BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Kekerasan
bernuansa SARA akhir-akhir ini terus belangsung. Sejak kasus WTC, 11 September
2001 lalu dan disusul kemudian oleh bom Bali serta berturut-turut oleh
kerusuhan bernuansa agama yang lain menandai adanya hubungan yang kompatibel
antara agama dan kekerasan. Tertangkapnya beberapa orang seperti Hambali,
Amrozi dan kawan-kawannya telah semakin meyakinkan orang bahwa memang ada
Jama’ah Islam (JI) yang melakukan teror di berbgai belahan dunia ini. [1]
Bila kita flashback
ke belakang terdapat berbagai macam kasus konflik yang ada di Indonesia.
Tahun 1998 telah menyisakan banyak noda hitam dalam kehidupan beragama di
negeri yang katanya religious
ini. Banyak peristiwa sangat memprihatinkan
kita semua. Orang tidak bisa lagi dapat menikmati kehidupan yang tenteram,
nyaman, aman dan damai.
Kerusuhan,
pembantaian, pembunuhan, dan penjarahan yang sifatnya SARA merupakan fenomena
yang dapat menimpa siapa saja. Pendek kata, kehidupan multisuku, agama, ras dan
antargolongan, yang bukan saja merupakan sebuah keniscayaan tetapi menjadi
kesadaran bersama untuk membangun bangsa mudah terusik, meledak menjadi sebuah
kerusuhan yang amat dahsyat.
Kerusuhan
yang amat brutal pernah terjadi di kota-kota besar di Indonesia seperti di
Jakarta, 11 Mei 1998, yang menelan korban
ratusan jiwa manusia dan kerugian materi tak kurang dari Rp 600 miliar
adalah kerusuhan yang disinyalir bermotifkan “pembasmian” etnis tertentu yang
mungkin menganut agama tertentu pula. Kemudian kerusuhan pada tanggal 14-15 Mei
1998 di Solo, di mana saat itu aparat keamanan sangat jelas terlihat amat lamban
mengantisipasi, apalagi mengamankan.
Aparat
keamanan dapat dituduh “merestui” kerusuhan, pembakaran dan penjarahan tersebut
jika lihat dalam video-video yang sempat merekamnya. Kerugian material maupun
nonmaterial yang merenggut banyak korban jiwa.[2]
Belum
reda ingatan histeris masyarakat kita, terutama yang jumlahnya minoritas,
kerusuhan yang sama kembali menyentak ketentraman masyarakat. Peristiwa
Ketapang dan Kupang pada Desember 1998 adalah album suram kehidupan antaretnis
yang kesekian kalinya. Motifnya lagi-lagi bernuansa SARA. Di Jalan Ketapang,
Jakarta dihembuskan isu, adanya orang yang merusak sebuah tempat ibadah salah
satu umat beragama, sehingga tersebarlah di tengah umat kehidupan beragamanya
telah diusik. Maka semua itu berakibat pada pembakaran tujuh gereja. Sedangkan
di Kupang (Nusa Tenggara Timur) yang
kita ketahui sebagai salah satu daerah mayoritas beragama Kristen/Katolik yang
terjadi adalah pembakaran Masjid oleh sekelompok orang yang tidak bertanggung
jawab karena Kupang adalah kota yang umat beragamanya sangat toleran terhadap
umat lain (terutama terhadap Islam).[3]
Selain
itu terdapat peristiwa-peristiwa lain di negeri ini yang berbau kekerasan
bahkan sampai tindak kriminal yang justru terjadi dalam satu identitas agama
yang sama. Sikap sesat menyesatkan antara satu paham dengan paham yang lain
dalam suatu agama di Indonesia tak jarang berujung pada kekerasan terhadap
kelompok yang diklaim
“sesat” oleh kelompok lainnya.
Sebagaimana
yang dihimpun oleh Center for Religious and Cross-cultura Studies (CRCS)
UGM ada beberapa contoh konkrit maraknya praktik kekerasan kehidupan beragama
di Indonesia antar kelompok dalam internal agama, antara lain : (1) penyerangan
terhadap kelompok Satariah Sahid di Medan pada tanggal 22 Januari 2008, yang
tidak saja merusak fasilitas fisik milik kelompok tersebut, namun juga telah
mengancam jiwa pengikutnya; (2) konflik antara kelompok Majelis Mujahidin dan
kelompok muslim tradisional yang telah lama ada di Lombok Timur bisa berakhir
dengan bentrok yang dipicu oleh perbedaan tata cara dalam penyelenggaraan
shalat Jum’at; dan (3) kenyataan eksklusifisme juga berakibat pada
pengusiran warga terhadap dua tokoh Salafi di Dusun Mesanggok, Gapuk, Geruk,
Lombok Barat, dimana sebelumnya warga sekitar berusaha merusak rumah keduanya.
Keduanya disinyalir warga sering mendiskriditkan paham ke-Islaman warga dengan
menganggapnya bid’ah dan sesat.[4]
Terdapat
hubungan timbal-balik antara
kondisi masyarakat dengan dunia pendidikan. Hubungan disini bermakna bahwa apa yang
terjadi di dalam lingkungan masyarakat
yang komleks, tergambar dalam dunia pendidikan nasional di negeri kita.[5]
Salah satu persoalan
yang kini menjadi
tantangan besar,
termasuk bagi dunia
pendidikan, adalah konflik dan kekerasan dalam masyarakat. Kekerasan semakin akrab dengan masyarakat Indonesia. Ada kekerasan
dalam
skala kecil,
tingkat lingkungan, desa,
bahkan antaretnis. Semua
fenomena kekerasan dalam berbagai level tersebut membutuhkan kontribusi dunia pendidikan dalam
pemecahannya.[6]
Pendidikan merupakan landasan utama serta mendasar dalam
mewujudkan sebuah perubahan. Hanya dengan pendidikanlah paradigma, sikap dan
perilaku umat manusia dapat berubah dan tercerahkan. Dengan demikian, sangat
benar adanya ketika John Locke, seorang filsuf Inggris, menggemakan tentang
pentingnya pendidikan. Menurut John Locke, sejak lahir manusia merupakan sesuatu
yang kosong
dan
dapat diisi
dengan
masyarakat modern terperangkap dalam “kerangkeng kehidupan“. Perasaan resah senantiasa bergelanyut dalam kehidupannya akibat perubahan sosial yang
berlangsung sangat
cepat,
interaksi sosial yang berubah
menjadi
gersang, maupun perubahan
stabilitas sosial menjadi mobilitas sosial.[7]
Namun
disisi lain, tidak sedikit masyarakat modern ini yang memiliki paham Islam
fanatis, duplikatif tidak akomodatif sehingga masyarakat ini tidak siap menghadapi realitas kehidupan
(pergeseran nilai)
dalam aspek idiologi, sosial-budaya, politik, ekonomi, dan sebagainya yang
dipandangnya tepat
dalam konteks keagamaan.
Hal tersebut bisa berakibat fatal apabila terus terjadi dalam masyarakat kita,
maka akan banyak lagi kekerasan-kekerasan dan menghasilkan koflik seperti yang
telah dipaparkan sebelumnya.
Bila
kita cermati dan pahami kembali berbagai konflik yang berdarah-darah perihal
perilaku para pemeluk agama, tampaknya bukan agamalah yang menjadi biang keladi
kerusuhan dan kenestapaan manusia dewasa ini. Melainkan para pemeluk agama yang
masih menggunakan perspektif aksklusif dan perspektif mereka sendiri yang mencoba
memahami apa yang ada di depan mata dengan kacamata milik sendiri, tidak
mencoba melihat dengan sisi lain yang lebih luas.
Melihat
berbagai konflik dan kekerasan yang ada di Indonesia, umat Islam sebagai umat
terbesar di Indonesia perlu memiliki pemahaman yang mendasar dan wawasan yang
luas mengenai kehidupan bersama dalam perbedaan yang ada. Dalam hal ini terdapat sebuah paradigma
yang dikenal sebagai paradigma Islam inklusif. Secara umum Islam inklusif dalah
sebuah pemikiran yang bersifat terbuka. Inklusifisme dalam Islam ini identik
dengan sikap keterbukaan, toleransi dan semangat bekerjasama baik antar pemeluk
agama Islam maupun dengan pemeluk agama lain. Salah satu tokoh yang menggagas
hal ini adalah KH. Abdurrahman Wahid alias Gus Dur.
Menurut Abdurrahman Wahid, Islam dengan tauhid dapat menegakkan
penghargaan terhadap perbedaan pendapat. Jika perbedaan pendapat dapat
ditolelir dalam yang paling dasar seperti keimanan, tentunya sikap tenggang rasa
lebih lagi diperkenankan dalam perbedaan sebuah ideologi. Pada aspek ini Islam
melalui ajarannya memiliki pandangan universal yang berlaku untuk umat Islam
secara keseluruhan.[8]
Islam memberikan kebebasan untuk melakukan upaya perbandingan antara berbagai
keyakinan termasuk keimanan kita dan dalam proses itu membuktikan keampuhan
keimanan kita sendiri.
Abdurrahman Wahid mengembangkan pandangan anti ekslusivisme agama, hal
ini berdasarkan fenomena bahwasanya peristiwa kerusuhan dan kekerasan yang berkedok
pada agama dibeberapa tempat adalah akibat dari ekslusivisme agama. Beliau
ingin adanya bentuk keterbukaan pada kehidupan masyarakat Islam yang plural.[9]
Nilai-nilai Islam inklusif Abdurrahman Wahid menurut penulis sangat
penting dan mempunyai nilai kontribusi yang besar dalam memahami pendidikan Islam
dalam kaitannya dengan masalah-masalah peradaban dan kemanusiaan. Gagasan
Abdurrahman Wahis tentang Islam inklusif ini akan mampu memberikan solusi
terhadap masalah yang dihadapi manusia Indonesia saat ini khususnya masalah
kekerasan yang disebabkan oleh perbedaan pemahaman ajaran agama maupun
perbedaan agama itu sendiri.
Beliau ingin umat Islam ikut serta dalam membangun budaya dan peradaban
bangsa ini khususnya dan umat manusia pada umumnya. Berbagai konstruk pemikiran
Abdurrahman Wahid lahir dari pemahamannya yang mendalam mengenai ke-Islaman dan
ke-Indonesiaan. Dari pemaparan di atas maka penulis merasa tertarik untuk
mengadakan kajian analitis yang lebih mendalam tentang nilai-nilai Islam
inklusif dari seorang Abdurrahman Wahid. Hal tersebut menjadi tema yang relevan
penting dan menarik karena hal tersebut dapat menjadi terobosan-terobosan baru dalam
rangka mengelaborasikan nilai-nilai ke-Islaman dan ke-Indonesiaan untuk
mewujudkan tatanan masyarakat yang damai sejahtera dalam berbangsa dan
bernegara.
Dalam hubungannya dengan pendidikan Islam, nilai-nilai Islam inklusif
merupakan sebuah alternatif solusi atas kritik yang kerap diterima kalangan
pendidikan Islam, bahwasanya pendidikan Islam dianggap hanya mempraktikan
pendidikan secara eksklusif dan kurang menyentuh aspek perilaku seorang peserta
didik. Hal tersebut masih menjadi sebuah pekerjaan rumah yang sepertinya masih
belum dapat terselesaikan dengan maksimal.
Dalam penelitian ini,
sebenarnya masih
banyak
sosok lain yang membahas tentang nilai-nilai Islam
inklusif, seperti; Nurcholis Madjid, Mukti Ali
ataupun Ainun Nadjib. Akan tetapi sosok Abdurrahman
Rahman Wahid atau lebih kita kenal dengan nama Gus Dur menjadi pilihan yang relevan, karena
seperti yang kita ketahui berkat peran usaha kerasnya beliau mengayomi para
kaum minoritas di negeri ini khsususnya para pemeluk agama Kong Huchu menjadi
lebih tenang dan nyaman dalam beribadah. Gus Dur berhasil memasukan agama Kong
Huchu ke dalam salah satu agama resmi yang ada di Indonesia. Hal tersebut dapat
memperbaiki citra kaum Muslim yang sebelumnya sempat tercoreng karena adanya
kasus terorisme di berbagai daerah di muka bumi ini. Serta menunjukan
bahwasanya sesungguhnya agama Islam adalah agama yang plural, yang bisa
menerima setiap perbeadaan yang ada.
Berangkat
dari hal tersebut pula menjadi sangat penting dan urgent bahwa aktualisasi
nilai-nilai Islam inklusif
dalam pendidikan Islam
mau tidak mau memang harus bisa di aplikasikan dalam dunia
pendidikan kita. Bukan sekedar nilai normatif yang hanya kita pelajari dalam
agama Islam ini, melainkan nilai-nilai moral serta etika dalam kehidupan di dunia
dan bersama dunia ini. Mengingat banyaknya kasus-kasus konflik dan kekerasan
yang ada di berbagai wilayah negeri ini. Melalui gagasan-gagasan yang di usung
oleh Abdurrahman Wahid (Gus Dur) inilah yang nantinya akan dapat menjadi sebuah
refleksi dalam dunia pendidikan di Indonesia serta menjadi sebuah alternatif
jalan keluar untuk menjadikan bangsa ini menjadi satu kesatuan yang utuh tanpa
dibatasi akan segala perbedaan yang ada.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan
uraian latar belakang di atas, maka
penulis dapat merumuskan permasalahan yang menjadi obyek utama dalam penyusunan
skripsi ini, diantaranya adalah :
1.
Nilai-nilai
Islam inklusif apa saja yang ada dalam Pendidikan Islam?
2.
Bagaimana
aktualisasi nilai-nilai Islam inklusif
dalam Pendidikan Islam
menurut Abdurrahman Wahid?
C. Tujuan
dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan
Penelitian
Dari
rumusan masalah yang telah dikemukakan di atas, maka tujuan dari penelituan ini
adalah :
a. Untuk
mengetahui Nilai-Nilai Islam inklusif dalam
Pendidikan Islam.
b. Untuk
mengetahui bagaimana
aktualisasi nilai-nilai Islam inklusif dalam pendidikan
Islam menurut Abdurrahman
Wahid..
2. Kegunaan
Penelitian
Selanjutnya
hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna dan bermanfaat, antara lain :
a. Secara teoritik-akademis, sebagai penambah
khazanah pengetahuan
Islam, atau
kajian Islamic studies (dirasat Islamiyah), khususnya dalam bidang pendidikan Islam di Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan.
b. Secara konseptual-teoritis, sebagai
landasan untuk mengembangkan pendidikan Islam
beparadigma inklusif-pluralis dan humanis.
c. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat diterima
dan dipahami oleh pendidik
(guru), pemerhati pendidikan,
dan atau peserta didik dalam merespon kemajemukan bangsa.
Serta dapat mengimplementasikannya
dalam berbagai
aspek pendidikan
seperti guru, peserta didik,
kurikulum, metode dan
evaluasi.
D. Kajian
Pustaka
Dalam penyusunan skripsi ini, maka
terlebih dahulu akan dipaparkan mengenai karya-karya yang
relevan dengan
pembahasan, seperti mengenai pluralisme keagamaan, inklusivisme dan karya-karya
yang membahas tentang
Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Upaya
ini dilakukan agar
dalam penelitian ini lebih
kredibel dan tidak terjadi pengulangan penelitian
sejenis. Penulis membahas secara
konprehensif tentang
karya-karya yang
dimaksud sesuai dengan konteks penelitian penulis agar relevan
dengan judul skripsi di atas. Adapun
beberapa karya yang relevan dengan penelitian ini, diantaranya adalah sebagai
beriku :
Pertama, Muhammad Syamsuddin (mahasiswa jurusan Pendidikan Agama
Islam, Faklutas Tarbiyah dan Keguruan UIN
Sunan Kalijaga
Yogyakarta)
yang berjudul,
Pengembangan Pluralisme Agama Dalam Pendidikan Agama
Islam; Studi Tafsir
Al-Azhar (2008).
Dalam skripsi tersebut penulis berusaha menelaah pluralisme agama dalam tafsir
Al-Azhar
(Hamka) sebagai
usaha
pengembangan
PAI.
Secara konseptual
dalam tafsir al-Azhar (tentang ayat-ayat pluralisme)
telah memberikan sentuhan yang sangat berharga, bahwa sikap
toleransi, persamaan persepsi,
merupakan modal besar Islam dalam merajut hidup rukun dan damai di tengah-tengah masyarakat yang plural. Pendidikan
Agama Islam perlu diletakkan dalam
bingkai/kerangka: (1) internalisasi
ajaran Islam secara
kritis, reflektif
dan
dialogis, agar
peserta didik
memperoleh pemahaman yang gamblang tentang
kebenaran ajaran
agamanya dan
terhindar dari sikap pensakralan
pemikiran keagamaan; dan
(2) sosialisasi pluralitas keberagamaan masyarakat, agar anak didik berkesiapan untuk bersikap toleran-inklusif terhadap keragaman
paham, baik
dalam
intraagama maupun
interagama. Proses pendidikan agama Islam harus berperan dalam
menyadarkan peserta didik mengenai wawasan subtantif-universal
agama.
Kedua, Yu’timaalahuyatazaka
(mahasiswa jurusan Pendidikan Agama Islam, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta) dengan judul Esoterisme
Seyyed Hossein Nasr dan Relevansinya dengan Pendidikan Islam Inklusif-Pluralis;
Styudi Filsafat Perennial (2013). Dalam skripsi tersebut menggunakan jenis
penelitian library research dengan cara mencoba menafsirkan isi atau
gagasan seorang tokoh yang bernama Seyyed Hossein Nasr. Skripsi tersebut
memaparkan bahwasanya pendidikan Islam secara konseptual-teoritis mengandung
tiga prinsip fundamental. Prinsip pertama adalah Prinsip Kritis
Emansipator; yaitu sebuah resposif terhadap konflik dan transformatif menuju
kebaikan. Kedua Prinsip Reflektif-Pluralis; merupakan sebuah konsep al-Tauhid
yang bersifat mistik serta melintasi bentuk dan simbol dibalik fenomena
keberagaman agama dan budaya. Ketiga Prinsip Reflektif-Dialogis; berupa
respon positif terhadap fenomena pluralisme. Skripsi ini lebih meninjau
pluralisme secara filosofis berangkat dari dari seorang filsuf keturunan timur
tengah bernama Seyyed Hossein Nasr tersebut. Dalam hal ini terdapat perbedaan
yang sangat mencolok dengan skripsi yang akan penulis sajikan. Pada kesempatan
kali ini penulis akan berusaha memaparkan konsep seorang tokoh Pluralisme yang
ada di negeri ini yang pastinya akan lebih memahami seluk beluk adat serta
keragaman budaya bangsa. Terlebih lagi pengalaman-pengalaman beliau yang telah
merasakan perbedaan atmosfier kehidupan di dunia timur dan barat.
Ketiga, Azmussya’ni
(mahasiswa jurusan Pendidikan Agama Islam, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta) yang berjudul Pendidikan Agama Pluralis; Telaah Atas Buku Pluralisme, Konflik dan
Pendidikan Agama di Indonesia (2010). Dalam skripsi tersebut membahas
tentang koflik yang sering terjadi di Indonesia. Melalui pendidikan agama
menjadi salah satu media paling efektif untuk melahirkan generasi yang memiliki
pandangan yang mampu menjadikan keragama sebagai bagian yang harus diapresi
secara konstruktif, sehingga menciptakan manusia-manusia yang memiliki
toleransi, menghargai hak asasi manusia dan sekaligus menghargai keragaman yang
ada.
Keempat, Lilik
Suparno (mahasiswa jurusan Pendidikan Agama Islam, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan
Keguruan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta) yang berjudul Nilai-Nilai Pluralisme dalam Mata Pelajaran Sejarah Kebudayaan Islam
(2009). Penulis menelaah nilai-nilai pluralisme dalam mata pelajaran Sejarah
Kebudayaan Islam, dengan menganalisis isi materi dalam buku SKI untuk madrasah
aliyah dan mencari nilai-nilai pluralisme buku tersebut.
Kelima, Umi Barokah (mahasiswa jurusan Kependidikan Islam, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta) yang
berjudul: Konsep Pendidikan Islam Dalam
Pluralisme Agama (2008). Dalam skripsi tersebut berisi tentang Islam pluralisme agama
mempunyai akar
filosofis dan sosial historis dalam suatu teks dan juga sejarah kehidupan Nabi Muhammad saw, dan juga para sahabat baik secara ontologis,
epistemologis,
dan aksiologis. Pluralisme
merupakan keniscayaan
sejarah sebagai bentuk keadilan dan kasih sayang Tuhan kepada manusia.
Selain itu juga memberikan kritik terhadap tradisi Barat yang
menganggap Islam sebagai orang lain kemudian mempermasalahkan dan menuding mereka dengan sesuatu yang bertentangan dengan nilai-nilai universal. Kritikan
juga
ditujukan kepada kelompok missionaris yang
merusak nuansa keberagamaan yang harmonis dengan membawa nilai-nilai sekular dan westernisasi terhadap Islam.
Dalam skripsi Umi Barokah kurang begitu
memberikan makna signifikansi pluralisme dalam pendidikan. Apabila
pluralisme hanya dimaknai sebagai ajang
resolusi konflik dengan menampilkan sikap apresiasi dan toleransi dalam kemajemukan, tanpa memberikan kesadaran tentang hakikat pluralisme, maka komponen pendidikan seperti pendidik dan peserta didik tidak akan pernah menyadari bahwa
pluralisme adalah suatu keniscayaan. Suatu hal yang meaningless (percuma), apabila disatu sisi
mereka diseru untuk bersikap toleran dan
apresiatif terhadap keragaman. Namun, disisi lain mereka tidak menyadari bahwa
pluralitas adalah kehendak Tuhan. Dalam skripsi tersebut hanya sekedar memberikan sosialisasi tentang arti pentingnya bersikap toleran dan
apresiatif
terhadap
keberagaman.
Keenam, Budi Irawan
(mahasiswa jurusan Aqidah Filsafat Fakultas Ushuluddin, Studi Agama dan
Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijagga) yang berjudul; Islam dan Pluralisme Agama Menurut Seyyed Hossein Nasr (2010).
Dalam skripsi tersebut dipaparkan mengenai pendapat seorang tokoh yang bernama Seyyed
Hossein Nasr tentang pluralisme agama. Dalam Islam, pluralisme mempunyai akar
filosofis dan sosial historis dalam suatu teks dan juga sejarah kehidupan Nabi
Muhammad saw, dan juga para sahabat baik secara ontologis, epistemologis dan
aksiologis. Pluralisme merupakan keniscayaan sejarah sebagai bentuk keadilan
dan kasih sayang Tuhan kepada manusia. Dalam skripsi tersebut penulis
memaparkan pendapat Hossein
Nasr tentang sebuah kritik terhadap tradisi Barat yang menganggap Islam
sebagai orang lain kemudian mempermasalahkan dan menuding mereka
dengan sesuatu yang bertentangan dengan nilai-nilai universal. Kritikan juga
ditujukan kepada kelompok missionaris yang merusak nuansa keberagaman yang
harmonis dengan membawa nilai-nilai sekular dan westernisasi terhadap Islam.
Pada
skripsi yang pertama yang ditulis oleh Muhammad Syamsuddin dan yang kedua
ditulis oleh Yu’timaalahuyatazaka, skripsi mereka sama-sama mengangkat tentang
sebuah pluralisme agama. Namun yang menjadi perbedaan disini adalah mengenai
kajian tokoh pemikirnya. Pada skripsi Muhammad Syamsuddin, ia menggunakan tokoh
pemikiran Hamka dalam kitab Tafsir Al-Azhar. Berbeda dengan skripsi kedua yang
menggunakan tokoh pemikiran Yu’timaalahuyatazaka, ia menggunakan pemikiran
seorang tokoh yang bernama Seyyed Hossein Nasr. Kedua skripsi tersebut
mempunyai kesamaan dalam corak pemikirannya karena kedua tokoh tersebut hidup
dalam budaya kehidupan Timur Tengah sana. Skripsi tersebut sangat berbeda
dengan skripsi yang akan penulis tuliskan nantinya, karena disini penulis akan
menyajikan gagasan seorang tokoh yang merupakan putra asli negeri ini yang
pastinya lebih mengerti dan memahami karakter bangsa Indonesia itu sendiri.
Pada
skripsi ketiga yang ditulis oleh Azmussya’ni dan skipsi keempat yang ditulis
oleh Lilik Suparno, dalam kedua skripsi tersebut mereka hanya memberikan
pengertian seputar pluralisme agama. Skripsi Azmussya’ni,
ia menelaah dari sebuah buku yang berjudul Pluralisme, Konflik dan Pendidikan
Agama di Indonesia. Sedangkan dalam skripsi Lilik Suparno, ia hanya mengkaji
pluralime sebatas dalam materi buku Mata Pelajaran Sejarah Kebudayaan Islam
saja.
Pada
skripsi kelima yang ditulis Umi Barokah, ia mengkaji seputar pluralisme agama
dalam Islam. Sedangkan skripsi keenam yang ditulis Budi Irawan, ia pun mengkaji
Pluralisme Agama. Kedua skripsi tersebut mempunyai kesamaan kajianya yaitu
tentang pluralisme agama secara umum tanpa memasukan unsur kependidikan di
dalamnya. Berangkat dari hal itu, maka menjadi sangat jelas perbedaan yang ada
dalam penulisan skripsi ini, penulisan dalam skripsi ini menggunakan pemikiran
seorang tokoh yang bernama Abdurrahman Wahid atau lebih dikenal dengan sebutan
Gus Dur. Seperti yang kita ketahui beliau merupakan orang Indonesia asli. Dalam
kesempatan ini penulis akan memaparkan gagasan-gagasan Gus Dur seputar
Pluralisme dan Inklusivisme dalam pendidikan.
E. Landasan Teori
Landasan
teori merupakan suatu pedoman untuk mencari data atau informasi yang terkait
atau berhubungan dengan penelitian yang sedang dilakukan. Untuk memperlihatkan
sistematika dan metodologi dalam penyusunan penelitian ini, maka penulis
memaparkan kerangka teoritik yang dapat dijadikan sebagai alat untuk
menganalisis penelitian tersebut. Adapun landasan teori dalam penelitian ini yang akan dijadikan bingkai (frame) adalah teori inklusivisme,
pluralisme, dan humanisme dalam pemikiran Alwi Shihab sebagai paradigma pendidkan
Islam.
Dalam
hal ini Alwi Shihab menyajikan berbagai macam point yang dijadikan pembahasan dalam konteks Islam inklusif, berbagai
macam point tersebut meliputi:
Pluralisme Agama, Posmodernisme Agama, Paradigma Agama-agama, Harmoni
Antaragama, Inklusivisme Islam, Hubungan Muslim-Kristen, Fundamentalisme
Yahudi, Tradisi Agama-agama, Humanisme dalam Islam, Euthanasia dalam Islam,
Radikalisme Agama dan Konservatisme Islam di Amerika.[10] Namun
dalam kesempatan ini penulis hanya mengambil beberapa point tersebut. Hal itu dilakukan karena penulis meninjau kembali
bahwasanya hanya beberapa point yang
telah disebutkan oleh Alwi Shihab tersebut yang relevan dan berkaitan erat
dengan gagasan-gagasan Abdurrahman Wahid. Selain itu juga untuk menjadi batasan
penulis agar tidak sampai keluar dari topik pembahasan. Untuk menegaskan
kembali landasan teori, penulis mendasarkan nilai-nilai Islam Inklusivisme,
Pluralisme dan Humanisme dalam pendidikan Islam.
1.
Aktualisasi
Nilai-nilai Islam
Inklusif
Kata aktualisasi dalam kamus “Ilmiah Populer” memiliki arti
mengaktualkan, mewujudkan, merealisasikan serta melaksanakan. Secara filosofis, nilai
sangat terkait dengan masalah etika. Nilai antara lain juga berarti standar
tingkah laku, keadilan, kebenaran dan efisiensi yang mengikat manusia dan
sepatutnya untuk dijalankan dan dipertahankan. Nilai juga berarti konsepsi
abstrak dalam diri manusia mengenai baik dan buruk.[11]
Nilai merupakan salah satu tipe atau pola kepercayaan yang berada pada ruang
lingkup sistem kepercayaan seseorang di mana dia harus bertindak atau
menghindari suatu tindakan atau mengenai sesuatu yang pantas atau tidak pantas
dikerjakan, dimiliki atau dipercayai seseorang.
Dalam kehidupan manusia terdapat sesuatu yang bermanfaat,
sehingga kelangsungan hidup seseorang atau masyarakat dapat dipertahankan. Oleh
karena itu, manusia memberikan penghargaan terhadap sesuatu sehubungan manfaat
atau kegunaan sesuatu dalam hidupnya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa
nilai adalah penafsiran untuk memberikan penghargaan terhadap sesuatu ditinjau
dari segi manfaat sesuatu tersebut bagi kehidupannya. Karena nilai berhubungan
dengan kehidupan manusia maka istilah nilai disebut sebagai nilai hidup atau
nilai dalam kehidupan. Dalam koteks ke-Islaman, nilai-nilai atau etika kehidupan bersumber pada sumber
Al-Qur’an dan Sunnah Nabi yang kemudian dikembangkan oleh hasil ijtihad para
ulama. Nilai-nilai yang bersumber kepada adat istiadat atau tradisi dan ideologi sangat rentan
dan situsional. Sebab keduanya adalah produk budaya manusia yang bersifat
relatif, kadang-kadang bersifat lokal dan situsional.[12]
Sedangkan nilai-nilai Islam yang bersumber kepada Al-Qur’an adalah kuat, karena
ajaran Al-Qur’an bersifat mutlak dan universal.
Islam adalah agama yg diajarkan oleh Nabi Muhammad saw.
berpedoman pada kitab suci Al-Quran yg diturunkan ke dunia melalui wahyu Allah Swt.[13]
Islam menurut makna sejatinya adalah sikap pasrah dan tunduk kepada Tuhan Yang
Maha Esa. Orang yang pasrah dan tunduk kepada Tuhan yang Maha Esa disebut muslim bentuk jamaknya disebut “muslimin”. Dalam
keyakinan ini terkandung keyakinan bahwa hanya Tuhanlah satu-satunya yang harus
disembah, dipuja, dan diagungkan. Ajaran ini dalam Islam disebut Tauhid. Ia
adalah inti dan prinsip tertinggi serta ajaran utama bukan hanya bagi dan dalam
agama yang dibawa Nabi Muhammad Saw., tetapi juga dalam semua agama yang dibawa
para utusan Tuhan.
Dalam Islam, semua
nabi dan rasul Tuhan, baik yang disebutkan dalam Al Qur’an maupun yang tidak
disebutkan adalah orang-orang yang Islam (muslimun). Ini sudah tentu berarti mereka adalah orang-orang
yang tunduk dan pasrah kepada Allah semata-mata. Nabi Muhammad Saw. sebagai
utusan (rasul) terakhir Tuhan, dilahirkan dan hadir dalam rangka mengajarkan
kembali prinsip kepasrahan dan keimanan tersebut. Pengertian ini dapat dibaca
dalam banyak ayat Al-Qur’an. Seperti
yang ada dalam Al Qur’an Surat Al Baqarah ayat 132[14]
dan Surat Ali Imran ayat 84-85[15].
Inklusif
secara etimologi memiliki arti terhitung, global, menyeluruh, penuh,
komprehensif dan keterbukaan. Kata inklusif berasal dari bentukan kata bahasa Inggris “inclusive” yang artinya termasuk di
dalamnya.[16]
Sikap inklusif dalam beragama meruapakan suatu pandangan yang menyatakan
bahwa semua agama-agama yang ada semuanya memiliki kebenaran dan memberikan
manfaat dan keselamatan bagi para penganutnya, sebagaimana di Indonesia
terdapat beraneka ragam agama yang diakui dan banyak penganutnya. Indonesia
pernah mengalami suatu masa di mana hubungan antaragama sangat mengesankan kita
semua. Umat beragama di Indonesia mampu hidup berdampingan secara damai.
Seperti pada masa lampau di mana umat Hindu, Budha, dan umat Islam dapat saling
menghormati satu sama lain dalam kehidupan sehari-harinya dalam masyarakat.
Menurut Alwi Shihab terdapat beberapa langkah menuju inklusivisme agama
yaitu yang pertama masing-masing kelompok agama harus memiliki kemauan
mendengarkan satu sama lain tanpa harus mengorbankan prinsip-prinsip keagamaan.
Kedua, masing-masing kelompok agama harus mampu melepaskan perasaan benci
historis mereka dan bersama-sama terlibat dalam menganjurkan nilai-nilai dasar
yang sama-sama dipijak oleh agama-agama tersebut. Ketiga para pemimpin agama
harus menentukan bagaimana agar para pengikutnya bisa menerapkan keilmuannya
seraya menumbuhkan toleransi beragama yang merupakan tujuan utama yang didukung
dan dimajukan oleh negara.[17]
Dari sinilah kita harus dan sangat perlu untuk mewujudkan tatanan masyarakat yang harmonis ditengah berbagai
perbedaan yang ada. Salah satu cara alternatif untuk mewujudkan hal tersebut
adalah dengan cara menumbuhkan nilai-nilai Islam inklusif. Adapun nilai-nilai Islam
inklusif yang perlu ditanamkan menurut Alwi Shihab yang menjadi landasan teori
peneliti dalam skirpsi ini adalah sebagai berikut :[18]
a.
Nilai
Pluralisme
Pluralistik
bukanlah paham yang mengakui bahwa semua agama adalah sama benarnya, melainkan
suatu realitas yang harus diterima bahwa manusia hidup bersama dalam
keberbedaan baik budaya maupun agama.[19]
Dalam konteks relasi umat beragama, ada kecenderungan untuk menjadikan agama
sebagai media pemersatu umat. Melalui elit agama dan dialog antarumat beragama
diharapkan muncul kesadaran bersama untuk menciptakan persaudaraan sejati
berdasarkan spirit kebenaran universal agama.
Dalam
Christian-Moslem Dialogue (CMD), terdapat beberapa gagasan yang muncul
mengenai perlunya dialog antar umat beragama. Menurut peserta dari kalangan
Kristiani, dialog dapat dilakukan secara perlahan tetapi pasti. Mereka
menambahkan, sebagaimana yang terdapat dalam firman Tuhan, terdapat kontak
antara orang Kristen dengan orang Yahudi. Selain itu sesuai ayat dalam Alkitab,
sudah selayaknya pertemuan Cornelius dan Petrus menjadi contoh aktualisasi dari
dialog antarumat beragama. Maka, jika ditarik dari Kristiani, sesungguhnya Islam
dan Kristen memiliki basis yang sama yaitu iman Abraham. Selain itu, sejak
lahir manusia sudah memiliki bangunan yang sama, yaitu tanah dan roh.
Permasalahan timbul, saat agama-agama menghampiri angan-angan. Ini yang
menyebabkan, orang Kristiani terkadang lupa bahwa menerima Yesus sama artinya
menerima makna kemausiaan. Sayangnya mereka sering salah paham dengan hal itu.
Jika sarana kemanusiaan bisa dipulihkan dan simbol-simbol disingkirkan, sudah
pasti akan terjadi dialog. Tetapi sebaliknya, konflik dipastikan terjadi jika
gereja-gereja hanya mencari massa bukan menanamkan esensi menerima Yesus.[20]
Sudah
barang tentu, fenomena keagaman (pluralitas) agama tersebut yang didalamnya
terdapat sekelompok orang dari berbagai tradisi agama dan budaya pada
esensisnya merupakan salah satu persoalan yang dihadapi oleh setiap orang
beragama. Dalam konteks pluralitas agama dan relasi antarumat beragama inilah
tentu masih menyisakan problem dan sekaligus tantangan yang harus dihadapi bersama oleh para
agamawan. Bagaimana mereka memahami pluralisme itu sendiri, bagaimana
mereka menyikapi, dan pola apa yang mereka bangun dalam konteks relasi umat
beragama? Maka dari
itulah guna membangun kesadaran pluralisme perlu adanya sikap toleransi dan
kerukunan beragama.[21]
1)
Toleransi
Istilah
Toleransi berasal dari bahasa Inggris, yaitu : tolerance berarti sikap
membiarkan, menghormati keyakinan orang lain tanpa memerlukan persetujuan. Disamping kata toleransi juga kerap kali kita
mendengar kata “tolerer”. Kata ini adalah bahasa Belanda yang berarti
membolehkan atau membiarkan yang pada prinsipnya tidak perlu terjadi.[22]
Dalam
Islam sendiri toleransi sejajar dengan tasamuh al-Islam. Berasal dari
kata al-simah dan al-samahah yang berarti saling mengizinkan,
saling memudahkan dan kemurahan. Jika dikaitkan dengan hubungan interreligious, maka toleransi dapat diartikan sebagai kemurahan, pengampunan
dan perdamaian Islam kepada pemeluk agama lain.[23]
Toleransi Islam tidak terbatas pada pemberian hak kepada non-Muslim untuk
beribadah ditempat mereka, tetapi lebih dari itu Rasulullah Saw. bahkan
mempersilahkan rombongan Kristen Najran melaksanakan ibadah di Masjid Nabawi.
Toleransi
juga tercermin dalam pernyataan Ibnu Rusyd menyikapi pendapat-pendapat lawan
dialognya. Ibnu Rusyd mengusung nilai-nilai toleransi dalam terminologi “adil”
(al-‘adl) untuk mengkritik Al Ghazali yang dinilai tidak memaparkan dan
memahami argumentasi para filsuf Yunani dan kalangan Muktazilah, Ibnu Rusyd
berkata :
Di antara keadilan-seperti kata Aristoyeles-adalah jika seseorang
mempersialahkan orang lain mengutarakan argumentasinya sebagaimana dirinya
sendiri memiliki kesempatan mengutarakan argumentasi. Artinya, seseorang yang
bersungguh-sungguh mencari kebenaran harus berusaha mencari argumentasi
lawannya sebagaimana dia mencari argumentasi untuk dirinya sendiri. Seseorang
hendaknya dapat menerima argumentasi orang lain jika argumen ersebut benar
menurutnya. Bagi pencari kebenaran, apabila menemukan pendapat yang janggal dan
tidak menemukan argumentasinya yang baik yang dapat menghilangkan kejanggalan
tersebut, maka seyogaianya dia tidak terburu-buru menyesatkannya.[24]
Abdurrahman
Wahid menemukan prinsip toleransi yang diserap dari hadits Nabi bahwa pencarian
kebenaran hukum akan mendapat dua pahala jika benar dan mendapatkan satu pahala
jika salah (man ijtahada fa ashoba fa lahu fa man ijtahada fa akhta’a fa
lahu ajrun wahidun). Pencari kebenran dihargai oleh Tuhan meskipun dia
salah. Oleh karena itu, semua pendapat harus dihargai dan tidak boleh
diberangus. Pesantren telah mengajarkan banyak hal pada sosok Gus Dur. Salah
satunya adalah kata-kata yang menjadi inspirasi beliau dari ulama fiqh Al
Syafi’i yang bersemboyan: “Pendapat kami benar tetapi mungkin salah, sedangkan
pendapat kalian salah tetapi mungkin benar.” (ra’yuna showabun yuhtamilu al-khata’ wa ra’yu
ghairina khata’un yahtamilu al-showab)[25].
Jargon tersebut setidaknya menunjukkan bahwa kebenaran
pemikiran manusia tidaklah absolut dan seseorang tidak boleh merasa benar
sendiri sembari menyesakan pendapat orang lain.
2)
Kerukunan
Beragama
Perbedaan-perbedaan
itu bukanlah untuk dipertentangkan, melainkan harus diserasikan untuk mencapai
cita-cita bersama menuju kebahagiaan bersama. Bangsa Indonesia memang telah
ditakdirkan oleh Tuhan menjadi bangsa yang majemuk yang multikultur serta
multiagama. Namun kita semua disatukan dalam satu kesatuan yaitu Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Tepatnya seperti yang dilukiskan dalam lambang
negara Republik Indonesia yaitu Bhineka Tunggal Ika yang berarti walaupun berbeda-beda
tetapi tetap satu.[26]
Secara
etimologis kata kerukunan pada mulanya adalah bahasa Arab, yaitu; “ruknun” berarti
tiang, dasar, sila. Jamak ruknun adalah “arkaan” yang artinya
suatu bangunan sederhana yang tediri dar berbagai unsur.[27]
Dalam arkaan diperoleh pengertian, bahwa kerukunan merupakan suatu
kesatuan yang terdiri dari berbagai unsur yang berlainan dan setiap unsur itu
menguatkan. Kesatuan tidak akan terwujud jika ada diantara unsur tersebut yang tidak berfungsi.
Dalam
pengertian sehari-hari kata rukun dan kerukunan dapat
diartikan sebagai situasi dan kondisi yang damai dan tenteram ditengah
masyarakat. Dengan begitu jelas berarti bahwa kata kerukunan dapat dipergunakan
dan berlaku dalam dunia pergaulan sosial.
Dalam
Islam sendiri telah dijelaskan dalam kitab-Nya bahwasanya manusia diciptakan
dari perbedaan yang ada, baik itu perempuan laki-laki, maupun suku-suku dan
bangsa-bangsa. Hal tersebut terjadi bukan hanya sebagai kebetulan semata,
melainkan ada hikmah dan pesan tersendiri dari Tuhan untuk kita semua. Dengan
adanya itu kita dituntut untuk berinteraksi saling mengenal satu sama lain dan
mampu bekerja sama dalam kehidupan sehari-hari. Mengingat keberagaman ini
merupakan relitas sosial dan sebuah sunnatullah dari Tuhan. Maka dari itu
manusia tidak ada alternatif lain, selain menerima dan memelihara dengan
mengarahkan kepada kepentingan dan tujuan bersama.
Selanjutnya
cendekiawan muslim, Malik bin Nabi menerangkan bahwa kemajuan ilmu pengetahuan
bukan hanya terbatas pada pencapaian metode dan teori-teori, namun lebih
tergantung pada sekumpulan psikologis individu dan sosial masyarakat yang
mempunyai pengaruh negatif dan positif sehingga dapat mengahambat kemajuan ilmu
pengetahuan atau mendorongnya lebih pesat dalam suatu wilayah masyarakat. Maka
dari itu dalam mewujudkan tata kerukunan beragama dalam kehidupan masyarakat
sangatlah penting, khususnya pada masyarakat bangsa Indonesia. Karena kemajuan
dan kemerosotan bangsa Indonesia ditentukan oleh kemajemukan rakyat Indonesia.
Apabila semua manusia dapat bersatu dalam kesatuan bangsa tanpa melihat
batas-batas atau skat-skat perbedaan maka bukan hal yang tak mungkin lagi bangsa
Indonesia akan menjadi bangsa yang maju, damai dan sejahtera.[28]
b.
Nilai
Humanisme
Secara
etimologis, istilah humanisme erat kaitannya dengan kata latin
klasik, yakni humus, yang berarti tanah atau bumi. Dari istilah tersebut
muncul kata homo yang berarti manusia dan humanus yang menunjukan
“membumi” dan “manusiawi”.[29]
Perspektif etimologis dan historis dalam memahami makna kata humanisme lebih
pada kata manusia itu sendiri. Artinya, bagaimana membentuk manusia itu menjadi
manusiawi, serta pihak mana atau siapa yang bertanggung jawab dalam proses
pembentukannya.
Bila kita cermati lebih dalam, nilai-nilai Humanistik ini sangat
berkaitan erat dengan adanya HAM atau Hak Asasi Manusia. Artinya untuk
mewujudkan sebuah tatanan masyarakat yang humanis maka kita harus mampu
mengapresiasikan apa yang menjadi hak-hak mereka didunia ini. Alwi Shihab
memberikan garis pemisah antar huquq
Allah (hak-hak Allah) dan huquq
al-ibad (hak-hak hamba Allah [manusia]). Hak Allah adalah faraidh (kewajiban) yang dicanangkan
kepada tiap manusia untuk dilaksanakan. Pelaksanaan kewajiban-kewajiban tersebut
tidak lain adalah pengakuan terhadap keesaan, kemahakuasaan dan keunikan-Nya
dengan mengikuti ketentuan-Nya.[30]
Dalam konteks pelaksaan tersebut seorang muslim harus dapat menyeimbangkan
antara hak-hak Tuhan (kewajiban manusia dengan Tuhan) dengan hak-hak manusia
(kewajiban manusia dengan manusia yang lain). Untuk mewujudkan itu semua perlu
adanya sikap saling memiliki satu sama lain. Artinya perlu adanya suatu rasa
yang bisa mengikat antar individu. Sebuah rasa kasih dan sayang yang ada dalam
diri manusia akan membawa kepada ketentraman hati dan pikiran. Dengan begitu
akan terwujud sebuah pribadi yang soleh, baik secara sosial maupun normatif
terhadap Tuhannya.
1)
Kasih
Sayang
Kasih
sayang berasal dari bahasa Arab berarti Al Rahmann dan Ar Rahim yang
berarti maha pengasih dan maha penyayang.[31] Rasa
kasih sayang membuat manusia turut merasakan sedih melihat kekeliruan orang
lain dan mengharapkan orang yang berbuat kekeliruan itu akan memperoleh
petunjuk, dalam melakukan hubungan kemasyarakatan dengan individu yang lain
dilakukan cara saling menghargai dan menghormati.
Islam
memerintahkan supaya para pemeluknya saling bercinta kasih
secara umum, dan hal itu dijadikan sebagai salah satu tanda keimanan yang
sempurna. Penanaman nilai kasih sayang tercermin dalam sebuah
hadits
yang berbunyi: “Tiadalah seseorang beriman sampai ia mencintai saudaranya
seperti mencintai dirinya sendiri”. Adapun bentuk-bentuk dari sikap kasih
sayang dapat kita wujudkan menurut AA Gym diantaranya dengan cara:
Pertama,
bertutur kata yang sopan dan santun.
Jika hendak berkomunikasi pilihlah kata-kata yang paling sopan dengan cara yang
santun dalam bahasa yang baik dan bersih, serta sampaikan dengan cara yang
lembut. Hindari keluarnya kata yang kasar, menyakitkan, memojokan dan merendahkan.
Lalu, rendahkan nada suara agar tidak keras dan berlebihan.
Kedua,
saling menyapa dan mengucapkan salam.
Berupayalah menjadi orang yang terlebih dahulu menyapa dan mengucapkan salam.
Jabatlah tangan dengan penuh kehangatan. Seandainya menerima salam jangan lupa
untuk menjawab salam dengan antusias dan penuh perhatian.
Ketiga,
maafkan kesalahan. Komunikasi atau
silaturahmi bisa terputus karena permusuhan dan tidak akan pernah nyambung
tanpa ada kata maaf. Karena itu, guna melanggengkan silaturahmi, jadilah pemaaf
yang lapang dan tulus terhadap kekurangan serta kesalahan orang lain.
Keempat,
menolong dengan apapun. Kemanfaatan kita
bagi orang lain sering berwujud dalam bentuk pertolongan. Karena itu,
bersegeralah menolong orang yang tengah membutuhkan pertolongan, baik dengan
harta, tenaga, maupun waktu atau juga sekedar perhatian yang tulus. Andai kata
terbatas kemampuan menolong secara fisik, jadikanlah taburan do’a yang tulus
kepada mereka.
2)
Kesalehan
Normatif dan Sosial
Kesalehan
Normatif disini dapat diartikan sebagai kesalihan terhadap Tuhannya. Sedangkan
Kesalehan Sosial diartikan sebagai kesalihan terhadap sesama manusia. Kedua hal
tersebut dapat diapresikan dalam kehidupan sehari-hari dengan bentuk ibadah dan
mu’amalah. Ibadah diartikan dengan hukum yang mengatur hubungan Tuhan
dengan hamba-Nya, sementara muamalah adalah hukum yang mengatur hubungan
sosial, baik secara perseorangan maupun secara kolektif, bahkan masuk juga di
dalamnya hubungan manusia dengan lingkungan.
Pengelompokan
ibadah dan muamalah tersebut merupakan usaha pengelompokan ajaran Islam agar
lebih mudah dipahami dan diaplikasikan atau diamalkan. Ibadah dan muamalah
merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan, seperti dua sisi dari satu mata
uang. Pada gilirannya mestinya kualitas ibadah seseorang terpancar dalam wujud
kesalehan sosialnya. Artinya, bukti publik bahwa seseorang mempunyai kesalehan
ibadah adalah terwujud dalam perilaku dan kesalihan dalam kehidupan sehari-hari
di rumah, tempat kerja, berteman, bermasyarakat, dan kehidupan masyarakat
lainnya. Keduanya memang harus seimbang dan selaras dalam pribadi seseorang.
Pemikir
kontemporer, Abd al-Wahhab Khalaf dengan ghiroh fikih/hukum misalnya menyebut
tiga hukum yang dibawa Al-Qur’an untuk umat muslim, tiga hukum tersebut
meliputi:
a.
Hukum dibidang
akidah
b.
Hukum dibidang
tingkah laku manusia (amaliyah)
c.
Hukum dibidang
akhlak[32]
2.
Pengertian
Pendidikan Islam
Makna
pendidikan secara sederhana dapat diartikan sebagai usaha manusia untuk membina
kepribadiannya sesuai dengan nilai-nilai di dalam masyarakat dan kebudayaan.
Dengan demikian, bagaimanapun sederhananya peradaban suatu masyarakat, di
dalamnya terjadi atau berlangsung suatu proses pendidikan.[33]
Definisi
pendidikan menurut UU No. 20 Tahun 2003 yaitu pendidikan adalah usaha sadar dan
terencana
untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik
secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta
ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat bangsa dan negara.[34]
Berbeda
dari pendidikan pada umumnya yang dibangun atas dasar konsep manusia dalam
basis filosofisnya masing-masing, pendidikan dalam pandangan Islam dibangun
dengan berangkat dari konsep manusia dalam basis-basis nilai kee-Islaman. Menurut Ibnu Maskawaih dalam kitabnya Tahzibul Akhlak,
pendidikan merupakan suatu usaha untuk mewujudkan pribadi susila, mempunyai
watak yang luhur atau berbudi pekerti mulia. Sedangkan menurut al-Ghazali
pendidikan adalah suatu proses kegiatan yang sistematis untuk melahirkan
perubahan yang progresif pada tingkah laku manusia, yaitu menghilangkan akhlak
yang buruk dan menanamkan akhlak yang baik.[35]
Muhammad
Fadhil al jamali yang mendefinisikan pendidikan Islam adalah upaya
mengembangkan, mendorong, serta mengajak manusia untuk lebih maju dengan
berlandaskan nilai-nilai yang tinggi dan kehidupan yang mulia, sehingga
terbentuk pribadi yang sempurna, baik yang berkaitn dengan akal, perasaan
maupun perbuatan.[36]
Pengertian
selanjutnya mengenai pendidikan Islam
datang dari Omar Muhammad al Toumi al syaibani. Baliau mendefinisikan
pendidikan Islam
sebagai proses mengubah tingkah laku individu pada kehidupan pribadi,
masyarakat dan alam sekitarnya, dengan cara pengajaran sebagai suatu aktivitas
asasi dan sebagai profesi diantara profesi-profesi asasi dalam masyarakat.[37]
Sedangkan
menurut Hamka, pendidikan Islam
merupakan serangkaian upaya yang dilakukan pendidik untuk membantu membentuk
watak, budi, akhlak, dan kepribadian peserta didik, sehingga ia tahu membedakan
mana yang baik dan mana yang buruk.[38]
Dengan kata lain pendidikan Islam selalu mengantarkan manusia pada
perilaku dan perbuatan manusia yang berpedoman pada syariat Islam. Sehingga pendidikan Islam bukanlah
pendidikan yang hanya sekedar “transfer
of knowledge” atau “transfer of
training”, tetapi lebih dari merupakan sistem yang terkait secara langsung
dengan Tuhan. [39]
Berdasarkan pengertian di atas, pendidikan Islam merupakan suatu sistem
atau metode untuk meningkatkan kualitas hidup manusia dalam aspek kehidupan,
baik secara moral spiritual maupun material dan intelektual. Dalam hal ini
pendidikan Islam lebih menitikberatkan pada moral spiritual sebagai alat
kontrol yang lainnya yaitu mengontrol material dan intelektual yang
dimilikinya. Dengan moral spiritual yang baik otomatis ia akan menggunakan
serta memanfaatkan material intelektualnya dengan baik pula, begitupun
sebaliknya.
Dalam hal ini pendidikan Islam harus mampu mengadakan perubahan
sekaligus salah satu pendidikan yang dapat dijadikan solusi alternatif untuk
menjawab tantangan dan perubahan zaman. Sebab pendidikan Islam itu meliputi
pemeliharaan seluruh aspek perkembangan baik itu material, spiritual,
intelektual maupun perilaku sosial.
Pendidikan Islam harus menuju pada integritas ilmu agama dan ilmu non
agama. Karena menurut pandangan umat Islam antara ilmu agama dan ilmu umum
merupakan ilmu pengetahuan yang sama-sama bersumber atau berasal dari Allah
SWT. Fazlur Rahman menambahkan bahwa umat Islam seharusnya menerima pendidikan
sekuler modern sebagaimana yang telah berkembang di dunia Barat dan mencoba
untuk ‘meng-Islamkannya’ yakni
memasukkan dan mengaitkannya dengan nilai-nilai ajaran agama Islam. Dengan
ungkapan lain, seharusnya umat Islam tidak kaku dalam memahami sekaligus
menggali ilmu pengetahuan karena ajaran Islam bersifat elastis dan universal
selagi masih berada di dalam norma-norma ajaran Islam.[40]
F.
Metode
Penelitian
Metode
penelitian adalah cara-cara berfikir dan berbuat yang dipersiapkan dengan
baik-baik untuk mengadakan penelitian dan mencapai suatu tujuan penelitian.[41]
Agar diperoleh penulisan dan pembahasan penelitian skripsi ini dengan hasil
yang komprehensif dan dapat diajukan serta dapat dipertanggung jawabkan secara
ilmiah-akademis, maka diperlukan metodologi penelitian yang relevan dan
sistematis yang mampu mengeksplorasi dan menganalisis berbagai sumber data yang
diperoleh secara akuntabel.
1.
Jenis
Penelitian
Penelitian
ini menggunakan jenis penelitian library research atau studi pustaka,
yaitu penelitian yang data-datanya diperoleh dari studi pustaka atau
literature terkait, studi pustaka adalah penelitian
yang teknik pengumpulan datanya dilakukan di lapangan (perpustakaan).
Dikarenakan perpustakaan merupakan tempat yang ideal untuk mengakses
macam-macam sumber yang relevan dengan didasarkan atas pembacaan-pembacaan
terhadap beberapa literature yang
memiliki informasi dan relevansi dengan topik penelitian.[42]
Adapun literature tersebut dapat
berupa jurnal, laporan hasil penelitian, artikel ilmuah, majalah ilmiah, surat kabar, buku, hasil
seminar dan lain sebagainya yang memiliki relevansi dengan topik penelitiannya.
Alasan
dipilihnya jenis penelitian studi pustaka karena topik penelitian
ini merupakan studi pemikiran seorang tokoh, yang dalam hal ini adalah
Abdurrahman Wahid atau lebih akrab disapa dengan Gus Dur. Beliau merupakan seorang tokoh yang mempunyai
ciri khas tersendiri. Sosok pemikir yang nyentrik dengan gagasan-gagasan
cerdasnya, walaupun tak jarang membawa gebrakan-gebrakan baru yang
menghebohkan. Selain itu beliau juga
telah membawa angin segar terhadap perkembangan bangsa ini. Hasil pemikirannya
memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap dunia politik serta dunia pendidikan
yang ada di negeri tercinta ini. Oleh karenanya yang sangat relevan adalah
menggunakan jenis penelitian studi pustaka. Bukan jenis penelitian kuantitatif
yang masalahnya sudah jelas dan umumnya dilakukan pada populasi, yaitu untuk
mencari hubungan sebab akibat antar variabel, atau jenis penilitian
kualitatif yang bertujuan mendalami suatu kasus (studi kasus) pada situasi sosial tertentu..[43]
2. Metode
Pengumpulan Data
Sesuai dengan jenis
penelitian, skripsi ini menggunakan metode dokumentasi dalam pengumpulan
data-datanya. Metode dokumentasi adalah mencari data mengenai hal-hal atau
variabel yang berupa catatan, transkip, buku, surat kabar, majalah, prasasti,
notulen rapat, legger, agenda dan sebagainya. Adapun sumber data yang harus
diperoleh dalam penelitian ini meliputi :
a. Sumber
Data Primer
Data primer merupakan data pokok yang
menjadi objek penelitian. Dalam hal ini data yang ada berupa karya Abdurrahman
Wahid (Gusdur) sendiri berupa buku-buku atau tulisan-tulisan dalam artikel dan
atau makalah yang merupakan hasil pemikiran sendiri. Selain itu juga terdapat
tulisan orang lain yang membahas tentang pemikiran Gus Dur. Adapun karya-karya
Gus Dur diantaranya adalah: Islam Kosmopolitan; Nilai-nilai Indonesia dan
Transformasi Kebudayaan, Islamku Islam Anda Islam Kita, Gus Dur NU dan
Masyarakat Sipil dan lain sebagainya.
b. Sumber
Data Sekunder
Data sumber sekunder yaitu data pendukung yang diperoleh peneliti tidak secara
langsung dari sumber obyek yang diteliti akan tetapi melalui pihak lain berupa
literatur-literatur yang relevan dan menunjang terhadap penelitian ini. Adapun
sumber data sekunder diantaranya adalah: Ilmu Pendidikan, Ilmu Pendidikan Islam,
Ilmu Social Kemasyarakatan, Sistem Pendidikan Islam, Pendidikan Berpadigma
Inklusif, BerIslam Secara Toleran, Paradigma Pendidikan Islam, Pendidikan
Multikultural dan lain sebagainya.
3. Metode
Analisis
Dalam penelitian
ini penulis menempuh dua langkah yaitu pengumpulan data dan analisis data.
Setelah data terkumpul kemudian dianalisis melalui mmetode deskriptis analisis
yaitu pengambilan kesimpulan terhadap sesuatu obyek, kondisi, sistem pemikiran,
gambaran secara sistematis, faktual, serta hubungannya dengan fenomena yang
dianalisis.[44]
Dengan demikian,
analisis ini berprinsip pada logika
deduktif, yaitu suatu cara menarik kesimpulan dari yang umum ke yang khusus dan
logika induktif, yaitu pola pemikiran yang berangkat dari peristiwa yang khusus
kemudian ditarik generaisasi yang bersifat umum. Dalam penelitian ini penulis
menggunakan pendekatan filosofis historis[45]
sehingga mampu menyentuh aspek yang terpenting dalam gagasan pemikiran
Abdurrahman Wahid dan memberi gambaran historis perjalanan sosok Abdurrahman
Wahid.
G. Sitematika
Pembahasan
Penyusunan
skripsi ini terdiri dari empat bab, masing-masing bab ini terdiri dari sub-sub
pembahasan. Hal tersebut dilakukan untuk mempermudah penulisan ilmiah yang
sistematis dan konsisten. Adapun sistematika pembahasan dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut:
Bab
Pertama, berisi pendahuluan yang meliputi: Latar
Belakang Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan dan Kegunaan Penelitian, Tinjauan
Pustaka, Landasan Teori, Metode Penelitian dan Sistematika Pembahasan.
Bab
Kedua, berisi tentang biografi Abdurrahman
Wahid yang dijelaskan menjadi beberapa sub bab yaitu: Riwayat Hidup dan
Pendidikan Abdurrahman Wahid, Perjalanan Organisasi Abdurrahman Wahid, Karya-karya
Abdurrahman Wahid, Konstruksi Pemikiran Abdurrahman Wahid, serta Pandangan
Abdurrahman Wahid mengenai pendidikan.
Bab
Ketiga, penulis memfokuskan pada tema
penelitian, yaitu pembahasan mengenai nilai-nilai Islam inklusif dalam Pendidikan Islam menurut Abdurrahman
Wahid. Adapun yang dibahas dalam bab ini adalah pemikiran Abdurrahman Wahid
tentang nilai-nilai Islam inklusif yang
bersifat universal kemudian dihubungkan dengan pendidikan Islam. Tantangan dalam
penerapan pendidikan Islam yang
inklusif itu sendiri serta kritik terhadap
pemikiran Abdurrahman Wahid dari berbagai kalangan intelektual dan masyarakat
luas.
Bab
empat, merupakan penutup yang berisi kesimpulan
dan saran-saran
serta kata penutup.
[4] Imron Rossidy, Pendidikan
Berparadigma Inklusif: Upaya Memadukan Pengokohan Akidah deng an Pengembangan
Sikap Toleransi dan Kerukunan, (Malang: UIN Malang Press, 2009), hlm. 38.
[5] Ngainun Na‟im dan Achmad Sauqi,
Pendidikan Multikultural Konsep
dan Aplikasi (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media Grup, 2010), hlm.13.
[7] Zurqoni dan Muhibat, Menggali Islam Membumikan Pendidikan, (Yogyakarta; Ar-Ruzz Media, 2011), hlm 36.
[8] Abdurrahman
Wahid, Islam Kosmopolitan: Nilai-Nilai
Indonesia dan Transformasi Kebudayaan, (Jakarta: The Wahid Institute: 2007),
hlm. 6.
[10] Alwi Shihab, Islam Inklusif Menuju Sikap Terbuka dalam
Beragama, (Bandung: Mizan, 1998), hlm. X.
[12] Said Agil, Aktualisasi
Nilai-nilai Qur’an dalam Sistem Pendidikan Islam, (Ciputat: Ciputat Press,
2005), hlm.3.
[13] KBBI Online, Islam, di
unduh pada tanggal 15 Desember 2013,
[14] QS Al Baqarah 132: “Dan
Ibrahim telah mewasiatkan ucapan itu kepada anak-anaknya, demikian pula Ya’qub.
(Ibrahim berkata,) ‘Hai anak-anakku, sesungguhnya Alllah telah memilih agama
ini bagimu, maka janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan patuh dan pasrah
(kepada Allah).
[15] QS Ali Imran 84-85: “Katakanlah
(hai Muhammad), ‘Kami percaya kepada Tuhan dan kepada ajaran yang diturunkan
kepada kami dan yang diturunkan kepada Ibrahim, Ismail, Ishaq, Ya’qub serta
anak turunan mereka, dan yang diturunkan kepada Musa, Isa serta para nabi yang
lain dari Tuhan mereka. Kami tidak membeda-bedakan seorang pun dari mereka dan
hanya kepada Nya kami berserah diri. Dan barang siapa menganut agama selain Islam
(sikap pasrah kepada Tuhan), tidak akan diterima dan di akhirat termasuk
orang-orang yang merugi,’”.
[17] Alwi
Shihab, Islam Inklusif: Menuju Sikap
Terbuka Dalam Beragama, (Bandung: Mizan, 1998), hlm. 35-36.
[18] Alwi Shihab, Islam Inklusif:
Menuju Sikap Terbuka Dalam Beragama, (Bandung: Mizan, 1998), hlm. X.
[21] Imron
Rossidy, Pendidikan Berparadigma
Inklusif, Upaya Memadukan pengokohan Akidah dengan Pengembangan Toleransi dan
Kerukunan, (Malang: UIN Malang Press, 2009), hlm. 4
[25] Abdurrahman Wahid, Islaam,
Kebinekaan, dan Toleransi (dalam BerIslam Secara Toleran), hlm. 134.
[26] Tim Departemen Agama, Pedoman
Dasar Kerukunan Hidup Beragama, (Jakarta: Departemen Agama, 1984), hlm. 6.
[30] Alwi Shihab, Islam Inklusif,
Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama, (Bandung: Mizan, 1998), hlm. 178.
[32] Hendri
Wijayatsih dkk, Memahami Kebenaran Yang Lain; sebagai upaya pembaharuan
hidup bersama, (Yogyakarta: Taman Pustaka Kristen, 2010), hlm. 164
[33] Tim Dosen FIP-IKIP
Malang, Pengantar Dasar-Dasar Kependidikan, (Surabaya : Usana Offset
Printing, 1981), hlm.
2.
[34] Undang-undang SISDIKNAS
No. 20 Tahun 2003
[35] Busyairi Madjidi, Konsep
Kependidikan Para Fiosof Muslim, (Yogyakarta: Al Amin Press, 1997), hlm. 86 .
[38] Samsul Nizar, Memperbincangkan Dinamika Intelektual dan
Pemikiran HAMKA tangtang Pendidikan Islam, ( Jakarta: Kencana, 2008), hlm. 111.
[39] Mohammad
In’ami, “Rekonstruksi Pendidikan Islam”, Jurnal
Penelitian Pendidikan Islam, Jurusan Tarbiyah STAIN Kudus, Vol. 5, No. 2
(Desember, 2008), hlm. 76.
[42] Sukardi, Metodologi Penelitian Pendidikan: Kompetensi
dan Praktiknya, (Jakarta: bumi Aksara, 2010), hlm. 34-35.
[43] Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan: Pendekatan
Kuantitatif, Kualitatif dan R&D, (Bandung: Alfabeta, 2009), hlm. 38.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar