernitas baik dengan jujuran intelektual yang kuat mapun dengan keimanan yang mendalam terhadap kebenaran utama Islam.[62]

F.      Pandangan Abdurrahman Wahid Tentang Pendidikan
Pendidikan merupakan suatu proses memanusiakan manusia. Pendidikan adalah sebuah proses dimana generasi muda dipersiapkan untuk memasuki masa depan. Sementara itu dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 2 tahun 1989 Bab 1 Pasal 1 diesbutkan bahwa pendidikan ialah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual, keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta keterampilan yang dipelukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Dengan berdasarkan kepada nilai-niai ke-Islaman Abdurrahman Wahid memandang bahwasanya pendidikan merupakan langkah yang harus ditempuh seorang individu khususnya peserta didik untuk menyempurnakan kepribadian anak sesuai dengan tuntunan agama dan berakhlak universal. Lebih luas lagi Abdurrahman Wahid menambahkan bahwa dengan pendidikan akan membentuk pribadi kritis, peduli pada oluralisme sosial, hak asasi manusia sadar terhadap hak-hak publik dan taat pada hukum negara.
Terkait dengan pendidikan khususnya pendidikan Islam, Abdurrahman Wahid membaginya menjadi dua konsep yaitu pembaharuan pendidikan Islam dan modernisasi pendidikan Islam. Ajaran Islam itu harus diutamakan dan kaum muslimin harus dididik mengenai ajaran-ajaran agama mereka, dan dalam hal ini yang perlu dirubah adalah cara menyampaikan kepada peserta didik sehingga mereka mampu memahami dan mempertahankan kebenaran. Hal ini memiliki validitas sendiri, dapat dilihat dari kesungguhan anak muda muslim terpelajar, untuk menerapkan apa yang mereka anggap sebagai ajaran-ajaran yang benar tentang Islam.[63]
Pendidikan Islam tidak hanya hanya disampaikan dalam ajaran-ajaran formal Islam di sekolah-sekolah agama atau madrasah saja melainkan juga melalui sekolah-sekolah non agama yang berada diseluruh dunia. Hal lain yang harus diterima sebagai kenyataan kaum Muslimin adalah respon terhadap tantangan modernisasi. Tantangan seperti pengentasan kemiskinan, pelestarian lingkungan sampai menjaga keamanan dan kenyamanan bermasyarakat dan lain sebagainya merupakan renungan secara mendalam pendidikan Islam yang peduli terhadap kebersamaan dalam hidup. Pendidikan Islam harus bisa mampu meluruskan respon terhadap tanangan modernisasi itu, namun kesadaran akan hal itu justru belum nampak dalam pendidikan Islam dimanapun keberadaannya.[64]






[46] Tanggal kelahiran Abdurrahman Wahid sebenarnya adalah 7 September 1940, namun yang diingat oleh Gus Dur adalah tanggal hjriah sehingga ketka beliau ditanya oleh gurunya bahwasanya dia lahir pada tanggal 4 bulan 8, yang kemudian ditulis dengan 4 Agustus 1940. Padahal yang benar tanggal 4 Sya’ban 1359 yang bertepatan dengan 7 September 1940 dalam Greg Barton, Biografi Gus Dur The Authorzed Biography of Abdurrahman Wahid, (Yogyakarta: Lkis, 2006) hal. 25.
[47] Umarudin Masdar, Membaca Pikiran Gus Dur dan Amien Rais Tentang Demokrasi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), hal. 119
[48] Greg Barton, Biografi Gus Dur. . .  hal. 36.
[49] Ibid. Hal. 42.
[50] Greg Barton, Biografi Gus Dur. . ., hal. 56.
[51] Abdurrahman Wahid, Tuhan Tak Perlu Dibela, (Yogyakarta: Lkis, 1999), hal. 30

[53] Ibid, hal. 35.
[54] Abdullah Faishol, Abdurrahman Wahid; Jejak Sang Pendidikan Agama Islam dan Humoris, (Surakarta: AIS-Aswaja Institute Surakarta, 2010), hal. 22.
[55] Greg Barton, Biografi Gus Dur. . . hal. 119.
[56] Greg Barton, Biografi Gus Dur. . . hal. 178.
[57] Greg Barton, Biografi Gus Dur. . . hal. 26
[58] Sofwan Hidayat, “Multikulturalisme Abdurrahman Wahid dan Relevansinya dengan Pendidikan Islam”, Skripsi, Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2003, hal. 44
[59] Greg Barton, Gagasan Islam Liberal Di Indonesia: Pemikiran: Pemikiran Neo-Moderniseme Nurcholis Madjid, Djohan Effendi, Ahmad Wahab dan Abdurrahman Wahid, (Jakarta: Yayasan Adikarya, 1999), Hal. 332.
[60] Ahmad Ubaidillah, Gus Dur Muslim Humani, (Jakarta: Kompas Media Nusantara, 2010),  hlm. 30.
[61] M. Sofyan Hidayat, “Multikulturalisme Abdurrahman Wahid dan Relevansinya dengan Pendidikan Islam”, Skripsi, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2003, hlm. 67.
[62] Greg Barton, Abdurrman Wahid Dan Toleransi Keberagaman, dalam buku Gila Gus Dur, (Yogyakarta: LkiS 2000), hlm. 89-90.
[63] Abdurrahman Wahid, Islamku Islam Anda Islam Kita, (Jakarta: The Wahid Institute, 2006), hlm. 225.
[64] Ibid

1 komentar:

  1. Casinos Near Harrah's Casino in Tunica - MapYRO
    Casinos Near Harrah's 안동 출장안마 Casino · The Shoshone 의정부 출장샵 Casino Tunica · Harrah's Cherokee Casino 공주 출장샵 · Hollywood Casino at 거제 출장마사지 Charles Town Races · 원주 출장안마 Horseshoe Casino at

    BalasHapus