Selasa, 27 Mei 2014

Bab I Skripsi

BAB I
PENDAHULUAN
A.     Latar Belakang
Kekerasan bernuansa SARA akhir-akhir ini terus belangsung. Sejak kasus WTC, 11 September 2001 lalu dan disusul kemudian oleh bom Bali serta berturut-turut oleh kerusuhan bernuansa agama yang lain menandai adanya hubungan yang kompatibel antara agama dan kekerasan. Tertangkapnya beberapa orang seperti Hambali, Amrozi dan kawan-kawannya telah semakin meyakinkan orang bahwa memang ada Jama’ah Islam (JI) yang melakukan teror di berbgai belahan dunia ini. [1]
Bila kita flashback ke belakang terdapat berbagai macam kasus konflik yang ada di Indonesia. Tahun 1998 telah menyisakan banyak noda hitam dalam kehidupan beragama di negeri yang katanya religious ini. Banyak peristiwa sangat memprihatinkan kita semua. Orang tidak bisa lagi dapat menikmati kehidupan yang tenteram, nyaman, aman dan damai.
            Kerusuhan, pembantaian, pembunuhan, dan penjarahan yang sifatnya SARA merupakan fenomena yang dapat menimpa siapa saja. Pendek kata, kehidupan multisuku, agama, ras dan antargolongan, yang bukan saja merupakan sebuah keniscayaan tetapi menjadi kesadaran bersama untuk membangun bangsa mudah terusik, meledak menjadi sebuah kerusuhan yang amat dahsyat.
            Kerusuhan yang amat brutal pernah terjadi di kota-kota besar di Indonesia seperti di Jakarta, 11 Mei 1998, yang menelan korban  ratusan jiwa manusia dan kerugian materi tak kurang dari Rp 600 miliar adalah kerusuhan yang disinyalir bermotifkan “pembasmian” etnis tertentu yang mungkin menganut agama tertentu pula. Kemudian kerusuhan pada tanggal 14-15 Mei 1998 di Solo, di mana saat itu aparat keamanan sangat jelas terlihat amat lamban mengantisipasi, apalagi mengamankan. Aparat keamanan dapat dituduh “merestui” kerusuhan, pembakaran dan penjarahan tersebut jika lihat dalam video-video yang sempat merekamnya. Kerugian material maupun nonmaterial yang merenggut banyak korban jiwa.[2]
            Belum reda ingatan histeris masyarakat kita, terutama yang jumlahnya minoritas, kerusuhan yang sama kembali menyentak ketentraman masyarakat. Peristiwa Ketapang dan Kupang pada Desember 1998 adalah album suram kehidupan antaretnis yang kesekian kalinya. Motifnya lagi-lagi bernuansa SARA. Di Jalan Ketapang, Jakarta dihembuskan isu, adanya orang yang merusak sebuah tempat ibadah salah satu umat beragama, sehingga tersebarlah di tengah umat kehidupan beragamanya telah diusik. Maka semua itu berakibat pada pembakaran tujuh gereja. Sedangkan di Kupang  (Nusa Tenggara Timur) yang kita ketahui sebagai salah satu daerah mayoritas beragama Kristen/Katolik yang terjadi adalah pembakaran Masjid oleh sekelompok orang yang tidak bertanggung jawab karena Kupang adalah kota yang umat beragamanya sangat toleran terhadap umat lain (terutama terhadap Islam).[3]
            Selain itu terdapat peristiwa-peristiwa lain di negeri ini yang berbau kekerasan bahkan sampai tindak kriminal yang justru terjadi dalam satu identitas agama yang sama. Sikap sesat menyesatkan antara satu paham dengan paham yang lain dalam suatu agama di Indonesia tak jarang berujung pada kekerasan terhadap kelompok yang diklaim “sesat” oleh kelompok lainnya.
            Sebagaimana yang dihimpun oleh Center for Religious and Cross-cultura Studies (CRCS) UGM ada beberapa contoh konkrit maraknya praktik kekerasan kehidupan beragama di Indonesia antar kelompok dalam internal agama, antara lain : (1) penyerangan terhadap kelompok Satariah Sahid di Medan pada tanggal 22 Januari 2008, yang tidak saja merusak fasilitas fisik milik kelompok tersebut, namun juga telah mengancam jiwa pengikutnya; (2) konflik antara kelompok Majelis Mujahidin dan kelompok muslim tradisional yang telah lama ada di Lombok Timur bisa berakhir dengan bentrok yang dipicu oleh perbedaan tata cara dalam penyelenggaraan shalat Jum’at; dan (3) kenyataan eksklusifisme juga berakibat pada pengusiran warga terhadap dua tokoh Salafi di Dusun Mesanggok, Gapuk, Geruk, Lombok Barat, dimana sebelumnya warga sekitar berusaha merusak rumah keduanya. Keduanya disinyalir warga sering mendiskriditkan paham ke-Islaman warga dengan menganggapnya bid’ah dan sesat.[4]
Terdapat hubungan timbal-baliantara kondisi masyarakat dengan dunia  pendidikan. Hubungan disini bermakna bahwa apa yang terjadi di dalam lingkungan masyarakat yang komleks, tergambar dalam dunia pendidikan nasional di negeri kita.[5]
Salah satu persoalan   yang   kini   menjadi   tantanga besar,   termasuk   bagi dunia pendidikan, adalah konflik dan kekerasan dalam masyarakat. Kekerasan semakin  akrab  dengan  masyarakat  Indonesia.  Ada kekerasan  dalam  skala kecil,   tingka lingkungan,   desa,   bahkan   antaretnis.   Semua   fenomena kekerasan dalam berbagai level tersebut membutuhkan kontribusi dunia pendidikan dalam pemecahannya.[6]
Pendidikan merupakan landasan utama serta mendasar dalam mewujudkan sebuah perubahan. Hanya dengan pendidikanlah paradigma, sikap dan perilaku umat manusia dapat berubah dan tercerahkan. Dengan demikian, sangat benar adanya ketika John Locke, seorang filsuf Inggris, menggemakan tentang pentingnya pendidikan. Menurut John Locke, sejak lahir manusia merupakan  sesuatu  yang  kosong  dan  dapat  diisi  dengan masyarakat modern terperangkap dalam kerangkeng kehidupan. Perasaan resah senantiasa bergelanyut dalam kehidupannyakibat perubahan sosial yang  berlangsunsangat  cepat,  interaksi  sosial  yang  berubah  menjadi gersang, maupun perubahan stabilitas sosial menjadi mobilitas sosial.[7]
Namun disisi lain, tidak sedikit masyarakat modern ini yang memiliki paham Islam fanatis, duplikatif tidak akomodatif sehingga masyarakat ini tidak siap menghadapi  realitas  kehidupan  (pergeseran  nilai)  dalam  aspek  idiologi, sosial-budaya, politik, ekonomi, dan sebagainya yang dipandangnya tepat dalam konteks keagamaan. Hal tersebut bisa berakibat fatal apabila terus terjadi dalam masyarakat kita, maka akan banyak lagi kekerasan-kekerasan dan menghasilkan koflik seperti yang telah dipaparkan sebelumnya.
Bila kita cermati dan pahami kembali berbagai konflik yang berdarah-darah perihal perilaku para pemeluk agama, tampaknya bukan agamalah yang menjadi biang keladi kerusuhan dan kenestapaan manusia dewasa ini. Melainkan para pemeluk agama yang masih menggunakan perspektif aksklusif dan perspektif mereka sendiri yang mencoba memahami apa yang ada di depan mata dengan kacamata milik sendiri, tidak mencoba melihat dengan sisi lain yang lebih luas.
Melihat berbagai konflik dan kekerasan yang ada di Indonesia, umat Islam sebagai umat terbesar di Indonesia perlu memiliki pemahaman yang mendasar dan wawasan yang luas mengenai kehidupan bersama dalam perbedaan yang ada. Dalam hal ini terdapat sebuah paradigma yang dikenal sebagai paradigma Islam inklusif. Secara umum Islam inklusif dalah sebuah pemikiran yang bersifat terbuka. Inklusifisme dalam Islam ini identik dengan sikap keterbukaan, toleransi dan semangat bekerjasama baik antar pemeluk agama Islam maupun dengan pemeluk agama lain. Salah satu tokoh yang menggagas hal ini adalah KH. Abdurrahman Wahid alias Gus Dur.
Menurut Abdurrahman Wahid, Islam dengan tauhid dapat menegakkan penghargaan terhadap perbedaan pendapat. Jika perbedaan pendapat dapat ditolelir dalam yang paling dasar seperti keimanan, tentunya sikap tenggang rasa lebih lagi diperkenankan dalam perbedaan sebuah ideologi. Pada aspek ini Islam melalui ajarannya memiliki pandangan universal yang berlaku untuk umat Islam secara keseluruhan.[8] Islam memberikan kebebasan untuk melakukan upaya perbandingan antara berbagai keyakinan termasuk keimanan kita dan dalam proses itu membuktikan keampuhan keimanan kita sendiri.
Abdurrahman Wahid mengembangkan pandangan anti ekslusivisme agama, hal ini berdasarkan fenomena bahwasanya peristiwa kerusuhan dan kekerasan yang berkedok pada agama dibeberapa tempat adalah akibat dari ekslusivisme agama. Beliau ingin adanya bentuk keterbukaan pada kehidupan masyarakat Islam yang plural.[9]
Nilai-nilai Islam inklusif Abdurrahman Wahid menurut penulis sangat penting dan mempunyai nilai kontribusi yang besar dalam memahami pendidikan Islam dalam kaitannya dengan masalah-masalah peradaban dan kemanusiaan. Gagasan Abdurrahman Wahis tentang Islam inklusif ini akan mampu memberikan solusi terhadap masalah yang dihadapi manusia Indonesia saat ini khususnya masalah kekerasan yang disebabkan oleh perbedaan pemahaman ajaran agama maupun perbedaan agama itu sendiri.
Beliau ingin umat Islam ikut serta dalam membangun budaya dan peradaban bangsa ini khususnya dan umat manusia pada umumnya. Berbagai konstruk pemikiran Abdurrahman Wahid lahir dari pemahamannya yang mendalam mengenai ke-Islaman dan ke-Indonesiaan. Dari pemaparan di atas maka penulis merasa tertarik untuk mengadakan kajian analitis yang lebih mendalam tentang nilai-nilai Islam inklusif dari seorang Abdurrahman Wahid. Hal tersebut menjadi tema yang relevan penting dan menarik karena hal tersebut dapat menjadi terobosan-terobosan baru dalam rangka mengelaborasikan nilai-nilai ke-Islaman dan ke-Indonesiaan untuk mewujudkan tatanan masyarakat yang damai sejahtera dalam berbangsa dan bernegara.
Dalam hubungannya dengan pendidikan Islam, nilai-nilai Islam inklusif merupakan sebuah alternatif solusi atas kritik yang kerap diterima kalangan pendidikan Islam, bahwasanya pendidikan Islam dianggap hanya mempraktikan pendidikan secara eksklusif dan kurang menyentuh aspek perilaku seorang peserta didik. Hal tersebut masih menjadi sebuah pekerjaan rumah yang sepertinya masih belum dapat terselesaikan dengan maksimal.
Dalam penelitian ini, sebenarnya masih banyak sosok lain yang membahas tentang nilai-nilai Islam inklusif, seperti;  Nurcholis Madjid, Mukti Ali ataupun Ainun Nadjib. Akan tetapi sosok Abdurrahman Rahman Wahid atau lebih kita kenal dengan nama Gus Dur menjadi pilihan yang relevan, karena seperti yang kita ketahui berkat peran usaha kerasnya beliau mengayomi para kaum minoritas di negeri ini khsususnya para pemeluk agama Kong Huchu menjadi lebih tenang dan nyaman dalam beribadah. Gus Dur berhasil memasukan agama Kong Huchu ke dalam salah satu agama resmi yang ada di Indonesia. Hal tersebut dapat memperbaiki citra kaum Muslim yang sebelumnya sempat tercoreng karena adanya kasus terorisme di berbagai daerah di muka bumi ini. Serta menunjukan bahwasanya sesungguhnya agama Islam adalah agama yang plural, yang bisa menerima setiap perbeadaan yang ada.
Berangkat dari hal tersebut pula menjadi sangat penting dan urgent bahwa aktualisasi nilai-nilai Islam inklusif dalam pendidikan Islam mau tidak mau memang harus bisa di aplikasikan dalam dunia pendidikan kita. Bukan sekedar nilai normatif yang hanya kita pelajari dalam agama Islam ini, melainkan nilai-nilai moral serta etika dalam kehidupan di dunia dan bersama dunia ini. Mengingat banyaknya kasus-kasus konflik dan kekerasan yang ada di berbagai wilayah negeri ini. Melalui gagasan-gagasan yang di usung oleh Abdurrahman Wahid (Gus Dur) inilah yang nantinya akan dapat menjadi sebuah refleksi dalam dunia pendidikan di Indonesia serta menjadi sebuah alternatif jalan keluar untuk menjadikan bangsa ini menjadi satu kesatuan yang utuh tanpa dibatasi akan segala perbedaan yang ada.

B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang  di atas, maka penulis dapat merumuskan permasalahan yang menjadi obyek utama dalam penyusunan skripsi ini, diantaranya adalah :
1.      Nilai-nilai Islam inklusif apa saja yang ada dalam Pendidikan Islam?
2.      Bagaimana aktualisasi nilai-nilai Islam inklusif dalam Pendidikan Islam menurut Abdurrahman Wahid?

C.     Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1.      Tujuan Penelitian
Dari rumusan masalah yang telah dikemukakan di atas, maka tujuan dari penelituan ini adalah :
a.       Untuk mengetahui Nilai-Nilai Islam inklusif dalam Pendidikan Islam.
b.      Untuk mengetahui bagaimana aktualisasi nilai-nilai Islam inklusif dalam pendidikan Islam menurut Abdurrahman Wahid..
2.      Kegunaan Penelitian
Selanjutnya hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna dan bermanfaat, antara lain :
a.       Secara   teoritik-akademis,   sebaga penambah   khazanah pengetahuan  Islam,  atau  kajian  Islamic  studies  (dirasat Islamiyah), khususnya dalam bidang pendidikan Islam di Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan.
b.      Secara konseptual-teoritis,  sebagai landasan untuk mengembangkan pendidikan Islam beparadigma inklusif-pluralis dan humanis.
c.       Secara praktis,  penelitian ini diharapkan dapat diterima dan dipahami oleh pendidik (guru), pemerhati pendidikan, dan atau peserta didik dalam merespon kemajemukan bangsa. Serta dapat mengimplementasikannya   dalam   berbagai   aspek   pendidikan seperti guru, peserta didik, kurikulum, metode dan evaluasi.

D.    Kajian Pustaka
Dalam penyusunan skripsi ini, maka terlebih dahulu akan dipaparkan mengenai karya-karya yang relevan dengan pembahasan, seperti mengenai pluralisme keagamaan, inklusivisme dan karya-karya yang membahas tentang Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Upaya ini dilakukan agar dalam penelitian ini lebih kredibel dan tidak terjadi pengulangan penelitian sejenis. Penulis membahas secara konprehensif tentang karya-karya yang dimaksud sesuai dengan konteks penelitian penulis agar relevan dengan judul skripsi di atas. Adapun beberapa karya yang relevan dengan penelitian ini, diantaranya adalah sebagai beriku :
Pertama, Muhammad  Syamsuddin (mahasiswa jurusan Pendidikan Agama Islam, Faklutas Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta) yang berjudul, Pengembangan Pluralisme Agama Dalam Pendidikan Agama  Islam;  Studi  Tafsir  Al-Azhar  (2008).  Dalam  skripsi  tersebut penulis berusaha menelaah pluralisme agama dalam tafsir Al-Azhar (Hamka)  sebagai  usaha  pengembangan  PAI.  Secara  konseptual  dalam tafsir al-Azhar (tentang ayat-ayat pluralisme) telah memberikan sentuhan yang   sanga berharga, bahwa   sikap   toleransi,   persamaa persepsi, merupakan modal besar Islam dalam merajut hidup rukun dan damai di tengah-tengah masyarakat yang plural. Pendidikan Agama Islam perlu diletakkan dalam bingkai/kerangka: (1) internalisasi ajaran Islam secara kritis, reflektif dan dialogis, agar peserta didik memperoleh pemahaman yang gamblang tentang kebenaran ajaran agamanya dan terhindar dari sikap pensakralan pemikiran keagamaan; dan (2) sosialisasi pluralitas keberagamaan masyarakat, agar anak didik berkesiapan untuk bersikap toleran-inklusif terhadap keragaman paham, baik  dalam  intraagama  maupun  interagamaProses  pendidikaagama Islam   harus   berpera dalam   menyadarka peserta   didi mengenai wawasan subtantif-universal agama.
Kedua, Yu’timaalahuyatazaka (mahasiswa jurusan Pendidikan Agama Islam, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta) dengan judul Esoterisme Seyyed Hossein Nasr dan Relevansinya dengan Pendidikan Islam Inklusif-Pluralis; Styudi Filsafat Perennial (2013). Dalam skripsi tersebut menggunakan jenis penelitian library research dengan cara mencoba menafsirkan isi atau gagasan seorang tokoh yang bernama Seyyed Hossein Nasr. Skripsi tersebut memaparkan bahwasanya pendidikan Islam secara konseptual-teoritis mengandung tiga prinsip fundamental. Prinsip pertama adalah Prinsip Kritis Emansipator; yaitu sebuah resposif terhadap konflik dan transformatif menuju kebaikan. Kedua Prinsip Reflektif-Pluralis; merupakan sebuah konsep al-Tauhid yang bersifat mistik serta melintasi bentuk dan simbol dibalik fenomena keberagaman agama dan budaya. Ketiga Prinsip Reflektif-Dialogis; berupa respon positif terhadap fenomena pluralisme. Skripsi ini lebih meninjau pluralisme secara filosofis berangkat dari dari seorang filsuf keturunan timur tengah bernama Seyyed Hossein Nasr tersebut. Dalam hal ini terdapat perbedaan yang sangat mencolok dengan skripsi yang akan penulis sajikan. Pada kesempatan kali ini penulis akan berusaha memaparkan konsep seorang tokoh Pluralisme yang ada di negeri ini yang pastinya akan lebih memahami seluk beluk adat serta keragaman budaya bangsa. Terlebih lagi pengalaman-pengalaman beliau yang telah merasakan perbedaan atmosfier kehidupan di dunia timur dan barat.
Ketiga, Azmussya’ni (mahasiswa jurusan Pendidikan Agama Islam, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta) yang berjudul Pendidikan Agama Pluralis; Telaah Atas Buku Pluralisme, Konflik dan Pendidikan Agama di Indonesia (2010). Dalam skripsi tersebut membahas tentang koflik yang sering terjadi di Indonesia. Melalui pendidikan agama menjadi salah satu media paling efektif untuk melahirkan generasi yang memiliki pandangan yang mampu menjadikan keragama sebagai bagian yang harus diapresi secara konstruktif, sehingga menciptakan manusia-manusia yang memiliki toleransi, menghargai hak asasi manusia dan sekaligus menghargai keragaman yang ada.
Keempat, Lilik Suparno (mahasiswa jurusan Pendidikan Agama Islam, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta) yang berjudul Nilai-Nilai Pluralisme dalam Mata Pelajaran Sejarah Kebudayaan Islam (2009). Penulis menelaah nilai-nilai pluralisme dalam mata pelajaran Sejarah Kebudayaan Islam, dengan menganalisis isi materi dalam buku SKI untuk madrasah aliyah dan mencari nilai-nilai pluralisme buku tersebut.
Kelima, Umi Barokah (mahasiswa jurusan Kependidikan Islam, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta) yang berjudul: Konsep Pendidikan Islam Dalam Pluralisme Agama (2008). Dalam skripsi tersebut berisi tentang Islam pluralisme agama mempunyai akar filosofis dan sosial historis dalam suatu teks dan juga sejarah kehidupan Nabi Muhammad saw, dan juga para sahabat baik secara ontologis, epistemologis, dan aksiologis. Pluralisme merupakan keniscayaan sejarah sebagai bentuk keadilan dan kasih sayang Tuhan kepada manusia. Selain itu juga memberikan kritik terhadap tradisi Barat yang menganggap Islam sebagai orang lain kemudian mempermasalahkan dan menuding mereka dengan sesuatu yang bertentangan dengan nilai-nilai universal. Kritikan juga ditujukan kepada kelompok missionaris yang merusak nuansa keberagamaayang harmonis dengan membawa nilai-nilai sekular dan westernisasi terhadap Islam. Dalam skripsi Umi Barokah kuranbegitu memberikan makna signifikansi pluralisme dalam pendidikan. Apabila pluralisme hanya dimaknai sebagai ajang resolusi konflik dengan menampilkan sikap apresiasi dan toleransi dalam kemajemukan, tanpa memberikan kesadaran tentang hakikat pluralisme, maka komponen pendidikan seperti pendidik dan peserta didik tidak akan pernah menyadari bahwa pluralisme adalah suatu keniscayaan. Suatu hal yang meaningless (percuma), apabila disatu sisi mereka diseru untuk bersikap toleran dan apresiatif terhadap keragaman. Namun, disisi lain mereka tidak menyadari bahwa pluralitas adalah kehendak Tuhan. Dalam skripsi tersebut hanya sekedar memberikan sosialisasi tentang arti pentingnya bersikap toleran dan  apresiatif  terhadap  keberagaman.
Keenam, Budi Irawan (mahasiswa jurusan Aqidah Filsafat Fakultas Ushuluddin, Studi Agama dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijagga) yang berjudul; Islam dan Pluralisme Agama Menurut Seyyed Hossein Nasr (2010). Dalam skripsi tersebut dipaparkan mengenai pendapat seorang tokoh yang bernama Seyyed Hossein Nasr tentang pluralisme agama. Dalam Islam, pluralisme mempunyai akar filosofis dan sosial historis dalam suatu teks dan juga sejarah kehidupan Nabi Muhammad saw, dan juga para sahabat baik secara ontologis, epistemologis dan aksiologis. Pluralisme merupakan keniscayaan sejarah sebagai bentuk keadilan dan kasih sayang Tuhan kepada manusia. Dalam skripsi tersebut penulis memaparkan pendapat Hossein Nasr tentang sebuah kritik terhadap tradisi Barat yang menganggap Islam sebagai orang lain kemudian mempermasalahkan dan menuding mereka dengan sesuatu yang bertentangan dengan nilai-nilai universal. Kritikan juga ditujukan kepada kelompok missionaris yang merusak nuansa keberagaman yang harmonis dengan membawa nilai-nilai sekular dan westernisasi terhadap Islam.
Pada skripsi yang pertama yang ditulis oleh Muhammad Syamsuddin dan yang kedua ditulis oleh Yu’timaalahuyatazaka, skripsi mereka sama-sama mengangkat tentang sebuah pluralisme agama. Namun yang menjadi perbedaan disini adalah mengenai kajian tokoh pemikirnya. Pada skripsi Muhammad Syamsuddin, ia menggunakan tokoh pemikiran Hamka dalam kitab Tafsir Al-Azhar. Berbeda dengan skripsi kedua yang menggunakan tokoh pemikiran Yu’timaalahuyatazaka, ia menggunakan pemikiran seorang tokoh yang bernama Seyyed Hossein Nasr. Kedua skripsi tersebut mempunyai kesamaan dalam corak pemikirannya karena kedua tokoh tersebut hidup dalam budaya kehidupan Timur Tengah sana. Skripsi tersebut sangat berbeda dengan skripsi yang akan penulis tuliskan nantinya, karena disini penulis akan menyajikan gagasan seorang tokoh yang merupakan putra asli negeri ini yang pastinya lebih mengerti dan memahami karakter bangsa Indonesia itu sendiri.
Pada skripsi ketiga yang ditulis oleh Azmussya’ni dan skipsi keempat yang ditulis oleh Lilik Suparno, dalam kedua skripsi tersebut mereka hanya memberikan pengertian seputar pluralisme agama. Skripsi Azmussya’ni, ia menelaah dari sebuah buku yang berjudul Pluralisme, Konflik dan Pendidikan Agama di Indonesia. Sedangkan dalam skripsi Lilik Suparno, ia hanya mengkaji pluralime sebatas dalam materi buku Mata Pelajaran Sejarah Kebudayaan Islam saja.
Pada skripsi kelima yang ditulis Umi Barokah, ia mengkaji seputar pluralisme agama dalam Islam. Sedangkan skripsi keenam yang ditulis Budi Irawan, ia pun mengkaji Pluralisme Agama. Kedua skripsi tersebut mempunyai kesamaan kajianya yaitu tentang pluralisme agama secara umum tanpa memasukan unsur kependidikan di dalamnya. Berangkat dari hal itu, maka menjadi sangat jelas perbedaan yang ada dalam penulisan skripsi ini, penulisan dalam skripsi ini menggunakan pemikiran seorang tokoh yang bernama Abdurrahman Wahid atau lebih dikenal dengan sebutan Gus Dur. Seperti yang kita ketahui beliau merupakan orang Indonesia asli. Dalam kesempatan ini penulis akan memaparkan gagasan-gagasan Gus Dur seputar Pluralisme dan Inklusivisme dalam pendidikan.

E.     Landasan Teori
Landasan teori merupakan suatu pedoman untuk mencari data atau informasi yang terkait atau berhubungan dengan penelitian yang sedang dilakukan. Untuk memperlihatkan sistematika dan metodologi dalam penyusunan penelitian ini, maka penulis memaparkan kerangka teoritik yang dapat dijadikan sebagai alat untuk menganalisis penelitian tersebut. Adapun landasan teori dalam penelitian ini yang akan dijadikan bingkai (frame) adalah teori inklusivisme, pluralisme, dan humanisme dalam pemikiran Alwi Shihab sebagai paradigma pendidkan Islam.
Dalam hal ini Alwi Shihab menyajikan berbagai macam point yang dijadikan pembahasan dalam konteks Islam inklusif, berbagai macam point tersebut meliputi: Pluralisme Agama, Posmodernisme Agama, Paradigma Agama-agama, Harmoni Antaragama, Inklusivisme Islam, Hubungan Muslim-Kristen, Fundamentalisme Yahudi, Tradisi Agama-agama, Humanisme dalam Islam, Euthanasia dalam Islam, Radikalisme Agama dan Konservatisme Islam di Amerika.[10] Namun dalam kesempatan ini penulis hanya mengambil beberapa point tersebut. Hal itu dilakukan karena penulis meninjau kembali bahwasanya hanya beberapa point yang telah disebutkan oleh Alwi Shihab tersebut yang relevan dan berkaitan erat dengan gagasan-gagasan Abdurrahman Wahid. Selain itu juga untuk menjadi batasan penulis agar tidak sampai keluar dari topik pembahasan. Untuk menegaskan kembali landasan teori, penulis mendasarkan nilai-nilai Islam Inklusivisme, Pluralisme dan Humanisme dalam pendidikan Islam.
1.        Aktualisasi Nilai-nilai Islam Inklusif
Kata aktualisasi dalam kamus “Ilmiah Populer” memiliki arti mengaktualkan, mewujudkan, merealisasikan serta melaksanakan. Secara filosofis, nilai sangat terkait dengan masalah etika. Nilai antara lain juga berarti standar tingkah laku, keadilan, kebenaran dan efisiensi yang mengikat manusia dan sepatutnya untuk dijalankan dan dipertahankan. Nilai juga berarti konsepsi abstrak dalam diri manusia mengenai baik dan buruk.[11] Nilai merupakan salah satu tipe atau pola kepercayaan yang berada pada ruang lingkup sistem kepercayaan seseorang di mana dia harus bertindak atau menghindari suatu tindakan atau mengenai sesuatu yang pantas atau tidak pantas dikerjakan, dimiliki atau dipercayai seseorang.
Dalam kehidupan manusia terdapat sesuatu yang bermanfaat, sehingga kelangsungan hidup seseorang atau masyarakat dapat dipertahankan. Oleh karena itu, manusia memberikan penghargaan terhadap sesuatu sehubungan manfaat atau kegunaan sesuatu dalam hidupnya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa nilai adalah penafsiran untuk memberikan penghargaan terhadap sesuatu ditinjau dari segi manfaat sesuatu tersebut bagi kehidupannya. Karena nilai berhubungan dengan kehidupan manusia maka istilah nilai disebut sebagai nilai hidup atau nilai dalam kehidupan. Dalam koteks ke-Islaman, nilai-nilai atau etika kehidupan bersumber pada sumber Al-Qur’an dan Sunnah Nabi yang kemudian dikembangkan oleh hasil ijtihad para ulama. Nilai-nilai yang bersumber kepada adat istiadat atau tradisi dan ideologi sangat rentan dan situsional. Sebab keduanya adalah produk budaya manusia yang bersifat relatif, kadang-kadang bersifat lokal dan situsional.[12] Sedangkan nilai-nilai Islam yang bersumber kepada Al-Qur’an adalah kuat, karena ajaran Al-Qur’an bersifat mutlak dan universal.
Islam adalah agama yg diajarkan oleh Nabi Muhammad saw. berpedoman pada kitab suci Al-Quran yg diturunkan ke dunia melalui wahyu Allah Swt.[13] Islam menurut makna sejatinya adalah sikap pasrah dan tunduk kepada Tuhan Yang Maha Esa. Orang yang pasrah dan tunduk kepada Tuhan yang Maha Esa disebut muslim bentuk jamaknya disebut “muslimin”. Dalam keyakinan ini terkandung keyakinan bahwa hanya Tuhanlah satu-satunya yang harus disembah, dipuja, dan diagungkan. Ajaran ini dalam Islam disebut Tauhid. Ia adalah inti dan prinsip tertinggi serta ajaran utama bukan hanya bagi dan dalam agama yang dibawa Nabi Muhammad Saw., tetapi juga dalam semua agama yang dibawa para utusan Tuhan.
Dalam Islam, semua nabi dan rasul Tuhan, baik yang disebutkan dalam Al Qur’an maupun yang tidak disebutkan adalah orang-orang yang Islam (muslimun). Ini sudah tentu berarti mereka adalah orang-orang yang tunduk dan pasrah kepada Allah semata-mata. Nabi Muhammad Saw. sebagai utusan (rasul) terakhir Tuhan, dilahirkan dan hadir dalam rangka mengajarkan kembali prinsip kepasrahan dan keimanan tersebut. Pengertian ini dapat dibaca dalam banyak ayat Al-Qur’an. Seperti yang ada dalam Al Qur’an Surat Al Baqarah ayat 132[14] dan Surat Ali Imran ayat 84-85[15].
Inklusif secara etimologi memiliki arti terhitung, global, menyeluruh, penuh, komprehensif dan keterbukaan. Kata inklusif berasal dari bentukan kata bahasa Inggris “inclusive” yang artinya termasuk di dalamnya.[16]
Sikap inklusif dalam beragama meruapakan suatu pandangan yang menyatakan bahwa semua agama-agama yang ada semuanya memiliki kebenaran dan memberikan manfaat dan keselamatan bagi para penganutnya, sebagaimana di Indonesia terdapat beraneka ragam agama yang diakui dan banyak penganutnya. Indonesia pernah mengalami suatu masa di mana hubungan antaragama sangat mengesankan kita semua. Umat beragama di Indonesia mampu hidup berdampingan secara damai. Seperti pada masa lampau di mana umat Hindu, Budha, dan umat Islam dapat saling menghormati satu sama lain dalam kehidupan sehari-harinya dalam masyarakat.
Menurut Alwi Shihab terdapat beberapa langkah menuju inklusivisme agama yaitu yang pertama masing-masing kelompok agama harus memiliki kemauan mendengarkan satu sama lain tanpa harus mengorbankan prinsip-prinsip keagamaan. Kedua, masing-masing kelompok agama harus mampu melepaskan perasaan benci historis mereka dan bersama-sama terlibat dalam menganjurkan nilai-nilai dasar yang sama-sama dipijak oleh agama-agama tersebut. Ketiga para pemimpin agama harus menentukan bagaimana agar para pengikutnya bisa menerapkan keilmuannya seraya menumbuhkan toleransi beragama yang merupakan tujuan utama yang didukung dan dimajukan oleh negara.[17]
Dari sinilah kita harus dan sangat perlu untuk mewujudkan tatanan  masyarakat yang harmonis ditengah berbagai perbedaan yang ada. Salah satu cara alternatif untuk mewujudkan hal tersebut adalah dengan cara menumbuhkan nilai-nilai Islam inklusif. Adapun nilai-nilai Islam inklusif yang perlu ditanamkan menurut Alwi Shihab yang menjadi landasan teori peneliti dalam skirpsi ini adalah sebagai berikut :[18]
a.      Nilai Pluralisme
Pluralistik bukanlah paham yang mengakui bahwa semua agama adalah sama benarnya, melainkan suatu realitas yang harus diterima bahwa manusia hidup bersama dalam keberbedaan baik budaya maupun agama.[19] Dalam konteks relasi umat beragama, ada kecenderungan untuk menjadikan agama sebagai media pemersatu umat. Melalui elit agama dan dialog antarumat beragama diharapkan muncul kesadaran bersama untuk menciptakan persaudaraan sejati berdasarkan spirit kebenaran universal agama.
Dalam Christian-Moslem Dialogue (CMD), terdapat beberapa gagasan yang muncul mengenai perlunya dialog antar umat beragama. Menurut peserta dari kalangan Kristiani, dialog dapat dilakukan secara perlahan tetapi pasti. Mereka menambahkan, sebagaimana yang terdapat dalam firman Tuhan, terdapat kontak antara orang Kristen dengan orang Yahudi. Selain itu sesuai ayat dalam Alkitab, sudah selayaknya pertemuan Cornelius dan Petrus menjadi contoh aktualisasi dari dialog antarumat beragama. Maka, jika ditarik dari Kristiani, sesungguhnya Islam dan Kristen memiliki basis yang sama yaitu iman Abraham. Selain itu, sejak lahir manusia sudah memiliki bangunan yang sama, yaitu tanah dan roh. Permasalahan timbul, saat agama-agama menghampiri angan-angan. Ini yang menyebabkan, orang Kristiani terkadang lupa bahwa menerima Yesus sama artinya menerima makna kemausiaan. Sayangnya mereka sering salah paham dengan hal itu. Jika sarana kemanusiaan bisa dipulihkan dan simbol-simbol disingkirkan, sudah pasti akan terjadi dialog. Tetapi sebaliknya, konflik dipastikan terjadi jika gereja-gereja hanya mencari massa bukan menanamkan esensi menerima Yesus.[20]
Sudah barang tentu, fenomena keagaman (pluralitas) agama tersebut yang didalamnya terdapat sekelompok orang dari berbagai tradisi agama dan budaya pada esensisnya merupakan salah satu persoalan yang dihadapi oleh setiap orang beragama. Dalam konteks pluralitas agama dan relasi antarumat beragama inilah tentu masih menyisakan problem dan sekaligus tantangan yang harus dihadapi bersama oleh para agamawan. Bagaimana mereka memahami pluralisme itu sendiri, bagaimana mereka menyikapi, dan pola apa yang mereka bangun dalam konteks relasi umat beragama? Maka dari itulah guna membangun kesadaran pluralisme perlu adanya sikap toleransi dan kerukunan beragama.[21]
1)      Toleransi
Istilah Toleransi berasal dari bahasa Inggris, yaitu : tolerance berarti sikap membiarkan, menghormati keyakinan orang lain tanpa memerlukan persetujuan.  Disamping kata toleransi juga kerap kali kita mendengar kata “tolerer”. Kata ini adalah bahasa Belanda yang berarti membolehkan atau membiarkan yang pada prinsipnya tidak perlu terjadi.[22]
Dalam Islam sendiri toleransi sejajar dengan tasamuh al-Islam. Berasal dari kata al-simah dan al-samahah yang berarti saling mengizinkan, saling memudahkan dan kemurahan. Jika dikaitkan dengan hubungan interreligious, maka toleransi dapat diartikan sebagai kemurahan, pengampunan dan perdamaian Islam kepada pemeluk agama lain.[23] Toleransi Islam tidak terbatas pada pemberian hak kepada non-Muslim untuk beribadah ditempat mereka, tetapi lebih dari itu Rasulullah Saw. bahkan mempersilahkan rombongan Kristen Najran melaksanakan ibadah di Masjid Nabawi.
Toleransi juga tercermin dalam pernyataan Ibnu Rusyd menyikapi pendapat-pendapat lawan dialognya. Ibnu Rusyd mengusung nilai-nilai toleransi dalam terminologi “adil” (al-‘adl) untuk mengkritik Al Ghazali yang dinilai tidak memaparkan dan memahami argumentasi para filsuf Yunani dan kalangan Muktazilah, Ibnu Rusyd berkata :
Di antara keadilan-seperti kata Aristoyeles-adalah jika seseorang mempersialahkan orang lain mengutarakan argumentasinya sebagaimana dirinya sendiri memiliki kesempatan mengutarakan argumentasi. Artinya, seseorang yang bersungguh-sungguh mencari kebenaran harus berusaha mencari argumentasi lawannya sebagaimana dia mencari argumentasi untuk dirinya sendiri. Seseorang hendaknya dapat menerima argumentasi orang lain jika argumen ersebut benar menurutnya. Bagi pencari kebenaran, apabila menemukan pendapat yang janggal dan tidak menemukan argumentasinya yang baik yang dapat menghilangkan kejanggalan tersebut, maka seyogaianya dia tidak terburu-buru menyesatkannya.[24]

Abdurrahman Wahid menemukan prinsip toleransi yang diserap dari hadits Nabi bahwa pencarian kebenaran hukum akan mendapat dua pahala jika benar dan mendapatkan satu pahala jika salah (man ijtahada fa ashoba fa lahu fa man ijtahada fa akhta’a fa lahu ajrun wahidun). Pencari kebenran dihargai oleh Tuhan meskipun dia salah. Oleh karena itu, semua pendapat harus dihargai dan tidak boleh diberangus. Pesantren telah mengajarkan banyak hal pada sosok Gus Dur. Salah satunya adalah kata-kata yang menjadi inspirasi beliau dari ulama fiqh Al Syafi’i yang bersemboyan: “Pendapat kami benar tetapi mungkin salah, sedangkan pendapat kalian salah tetapi mungkin benar.” (ra’yuna  showabun yuhtamilu al-khata’ wa ra’yu ghairina khata’un yahtamilu al-showab)[25]. Jargon tersebut setidaknya menunjukkan bahwa kebenaran pemikiran manusia tidaklah absolut dan seseorang tidak boleh merasa benar sendiri sembari menyesakan pendapat orang lain.
2)      Kerukunan Beragama
Perbedaan-perbedaan itu bukanlah untuk dipertentangkan, melainkan harus diserasikan untuk mencapai cita-cita bersama menuju kebahagiaan bersama. Bangsa Indonesia memang telah ditakdirkan oleh Tuhan menjadi bangsa yang majemuk yang multikultur serta multiagama. Namun kita semua disatukan dalam satu kesatuan yaitu Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tepatnya seperti yang dilukiskan dalam lambang negara Republik Indonesia yaitu Bhineka Tunggal Ika yang berarti walaupun berbeda-beda tetapi tetap satu.[26]
Secara etimologis kata kerukunan pada mulanya adalah bahasa Arab, yaitu; “ruknun” berarti tiang, dasar, sila. Jamak ruknun adalah “arkaan” yang artinya suatu bangunan sederhana yang tediri dar berbagai unsur.[27] Dalam arkaan diperoleh pengertian, bahwa kerukunan merupakan suatu kesatuan yang terdiri dari berbagai unsur yang berlainan dan setiap unsur itu menguatkan. Kesatuan tidak akan terwujud jika ada  diantara unsur tersebut yang  tidak berfungsi.
Dalam pengertian sehari-hari kata rukun dan kerukunan dapat diartikan sebagai situasi dan kondisi yang damai dan tenteram ditengah masyarakat. Dengan begitu jelas berarti bahwa kata kerukunan dapat dipergunakan dan berlaku dalam dunia pergaulan sosial.
Dalam Islam sendiri telah dijelaskan dalam kitab-Nya bahwasanya manusia diciptakan dari perbedaan yang ada, baik itu perempuan laki-laki, maupun suku-suku dan bangsa-bangsa. Hal tersebut terjadi bukan hanya sebagai kebetulan semata, melainkan ada hikmah dan pesan tersendiri dari Tuhan untuk kita semua. Dengan adanya itu kita dituntut untuk berinteraksi saling mengenal satu sama lain dan mampu bekerja sama dalam kehidupan sehari-hari. Mengingat keberagaman ini merupakan relitas sosial dan sebuah sunnatullah dari Tuhan. Maka dari itu manusia tidak ada alternatif lain, selain menerima dan memelihara dengan mengarahkan kepada kepentingan dan tujuan bersama.
Selanjutnya cendekiawan muslim, Malik bin Nabi menerangkan bahwa kemajuan ilmu pengetahuan bukan hanya terbatas pada pencapaian metode dan teori-teori, namun lebih tergantung pada sekumpulan psikologis individu dan sosial masyarakat yang mempunyai pengaruh negatif dan positif sehingga dapat mengahambat kemajuan ilmu pengetahuan atau mendorongnya lebih pesat dalam suatu wilayah masyarakat. Maka dari itu dalam mewujudkan tata kerukunan beragama dalam kehidupan masyarakat sangatlah penting, khususnya pada masyarakat bangsa Indonesia. Karena kemajuan dan kemerosotan bangsa Indonesia ditentukan oleh kemajemukan rakyat Indonesia. Apabila semua manusia dapat bersatu dalam kesatuan bangsa tanpa melihat batas-batas atau skat-skat perbedaan maka bukan hal yang tak mungkin lagi bangsa Indonesia akan menjadi bangsa yang maju, damai dan sejahtera.[28]
b.      Nilai Humanisme
Secara etimologis, istilah humanisme erat kaitannya dengan kata latin klasik, yakni humus, yang berarti tanah atau bumi. Dari istilah tersebut muncul kata homo yang berarti manusia dan humanus yang menunjukan “membumi” dan “manusiawi”.[29] Perspektif etimologis dan historis dalam memahami makna kata humanisme lebih pada kata manusia itu sendiri. Artinya, bagaimana membentuk manusia itu menjadi manusiawi, serta pihak mana atau siapa yang bertanggung jawab dalam proses pembentukannya.
Bila kita cermati lebih dalam, nilai-nilai Humanistik ini sangat berkaitan erat dengan adanya HAM atau Hak Asasi Manusia. Artinya untuk mewujudkan sebuah tatanan masyarakat yang humanis maka kita harus mampu mengapresiasikan apa yang menjadi hak-hak mereka didunia ini. Alwi Shihab memberikan garis pemisah antar huquq Allah (hak-hak Allah) dan huquq al-ibad (hak-hak hamba Allah [manusia]). Hak Allah adalah faraidh (kewajiban) yang dicanangkan kepada tiap manusia untuk dilaksanakan. Pelaksanaan kewajiban-kewajiban tersebut tidak lain adalah pengakuan terhadap keesaan, kemahakuasaan dan keunikan-Nya dengan mengikuti ketentuan-Nya.[30] Dalam konteks pelaksaan tersebut seorang muslim harus dapat menyeimbangkan antara hak-hak Tuhan (kewajiban manusia dengan Tuhan) dengan hak-hak manusia (kewajiban manusia dengan manusia yang lain). Untuk mewujudkan itu semua perlu adanya sikap saling memiliki satu sama lain. Artinya perlu adanya suatu rasa yang bisa mengikat antar individu. Sebuah rasa kasih dan sayang yang ada dalam diri manusia akan membawa kepada ketentraman hati dan pikiran. Dengan begitu akan terwujud sebuah pribadi yang soleh, baik secara sosial maupun normatif terhadap Tuhannya.
1)      Kasih Sayang
Kasih sayang berasal dari bahasa Arab berarti Al Rahmann dan Ar Rahim yang berarti maha pengasih dan maha penyayang.[31] Rasa kasih sayang membuat manusia turut merasakan sedih melihat kekeliruan orang lain dan mengharapkan orang yang berbuat kekeliruan itu akan memperoleh petunjuk, dalam melakukan hubungan kemasyarakatan dengan individu yang lain dilakukan cara saling menghargai dan menghormati.
Islam memerintahkan supaya para pemeluknya saling bercinta kasih secara umum, dan hal itu dijadikan sebagai salah satu tanda keimanan yang sempurna. Penanaman nilai kasih sayang tercermin dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Tiadalah seseorang beriman sampai ia mencintai saudaranya seperti mencintai dirinya sendiri”. Adapun bentuk-bentuk dari sikap kasih sayang dapat kita wujudkan menurut AA Gym diantaranya dengan cara:
Pertama, bertutur kata yang sopan dan santun. Jika hendak berkomunikasi pilihlah kata-kata yang paling sopan dengan cara yang santun dalam bahasa yang baik dan bersih, serta sampaikan dengan cara yang lembut. Hindari keluarnya kata yang kasar, menyakitkan, memojokan dan merendahkan. Lalu, rendahkan nada suara agar tidak keras dan berlebihan.
Kedua, saling menyapa dan mengucapkan salam. Berupayalah menjadi orang yang terlebih dahulu menyapa dan mengucapkan salam. Jabatlah tangan dengan penuh kehangatan. Seandainya menerima salam jangan lupa untuk menjawab salam dengan antusias dan penuh perhatian.
Ketiga, maafkan kesalahan. Komunikasi atau silaturahmi bisa terputus karena permusuhan dan tidak akan pernah nyambung tanpa ada kata maaf. Karena itu, guna melanggengkan silaturahmi, jadilah pemaaf yang lapang dan tulus terhadap kekurangan serta kesalahan orang lain.
Keempat, menolong dengan apapun. Kemanfaatan kita bagi orang lain sering berwujud dalam bentuk pertolongan. Karena itu, bersegeralah menolong orang yang tengah membutuhkan pertolongan, baik dengan harta, tenaga, maupun waktu atau juga sekedar perhatian yang tulus. Andai kata terbatas kemampuan menolong secara fisik, jadikanlah taburan do’a yang tulus kepada mereka.



2)      Kesalehan Normatif dan Sosial
Kesalehan Normatif disini dapat diartikan sebagai kesalihan terhadap Tuhannya. Sedangkan Kesalehan Sosial diartikan sebagai kesalihan terhadap sesama manusia. Kedua hal tersebut dapat diapresikan dalam kehidupan sehari-hari dengan bentuk ibadah dan mu’amalah. Ibadah diartikan dengan hukum yang mengatur hubungan Tuhan dengan hamba-Nya, sementara muamalah adalah hukum yang mengatur hubungan sosial, baik secara perseorangan maupun secara kolektif, bahkan masuk juga di dalamnya hubungan manusia dengan lingkungan.
Pengelompokan ibadah dan muamalah tersebut merupakan usaha pengelompokan ajaran Islam agar lebih mudah dipahami dan diaplikasikan atau diamalkan. Ibadah dan muamalah merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan, seperti dua sisi dari satu mata uang. Pada gilirannya mestinya kualitas ibadah seseorang terpancar dalam wujud kesalehan sosialnya. Artinya, bukti publik bahwa seseorang mempunyai kesalehan ibadah adalah terwujud dalam perilaku dan kesalihan dalam kehidupan sehari-hari di rumah, tempat kerja, berteman, bermasyarakat, dan kehidupan masyarakat lainnya. Keduanya memang harus seimbang dan selaras dalam pribadi seseorang.
Pemikir kontemporer, Abd al-Wahhab Khalaf dengan ghiroh fikih/hukum misalnya menyebut tiga hukum yang dibawa Al-Qur’an untuk umat muslim, tiga hukum tersebut meliputi:
a.       Hukum dibidang akidah
b.      Hukum dibidang tingkah laku manusia (amaliyah)
c.       Hukum dibidang akhlak[32]
2.        Pengertian Pendidikan Islam
Makna pendidikan secara sederhana dapat diartikan sebagai usaha manusia untuk membina kepribadiannya sesuai dengan nilai-nilai di dalam masyarakat dan kebudayaan. Dengan demikian, bagaimanapun sederhananya peradaban suatu masyarakat, di dalamnya terjadi atau berlangsung suatu proses pendidikan.[33]
Definisi pendidikan menurut UU No. 20 Tahun 2003 yaitu pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat bangsa dan negara.[34]
Berbeda dari pendidikan pada umumnya yang dibangun atas dasar konsep manusia dalam basis filosofisnya masing-masing, pendidikan dalam pandangan Islam dibangun dengan berangkat dari konsep manusia dalam basis-basis nilai kee-Islaman. Menurut Ibnu Maskawaih dalam kitabnya Tahzibul Akhlak, pendidikan merupakan suatu usaha untuk mewujudkan pribadi susila, mempunyai watak yang luhur atau berbudi pekerti mulia. Sedangkan menurut al-Ghazali pendidikan adalah suatu proses kegiatan yang sistematis untuk melahirkan perubahan yang progresif pada tingkah laku manusia, yaitu menghilangkan akhlak yang buruk dan menanamkan akhlak yang baik.[35]
Muhammad Fadhil al jamali yang mendefinisikan pendidikan Islam adalah upaya mengembangkan, mendorong, serta mengajak manusia untuk lebih maju dengan berlandaskan nilai-nilai yang tinggi dan kehidupan yang mulia, sehingga terbentuk pribadi yang sempurna, baik yang berkaitn dengan akal, perasaan maupun perbuatan.[36]
Pengertian selanjutnya mengenai pendidikan Islam datang dari Omar Muhammad al Toumi al syaibani. Baliau mendefinisikan pendidikan Islam sebagai proses mengubah tingkah laku individu pada kehidupan pribadi, masyarakat dan alam sekitarnya, dengan cara pengajaran sebagai suatu aktivitas asasi dan sebagai profesi diantara profesi-profesi asasi dalam masyarakat.[37]
Sedangkan menurut Hamka, pendidikan Islam merupakan serangkaian upaya yang dilakukan pendidik untuk membantu membentuk watak, budi, akhlak, dan kepribadian peserta didik, sehingga ia tahu membedakan mana yang baik dan mana yang buruk.[38]
Dengan kata lain pendidikan Islam selalu mengantarkan manusia pada perilaku dan perbuatan manusia yang berpedoman pada syariat  Islam. Sehingga pendidikan Islam bukanlah pendidikan yang hanya sekedar “transfer of knowledge” atau “transfer of training”, tetapi lebih dari merupakan sistem yang terkait secara langsung dengan Tuhan. [39]
Berdasarkan pengertian di atas, pendidikan Islam merupakan suatu sistem atau metode untuk meningkatkan kualitas hidup manusia dalam aspek kehidupan, baik secara moral spiritual maupun material dan intelektual. Dalam hal ini pendidikan Islam lebih menitikberatkan pada moral spiritual sebagai alat kontrol yang lainnya yaitu mengontrol material dan intelektual yang dimilikinya. Dengan moral spiritual yang baik otomatis ia akan menggunakan serta memanfaatkan material intelektualnya dengan baik pula, begitupun sebaliknya.
Dalam hal ini pendidikan Islam harus mampu mengadakan perubahan sekaligus salah satu pendidikan yang dapat dijadikan solusi alternatif untuk menjawab tantangan dan perubahan zaman. Sebab pendidikan Islam itu meliputi pemeliharaan seluruh aspek perkembangan baik itu material, spiritual, intelektual maupun perilaku sosial.
Pendidikan Islam harus menuju pada integritas ilmu agama dan ilmu non agama. Karena menurut pandangan umat Islam antara ilmu agama dan ilmu umum merupakan ilmu pengetahuan yang sama-sama bersumber atau berasal dari Allah SWT. Fazlur Rahman menambahkan bahwa umat Islam seharusnya menerima pendidikan sekuler modern sebagaimana yang telah berkembang di dunia Barat dan mencoba untuk ‘meng-Islamkannya’ yakni memasukkan dan mengaitkannya dengan nilai-nilai ajaran agama Islam. Dengan ungkapan lain, seharusnya umat Islam tidak kaku dalam memahami sekaligus menggali ilmu pengetahuan karena ajaran Islam bersifat elastis dan universal selagi masih berada di dalam norma-norma ajaran Islam.[40]
F.      Metode Penelitian
Metode penelitian adalah cara-cara berfikir dan berbuat yang dipersiapkan dengan baik-baik untuk mengadakan penelitian dan mencapai suatu tujuan penelitian.[41] Agar diperoleh penulisan dan pembahasan penelitian skripsi ini dengan hasil yang komprehensif dan dapat diajukan serta dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah-akademis, maka diperlukan metodologi penelitian yang relevan dan sistematis yang mampu mengeksplorasi dan menganalisis berbagai sumber data yang diperoleh secara akuntabel.
1.      Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian library research atau studi pustaka, yaitu penelitian yang data-datanya diperoleh dari studi pustaka atau literature terkait, studi pustaka adalah penelitian yang teknik pengumpulan datanya dilakukan di lapangan (perpustakaan). Dikarenakan perpustakaan merupakan tempat yang ideal untuk mengakses macam-macam sumber yang relevan dengan didasarkan atas pembacaan-pembacaan terhadap beberapa literature yang memiliki informasi dan relevansi dengan topik penelitian.[42] Adapun literature tersebut dapat berupa jurnal, laporan hasil penelitian, artikel ilmuah,  majalah ilmiah, surat kabar, buku, hasil seminar dan lain sebagainya yang memiliki relevansi dengan topik penelitiannya.
Alasan dipilihnya jenis penelitian studi pustaka karena topik  penelitian  ini merupakan studi pemikiran seorang tokoh, yang dalam hal ini adalah Abdurrahman Wahid atau lebih akrab disapa dengan Gus Dur.  Beliau merupakan seorang tokoh yang mempunyai ciri khas tersendiri. Sosok pemikir yang nyentrik dengan gagasan-gagasan cerdasnya, walaupun tak jarang membawa gebrakan-gebrakan baru yang menghebohkan. Selain itu  beliau juga telah membawa angin segar terhadap perkembangan bangsa ini. Hasil pemikirannya memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap dunia politik serta dunia pendidikan yang ada di negeri tercinta ini. Oleh karenanya yang sangat relevan adalah menggunakan jenis penelitian studi pustaka. Bukan jenis penelitian kuantitatif yang masalahnya sudah jelas dan umumnya dilakukan pada populasi, yaitu untuk mencari hubungan sebab akibat antar variabel, atau jenis penilitian kualitatif yang bertujuan mendalami suatu kasus (studi kasus) pada situasi sosial tertentu..[43]
2.      Metode Pengumpulan Data
Sesuai dengan jenis penelitian, skripsi ini menggunakan metode dokumentasi dalam pengumpulan data-datanya. Metode dokumentasi adalah mencari data mengenai hal-hal atau variabel yang berupa catatan, transkip, buku, surat kabar, majalah, prasasti, notulen rapat, legger, agenda dan sebagainya. Adapun sumber data yang harus diperoleh dalam penelitian ini meliputi :
a.      Sumber Data Primer
Data primer merupakan data pokok yang menjadi objek penelitian. Dalam hal ini data yang ada berupa karya Abdurrahman Wahid (Gusdur) sendiri berupa buku-buku atau tulisan-tulisan dalam artikel dan atau makalah yang merupakan hasil pemikiran sendiri. Selain itu juga terdapat tulisan orang lain yang membahas tentang pemikiran Gus Dur. Adapun karya-karya Gus Dur diantaranya adalah: Islam Kosmopolitan; Nilai-nilai Indonesia dan Transformasi Kebudayaan, Islamku Islam Anda Islam Kita, Gus Dur NU dan Masyarakat Sipil dan lain sebagainya.
b.      Sumber Data Sekunder
Data sumber sekunder yaitu data pendukung yang diperoleh peneliti tidak secara langsung dari sumber obyek yang diteliti akan tetapi melalui pihak lain berupa literatur-literatur yang relevan dan menunjang terhadap penelitian ini. Adapun sumber data sekunder diantaranya adalah: Ilmu Pendidikan, Ilmu Pendidikan Islam, Ilmu Social Kemasyarakatan, Sistem Pendidikan Islam, Pendidikan Berpadigma Inklusif, BerIslam Secara Toleran, Paradigma Pendidikan Islam, Pendidikan Multikultural dan lain sebagainya.
3.      Metode Analisis
Dalam penelitian ini penulis menempuh dua langkah yaitu pengumpulan data dan analisis data. Setelah data terkumpul kemudian dianalisis melalui mmetode deskriptis analisis yaitu pengambilan kesimpulan terhadap sesuatu obyek, kondisi, sistem pemikiran, gambaran secara sistematis, faktual, serta hubungannya dengan fenomena yang dianalisis.[44]
Dengan demikian, analisis ini  berprinsip pada logika deduktif, yaitu suatu cara menarik kesimpulan dari yang umum ke yang khusus dan logika induktif, yaitu pola pemikiran yang berangkat dari peristiwa yang khusus kemudian ditarik generaisasi yang bersifat umum. Dalam penelitian ini penulis menggunakan pendekatan filosofis historis[45] sehingga mampu menyentuh aspek yang terpenting dalam gagasan pemikiran Abdurrahman Wahid dan memberi gambaran historis perjalanan sosok Abdurrahman Wahid.

G.    Sitematika Pembahasan
Penyusunan skripsi ini terdiri dari empat bab, masing-masing bab ini terdiri dari sub-sub pembahasan. Hal tersebut dilakukan untuk mempermudah penulisan ilmiah yang sistematis dan konsisten. Adapun sistematika pembahasan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
Bab Pertama, berisi pendahuluan yang meliputi: Latar Belakang Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan dan Kegunaan Penelitian, Tinjauan Pustaka, Landasan Teori, Metode Penelitian dan Sistematika Pembahasan.
Bab Kedua, berisi tentang biografi Abdurrahman Wahid yang dijelaskan menjadi beberapa sub bab yaitu: Riwayat Hidup dan Pendidikan Abdurrahman Wahid, Perjalanan Organisasi Abdurrahman Wahid, Karya-karya Abdurrahman Wahid, Konstruksi Pemikiran Abdurrahman Wahid, serta Pandangan Abdurrahman Wahid mengenai pendidikan.
Bab Ketiga, penulis memfokuskan pada tema penelitian, yaitu pembahasan mengenai nilai-nilai Islam inklusif dalam Pendidikan Islam menurut Abdurrahman Wahid. Adapun yang dibahas dalam bab ini adalah pemikiran Abdurrahman Wahid tentang nilai-nilai Islam inklusif yang bersifat universal kemudian dihubungkan dengan pendidikan Islam. Tantangan dalam penerapan pendidikan Islam yang inklusif itu sendiri serta kritik terhadap pemikiran Abdurrahman Wahid dari berbagai kalangan intelektual dan masyarakat luas.
Bab empat, merupakan penutup yang berisi kesimpulan dan saran-saran serta kata penutup.



[1] Muhammad Zainuddin, Kesalehan Normatif & Sosial, (Malang: UIN Malang Pres, 2007), hlm. 71.
[2] Zuly Qodir, Agama Dalam Bayang-Bayang Kekuasaan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), hlm. 54.
[3] Ibid., hlm. 55.
[4] Imron Rossidy, Pendidikan Berparadigma Inklusif: Upaya Memadukan Pengokohan Akidah deng an Pengembangan Sikap Toleransi dan Kerukunan, (Malang: UIN Malang Press, 2009), hlm. 38.
[5] Ngainun  Naim  dan  Achmad  Sauqi,  Pendidikan  Multikultural Konsep  dan  Aplikasi (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media Grup, 2010), hlm.13.
[6] Ibid., hlm. 14.
[7] Zurqoni dan Muhibat, Menggali Islam Membumikan Pendidikan, (Yogyakarta; Ar-Ruzz Media, 2011), hlm 36.
[8] Abdurrahman Wahid, Islam Kosmopolitan: Nilai-Nilai Indonesia dan Transformasi Kebudayaan, (Jakarta: The Wahid Institute: 2007), hlm. 6.
[9] Ibid., hlm. 5.
[10] Alwi Shihab, Islam Inklusif Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama, (Bandung: Mizan, 1998), hlm. X.
[11] Soedjono Soekamto, Kamus Sosiolgi, (Jakarta: CV. Rajawali, 1995), hlm. 532.
[12] Said Agil, Aktualisasi Nilai-nilai Qur’an dalam Sistem Pendidikan Islam, (Ciputat: Ciputat Press, 2005), hlm.3.
[13] KBBI Online, Islam, di unduh pada tanggal 15 Desember 2013,
[14] QS Al Baqarah 132: “Dan Ibrahim telah mewasiatkan ucapan itu kepada anak-anaknya, demikian pula Ya’qub. (Ibrahim berkata,) ‘Hai anak-anakku, sesungguhnya Alllah telah memilih agama ini bagimu, maka janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan patuh dan pasrah (kepada Allah).
[15] QS Ali Imran 84-85: “Katakanlah (hai Muhammad), ‘Kami percaya kepada Tuhan dan kepada ajaran yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepada Ibrahim, Ismail, Ishaq, Ya’qub serta anak turunan mereka, dan yang diturunkan kepada Musa, Isa serta para nabi yang lain dari Tuhan mereka. Kami tidak membeda-bedakan seorang pun dari mereka dan hanya kepada Nya kami berserah diri. Dan barang siapa menganut agama selain Islam (sikap pasrah kepada Tuhan), tidak akan diterima dan di akhirat termasuk orang-orang yang merugi,’”.
[16] Pius Partanto & Dahlan Al Barry, Kamus Ilmiah Populer, (Surabya: Arkola, 2001), hlm. 264.
[17] Alwi Shihab, Islam Inklusif: Menuju Sikap Terbuka Dalam Beragama, (Bandung: Mizan, 1998), hlm. 35-36.
[18] Alwi Shihab, Islam Inklusif: Menuju Sikap Terbuka Dalam Beragama, (Bandung: Mizan, 1998), hlm. X.
[19] Muhammad Zainuddin, Pluralisme Agama, hlm. 9.
[20] Ibid., hlm 11
[21] Imron Rossidy, Pendidikan Berparadigma Inklusif, Upaya Memadukan pengokohan Akidah dengan Pengembangan Toleransi dan Kerukunan, (Malang: UIN Malang Press, 2009), hlm. 4
[22] Said Agil H., Fikih Hubungan Antar Agama, (Jakarta: Ciputat Press, 2005), hlm. 13
[23] Irwan Masduqi, BerIslam Secara Toleran, (Bandung: Mizan, 2011), hlm. 230.
[24] Ibnu Rusyd dalam Irwan Masduqi, BerIslam Secara Toleran, hlm. 63.
[25] Abdurrahman Wahid, Islaam, Kebinekaan, dan Toleransi (dalam BerIslam Secara Toleran), hlm. 134.
[26] Tim Departemen Agama, Pedoman Dasar Kerukunan Hidup Beragama, (Jakarta: Departemen Agama, 1984), hlm. 6.
[27] Said Agil H., Fikih Hubbungan Antar Agama, hlm. 4.
[28]  Alwi Shihab, Islam Inklusif, (Bandung: Mizan, 1998), hlm. 247.
[29] Bambang Sugiharto, Humanisme dan Humaniora, (Yogyakarta: Jalasutra Press, 2008), hlm. 2.
[30] Alwi Shihab, Islam Inklusif, Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama, (Bandung: Mizan, 1998), hlm. 178.
[31] Ainur Rahim, Bimbingan Dan Konseling Dalam Islam, (Yogyakarta: UII Press, 2001), hlm. 143.
[32] Hendri Wijayatsih dkk, Memahami Kebenaran Yang Lain; sebagai upaya pembaharuan hidup bersama, (Yogyakarta: Taman Pustaka Kristen, 2010), hlm. 164
[33] Tim Dosen FIP-IKIP Malang, Pengantar Dasar-Dasar Kependidikan, (Surabaya : Usana Offset Printing, 1981), hlm. 2.
[34] Undang-undang SISDIKNAS No. 20 Tahun 2003
[35] Busyairi Madjidi, Konsep Kependidikan Para Fiosof Muslim, (Yogyakarta: Al Amin Press, 1997), hlm. 86 .
[36] Abdul mujid dan jusuf mudakkir, ilmu pendidikan Islam (Jakarta: Kencana, 2010),  hlm. 26.
[37] Ibid., hlm. 26.
[38] Samsul Nizar,  Memperbincangkan Dinamika Intelektual dan Pemikiran HAMKA tangtang Pendidikan Islam, ( Jakarta: Kencana, 2008), hlm. 111.
[39] Mohammad In’ami, “Rekonstruksi Pendidikan Islam”, Jurnal Penelitian Pendidikan Islam, Jurusan Tarbiyah STAIN Kudus, Vol. 5, No. 2 (Desember, 2008), hlm. 76.
[40] Ibid., hlm. 82.
[41] Kartini Kartono, Pengantar Metodologi Riset Sosial, (Bandung: Mondari Maju, 1996), hlm. 20.
[42] Sukardi, Metodologi Penelitian Pendidikan: Kompetensi dan Praktiknya, (Jakarta: bumi Aksara, 2010), hlm. 34-35.
[43] Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan: Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif dan R&D, (Bandung: Alfabeta, 2009), hlm. 38.
[44] Mohammad Nazir, Metode Penelitian, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1998), hlm. 63.
[45] Saifudin Azwar, Metode Penelitian, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hlm. 5.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar