Selasa, 27 Mei 2014

Bab IV Skripsi

BAB IV
PENUTUP
A.     Kesimpulan
Dari pemaparan di atas berdasarkan penemuan-penemuan dalam penelitian ini terhadap nilai-nilai Islam inklusif yang digagas Abdurrahman Wahid dalam upaya menciptakan kehidupan masyarakat Indonesia yang harmonis ditengah berbagai perbedaan yang ada. Secara umum penelitian ini dapat disimpulkan bahwa:
1.      Nilai-nilai Islam inklusif Abdurrahman Wahid dirumuskan atas dua macam nilai, yaitu nilai-nilai pluralisme dan nilai-nilai humanisme dalam kehidupan sosial beragama. Nilai-nilai pluralisme dapat diaktualisasikan dalam kehidupan sosial beragama dengan menumbuhkan sikap toleransi, kritis, serta keterbukaan guna mewujudkan kerukunan beragama ditengah masyarakat yang plural. Keemudian untuk nilai-nilai humanisme dapat diaktualisasikan dalam kehidupan sosial beragama dengan menumbuhkan sikap kasih dan sayang terhadap sesama manusia tanpa pernah melihat latar belakang agamanya. Abdurrahman Wahid lebih menekankan pada adanya keseimbangan antara hubungan manusia dengan Tuhannya serta hubungan manusia dengan sesama manuia sehingga akan tercipta seoarang individu yang mempunyai sikap kesalihan normatif dan sosial.
2.      Berangkat dari  nilai-nilai Islam inklusif, Abdurrahman Wahid menyerukan pandangan humanismenya ditengah pluralisme yang ada di negeri ini demi tercapainya kehidupan beragama yang harmonis. Kemudian apabila nilai-nilai Islam inklusif tersebut diaktualisasikan ke dalam pendidikan Islam maka akan terlihat beberapa aspek sebagai berikut:
a.       Aspek manusia, dalam aspek ini menekankan nilai-nilai kemanusiaan di tengah keragaman yang ada. Dalam pelaksanaannya nilai-nilai tersebut dikembangkan dalam diri guru atau pendidik dan peserta didik atau siswa.
b.      Aspek kurikulum, dalam aspek kedua ini terdapat hal-hal yang perlu diperhatikan secara signifikan. Hal-hal tersebut yaitu meliputi aspek materi dan evaluasi dalam pembelajaran.
c.       Aspek metode, dalam aspek metode ini terdapat alternatif metode yang dapat diterapkan dalam pembelajaran, seperti metode dialogis, metode inovatif dan metode keteladanan.

B.     Saran
Dengan adanya penelitian ini penulis menyarankan kepada siapa saja yang turut andil dalam pendidikan Islam, baik itu guru sebagai pendidik dan steakholder yang mewadahi lembaga pendidikan khususnya lembaga pendidikan Islam, ataupun tokoh masyarakat agar mampu mengembangkan pendidikan Islam berparadigma inklusif dalam pelaksanaan pembelajaran sehingga akan terbentuk peserta didik yang kritis, toleran terhadap berbagai perbedaan yang ada di tengah masyarakat, serta mampu bersikap kasih sayang terhadap sesama manusia tanpa melihat latar belakang agamanya. Sebuah proses pembelajaran yang mencetak peserta didik yang bisa menghargai keragaman akan sebuah agama namun disi lain tidak kehilangan jati diri agamanya sendiri.
Kepada kalangan akademisi hendaknya melakukan kajian lebih mendalam tentang nilai-nilai Islam inklusif ini terutama nilai-nilai Islam inklusif  yang digagas oleh Abdurrahman Wahid. Dengan pengkajian  yang lebih lanjut akan memberikan alternatif solusi untuk masalah perselisihan agama yang terjadi di Indonesia.

C.     Kata Penutup
Segala puji syukur kehadirat Allah SWT Yang Maha  Pengasih dan Penyayang, yang senantiasa memberikan rahmat serta hidayah-Nya dan kesehatan kepada penulis, sehingga dalam penulisan skripsi ini diberikan kemudahana dan kelancaran. Dengan demikian, akhirnya penulis dalam penyelesaian tugas akhir (skripsi) ini dapat diselesaikan dalam waktu yang diridhai Allah SWT.
Shalawat serta salam penulis haturkan kepada jujungan Nabi Besar Muhammad SAW, dengan kesabaran dan keeguhan hati, Beliau telah menunjukan jalan (agama) yang lurus, sehingga memberikan petunjuk bagi penulis dalam mengetahui sesuatu yang haq dan yang bathil.
Seperti kata peribahasa “Tak ada manusia yang Sempurna”. Demikian juga dengan penulisan skripsi ini, penulis menyadari bahwa sebagai insan yang tidak bisa lepas dari kekhilafan dan kesalahan, maka sudah tentu ada dan terdapat kekurangan dan kelemahan dalam penulisan skripsi ini. Oleh karena itu, penulis  berharap ada kritik dan saran bermanfaat dari para pembaca untuk perbaikan atau melengkapi karya ini.
Akhir kata, penulis hanya bisa menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada segenap pihak yang telah mendukung dan membantu sehingga penulisan skripsi ini bisa terselesaikan.


Bab III Skripsi

BAB III
AKTUALISASI NILAI-NILAI ISLAM INKLUSIF
DALAM PENDIDIKAN ISLAM
A.     Pandangan Abdurrahman Wahid Tentang Nilai-Nilai Pluralisme Dalam Kehidupan Sosial Beragama
Istilah pluralisme berbeda dengan pluralitas yang menunjukan pada fakta adanya keragaman atau kemajemukan. Sedangkan pluralisme tidak hanya menunjukan pada makna banyak, jamak, multi kebhinakean, keberagaman atau keanekaragaman saja. Namun lebih menekankan pada sikap positif, yaitu kesediaan mengakui, menghormati dan menerima adanya perbedaan.[65]
Alwi Shihab menegaskan bahwa pluralisme agama adalah sikap keberagaman yang berbeda jauh dan tidak sama dengan kosmopolitanisme, relativisme dan sinkretisme.[66] Kosmopolitan menunjukan kepada suatu realita dimana keanekaragaman agama, ras dan suku bangsa hidup berdampingan di suatu wilayah. Misalnya di kota New York, kota ini adalah kota kosmopolitan yang didalamnya terdapat orang Yahudi, Nasrani, Islam, Hindu, Budha bahkan orang-orang yang tidak mempunyai agama sekalipun. Seakan seluruh dunia berada dikota ini. Namun sangat disayangkan masih terlalu minim interaksi positif antara penduduk di kota tersebut.
Sedangkan relativisme adalah pandangan bahwa hal-hal yang menyangkut “kebenaran” atau “nilai” ditentukan oleh padangan hidup serta kerangka berfikr seseorang atau masyarakatnya. Sebagai akibatnya makna doktrin agama apapun harus dinyatakan benar, tegasnya semua agama adalah sama. Karena kebenaran agama-agama walaupun berbeda-beda dan bertentangan satu dengan yang lainya tetap harus diterima. Oleh sebab itu, konsep atau paham ini tidak mengenal kebenaran absolute atau kebenaran abadi.
Pluralitas agama juga bukan pula sinkretisme. Sinkretisme dapat diartikan sebagai penciptaan suatu agama baru dengan memadukan unsur-unsur tertentu atau sebagian komponen ajaran dari beberapa agama untuk dijadikan bagian yang utuh dari agama baru tersebut.[67]
Dari keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa menurut Alwi Shihab pluralitas agama adalah paham keberagaman yang selalu terbuka dan interaktif secara produktif dengan penganut agama lain tanpa harus kehilangan jati diri akan agamanya sendiri. Maka dari dari itu seseorang harus memilikikomitmen dan keyakinan yang kuat terhadap agamanya tersebut, akan tetapi juga tidak menafikan adanya unsur kebenaran pada agama-agama lain.
Sehubungan dengan hal tersebut, maka yang yang perlu digariskan dalam hal ini adalah bahwa kerika konsep pluralitas agama ini hendak diterapkan di Indonesia. Secara tidak langsung ia harus bersyarat satu hal yaitu komitmen yang kokoh terhadap agama masing-masing. Seseorang yang pluralis dalam berinteraksi dengan keanekaragaman unsur masyarakat tidak saja dituntut untuk selalu membuka diri, belajar dan menghormati teman dialognya. Terlepas dari hal tersebut ia juga harus berkomitmen terhadap agama yang dianutnya. Karena denga sikap yang demikian, seseorang akan [68]terhindar dari paham relativisme dan sinkretisme.
Pluralis merupakan suatu sikap keberagaman yang memandang semua agama sejajar dalam lingkup sosial masyarakat. Sikap ini lahir merupakan bentuk keniscayaan di saat pola keberagaman agama, kultur, ras bersama-sama hidup dalam satu komunitas suatu wilayah. Dengan sikap dan kesadaran ini pula dapat memunculkan toleransi, kerukunan beragama, dialog beragama, kerjasama, solidaritas, persamaan dan tatanan politik yang demokratis.
Dalam pandangan Abdurrahman Wahid, sikap pluralis ini perlu dikembangkan untuk membina kerukunan antar umat beragama. Penerimaan secara teologis merupakan suatu yang signifikan ketika wacana tersebut dibawa dalam kerangka truth claim dalam beragama. Menurut Abdurrahman Wahid, bahwa perbedaan keyakinan secara teologis tidak akan menghalangi untuk bekerjasama antar Islam dengan pemeluk agama yang lainnya, terutama dalam menyangkut berbagai masalah kemanusiaan. Baginnya, sikap saling pengertian merupakan yang paling mendasar bagi umat beragama. Sehingga dapat bersama-sama melakukan refleksi diri dan bersama-sama menegakkan moralitas, keadilan dan perdamaian umat manusia.
Dengan menjaga dinamisasi keagamaan Abdurrahman Wahid menolak pliralitas indefferent, paham relativisme yang menganggap semua agama sama. Tetapi Abdurrahman Wahid menghargai pluralitas nonindefferent yang mengakui dan menghormati keberagaman agama. Kesamaan hak dan martabat semua penganut agama dan kepercayaan di bumi nusantara menjadi hal mutlak yang diayomi oleh pandangan inklusifnya.
Dalam bidang keagamaan, Abdurrahman Wahid meyakini Pancasila menjamin kebebasan beragama bukan hanya sebatas memeluk agama, tetapi juga mencakup peran “Etika Kemasyarakatan” agama di ruang publik.[69] Disinilah letak signifikansi sila pertama Pancasila. Sekedar kebebasan memeluk agama, nilai kedua, ketiga dan seterusnya sudah cukup menjamin. Keunikan sila pertama yaitu mendorong agama-agama menjalankan peran etika kemasyarakatan di ruang publik.
Abdurrahman Wahid mengatakan bahwa Islam tidak lagi cukup menjadi ekspresi keimanan sebagai muslim untuk menegakkan ajaran formal Islam belaka. Lebih dari itu harus menjadi bagian dari upaya kemanusiaan umum untuk membebaskan rakyat-rakyat yang tertindas dari belenggu kenistaan dan kehinaan yang menurunkan derajat sebagai makhluk mulia. Untuk itu dari gerakan-gerakan perlawana kultural kaum muslimin untuk terlebih dahulu mapu hidup bersama dengan manusia-manusia dari agama, ideologi, politik dan pandangan budaya yang memiliki kesamaan pandangan yang mendasar tentang hakikat tempat manusia dalam kahidupan dan cara-cara untuk mewujudkannya.[70]
Abdurrahman Wahid menolak dengan keras fatwa MUI yang telah mangharamkan pluralitas. Menurutnya, Indonesia bukan suatu negara yang didasarkan hanya pada satu agama tertentu. MUI bukan institusi yang berhak menentukan sesuatu hal benar atau salah. Menurutnya, pluralitas merupakan suatu keharusan bagi masyarakat majemuk ini.
Dengan fatwanya, MUI memperlihatkan adanya sikap yang tidak mau tahu dengan toleransi, yang sebenarnya menjadi inti dari kehidupan beragama yang serba majemuk di Indonesia. Hal ini berarti fatwa MUI membawa masalah baru dalam hubungan antar umat beragama di Indonesia. Pandangan serba sempit yang dimiliki MUI ini telah merugikan seluruh komponen bangsa. Menurut Abdurrahman Wahid, arogansi yang sudah diperlihatkan MUI telah menyadarkan kita agar tidak mudah tertipu terhadap sikap yang seolah-olah mewakili umat Islam itu.[71]

Dalam pernyataanya:
Kelompok minoritas seperti Kristen, Khatolik, Hindu, Budha, Konghuchu dan keyakinan atau kepercayaan diluar itu hanya ingin diperlakukan sebagaimana manusia umunya. UUD 1945 telah menjamin perlindungan bagi semua warga Negara tanpa pandang agama, etnis ataupun budayanya.[72]

Abdurrahman Wahid menekankan bahwa parameter utama untuk dapat memelihara keragaman adalah mengolah kemampuan toleransi. Beliau berkeyakinan bahwa memeknai ajaran agama tidak akan pernah lepas dari sisi kemanusiaan. Apabila nilai.nilai kemanusiaan diabaikan, aka nilai-nilai keagamaan yang benar akan hilang. Tentu dengan tetap meyakini kebenaran ajarannya.[73] Abdurrahman Wahid juga menegaskan pentingnya toleransi plus atau pluralitas dengan tidak hanya mempraktikkan pola kehidupan berdampingan secra damai saja (peaceful coexistence), karena demikian masih sangat rentan dengan kesalah-pahaman antar kelompok masyarakat dan antar kelompok agama yang pada akhirnya akan menimbulakan suatu disintegrasi bangsa yang akan berakibat pada adanya konflik atau kekerasan bernuansa SARA.
Dalam hal ini Abdurrahman Wahid memberikan pemikiran bahwa apa yang bisa diundangkan dalam hukum positif adalah sebatas sumber hukum yang telah mengalami obyektifikasi. Dalam proses pengakuan norma-norma hukum secara subyektif sebagai sesuatu yang bisa diterima masyarakat secara keseluruhan meskipun hukum itu berasal dari paham agama tertentu, harus sudah mengalami internalisasi di masyarakat.
Abdurrahman Wahid berpendapat bahwa Indonesia bukanlah  negara agama, bukan pula negara Islam, sehingga tidak perlu memberlakukan syariat Islam secara formal dan total. Indonesia adalah negara plural yang menampung berbagai agama bukan cuma Islam. Sehingga produk perundangannya tidak boleh ekslusif secara keseluruhan, tetapi menampung aspirasi agama-agama yang lain. Bagi Abdurrahman Wahid bahwa pandangan yang pluralis dan universal akan tercermin dalam monoteismenya (tauhid), hukumnya (fiqh), dan etikanya (akhlak). Komunitas keagamaan berhak melakukan mempromosikan nilai-nilai spiritual ataupun moral, mendamaikan, merekonstruksi sesuai dengan ajaran agama mereka sendiri. Selain itu, penganut agama diharapkan tetap kritis terhadap dirinya sendiri dan berupaya menghilangkan diskriminasi berdasarkan gender, ras, bahasa ataupun status sosial dalam masyarakat. Selain itu juga menghindari konspirasi atau pelanggaran kepentingan publik dan hak umum orang lain.[74]
Maka dengan demikian pemikiran Abdurrahman Wahid tentang pluralias tidak pernah mengada-ada. Karena beliau mempunyai sumber hukum yang kuat, sebab apa yang dilakukannya bertitik tolak dari pemahaman yang telah dijelaskan dalam Al Qur’an Surat Hujurat Ayat 13.[75]
Abdurrahman Wahid berada di barisan depan untuk memperkuat pluralitas di republik ini. Istimewanya, pluralitas yang dikembangkan Abdurrahman Wahid tidak hanya pada tataran pemikiran, melainkan menjadi sebuah tindakan atau nilai yang digunakan dalam memperjuangkan pluralitas agama di Indonesia. Karena bagi beliau agama Islam adalah rahmat bagi semesta alam. Maka dari itulah keislaman dan keindonesaan harus bisa berjalan beriringan.
1.      Sikap Toleransi Dalam Keberagaman
Bagi kelompok minoritas yang tertindas, Abdurrahman Wahid merupakan sosok kiai inklusif dan toleran yang tidak segan-segan mempertaruhkan citra dirinya untuk membela hak-hak mereka sebagai warga negara. Berkat perjuangannya, Abdurrahman Wahid dianugerahi Bapak Pluralisme. Etnis Tionghoa menganggap Abdurrahman Wahid bukan hanya sekedar mantan presiden Republik Indonesia, tetapi lebih dari itu mereka menganggap Abdurrahman Wahid sebagai pahlawan bagi kelompok mereka karena berkat Keppres Nomor 6/2000 yang dikeluarkannya, etnis Tionghoa di Indonesia merasaan kebebasan mengekspresikan budaya dan kepercayaan mereka di tengah masyarakat luas.
Abdurrahman Wahid menemukan prinsip toleransi yang diserap dari hadis Nabi bahwa pencari kebenaran hukum akan mendapatkan dua pahala jia benar dan mendapat satu pahala jika salah (man ijtahada fa ashoba fa lahu ajroni fa man ijtahada fa akhta’a fa ahu ajrun waahidun). Serta pada jargon toleransi Al-Syafi’i: “Pendapat kami benar tetapi mungkin salah, sedangkan pendapat kalian salah tetapi mungkin benar” (ro’yuna showabun yuhtamilu al-khoto’ wa ra’yu ghairina khata’un yuhtamilu al-showab).[76] Dunia pesantren telah memberikan banyak hal pada kehidupan serta pemikiran seorang Abdurrahman Wahid. Hal itu terbukti karena salah satu prinsip hidupnya telah ia temukan dalam dinding-dinding pesantren. Pada prinsip pertama memliki makna yang dalam bila kita cermati lebih dalam. Bahwasanya pencari kebenaran akan dihargai oleh Tuhan meskipun dia salah sekalipun. Maka dari itu, kita berkewajiban untuk menghargai segala pendapat yang ada. Suatu kebenaran pemikran manusia tidaklah absolut dan seseorang tidak boleh merasa benar sendiri sembari menyesatkan pendapat orang lain. Seorang Abdurrahman Wahid kurang setuju dengan sikap dogmatis dan fanatik. Sebaliknya ia lebih banyak belajar dari Al-Syafi’i tentang prinsip toleransi yang terbangun dari kerendahan hati yang didalamnya terdapat pengakuan salah pada dirinya sendiri.
Dalam banyak tulisan atau esai yang ditulis Abdurrahman Wahid kerap tapak dilengakapi dengan semboyan populer dikalangan dunnia pesantren yaitu “perbedaan umat Islam adalah rahmat”. Perbedaan seyogyanya tidak menyebabkan perpecahan dan permusuhan. Perbedaan justru merupakan kasih sayang yang muncul ditengah-tengah kebinakaan sebuah bangsa. Prinsip keislaman ini kemudian bersinergi dengan prinsip kebangsaan Bineka Tunggal Ika yang tidak mempersoalkan perbedaan agama, keyakinan, etnis, warna kulit dan posisi struktur sosial dalam masyarakat. Sikap toleransi Abdurrahman Wahid berakar dari penghayatan terhadap teks-teks inklusif Al-Qur’an. Allah berfirman bahwa “Tidak ada paksaan dalam agama.” (QS Al-Baqarah [2]: 256). “Untukmu agamamu dan untuku agamaku.” (QS Al-Kafirun [109]: 6). “Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselih pendapat.” (QS Hud [11]: 119). Ayat-ayat tersebut menjadi landasan toleransi seorang Abdurrahman Wahid.[77]
Pada kenyataannya di dalam Al-Qur’an pun jelas menegaskan bahwa suatu agama sekalipun bersifat privat yang tidak bisa diintervensikan atau dipaksakan antara satu dengan yang lain. Dari ayat-ayat tersebut juga telah jelas menerangkan bahwa keberagaman merupakan sebuah keniscayaan yang harus diterima manusia. Tuhan tidak berkehendak menjadikan umat manusiadalam satu keyakinan karena mereka senantiasa berbeda pendapat. Maka dari itu kesadaran untuk bersikap saling toleransi antara satu dengan yang lain perlu diterapkan sedini mungkin. Prinsip itulah yang seharusnya bisa ditanamkan dibenak generasi bangsa demi menyongsong perdamaian hidup berdampingan antarpemeluk agama dimuka bumi ini.
Cita-cita perdamaian seorang Abdurrahman Wahid didasari spirit multikulturalisme dan inklusivisme yang tergambar dalam Al-Qur’an. Allah berfirman, “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS Al-Hujurot [49]: 13). Bila kita menghayati  makna dari ayat ini secara mendalam maka kita akan semakin yakin bahwa keberagaman suku dan bangsa bukan untuk saling berperang satu sama lain, melainkan untuk saling toleransi, saling menghargai serta saling mengenal dalam dialog antarbudaya dan peradaban kehidupan. Setelah belajar nilai-nilai toleransi dari dunia pesantren kemudian Abdurrahman Wahid melanjutkan studinya di Universitas Al-Azhar Kairo dan Universitas Baghdad yang memungkinkannya berkenalan dengan gagasan-gagasan pembaharuan Islam yang berkembang di wilayah Timur Tengah. Al-Azhar merupakan universitas Islam tertua di dunia yang mengusung moderatisme (wasatiyah) dan toleransi (tasamuh). Moderatisme dan toleransi Al-Azhar tampak dalam pernyataan reformis Al-Azhar kenamaan, Muhammad Abduh,
            Jika seseorang mengeluarkan kata-kata yang mengandung kemungkunan kekufuran dari seratus sisi tetapi mengandung keimanan dari satu sisi saja, maka arahkan kata-kata itu kepada keimanan dan tidak boleh dikafirkan.[78]
Pemikiran Abdurrahman Wahid sekiranya sejalan dengan Muhammad Abduh yang menolak tentang pengafiran. Hal itu terbukti dalam kritik-kritiknya terhadap kelompok Islam garis keras yang mudah menyesatkan kelompok atau golongan lain. Abdurrahman Wahid menekankan untuk menjadi seorang Muslim yang toleran yang bisa bersikap inklusif dan terbuka kepada siapa saja. Seorang Muslim harus membersihkan hati dan pikirannya sehingga tidak mudah berburuk sangka kepada orang lain yang berbeda pendapat. Inilah langkah-langkah menjadi Muslim toleran.
2.      Mewujudkan Kerukunan Beragama
Adalah suatu kenyataan yang tidak bisa dipungkiri bahwa bumi kita ini hanya ada satu. Sementara manusia yang mendiaminya terdiri dari berbagai suku, etnis dan agama. Itulah sebabnya agama sering kali muncul dalam bentuk keragaman yang berbeda-beda. Dengan begitu, maka membayangkan hanya ada satu agama dalam kehidupan umat manusia adalah sesuatu yang tampaknya kurang relistis.
Agama bagi setiap pemeluknya memang merupakan petunjuk dari Tuhan. Namun kehidupan beragama tetaplah merupakan fenomena budaya ditengah masyarakat. Hal itu berarti manifestasi kberagaman seseorang mengambil dari tempat pelataran budaya yang berbeda. Sebagai  implikasinya, maka praktik keberagaman seseorang melahirkan bentuk-bentuk berbeda dan bahkan membuat pengelompokan-pengelompokan yang berbeda pula satu sama lain. Dengan agama masyarakat dapat bersatu dengan menciptakan suatu ikatan kelompok bagi agama mereka sendiri. Namun disisi lain kerap menciptakan jurang pemisahan dengan kelompok lain yang berbeda agama maupun berbeda golongan.
Fakta telah bercerita bagaimana ketidakserasian kehidupan yang beragam dan plural telah menjadi salah satu pemicu terjadinya berbagai konflik dan kekerasan yang ada di negeri ini. Untuk menciptakan keharmonisan hidup yang beragam dalam keagamaan, maka banga Indonesia harus melakukan upaya secara maksimal dalam menjaga kerukunan beragama. Upaya tersebut terbagi menjadi dua kelompok, yaitu: Pertama, upaya konstitusional dan politik, seperti terlihat di dalam penetapan undang-undang, peraturan dan sejumlah petunjuk mengenai penataan pluralitas itu. Kedua, membangun ketulusan pluralitas melalui penumbuhan kesadaran titik temu (kalimaun sawa’) di tingkat esoterik agama-agama secara tulus, untuk kemudian membangun harmonitas kehidupan.[79]
Secara konstitusional pemeliharaan kerukunan beragama bisa kita lihat pada UUD 1945 dan Pancasila. Dapat dilihat pula pada hasil Sidang Istimewa MPR RI 1998[80] yang merumuskan bahwa salah satu upaya reformasi bidang kehidupan beragama adalah “membina kerukunan anta-umat beragama serta pembentukan dan pemberdayaan jaringan kerja antar-umat beragama”. Lebih dari itu, UUD 1945 memberikan kebebasan bagi pemeluk agama-agama di negeri ini untuk melaksanakan ajaran agamanya masing-masing. Hal ini ditegaskan dalam Bab XI (agama) pasal 29 ayat 2 yang berbunyi : “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah sesuai dengan agamanya dan kepercayaannya itu”.[81]
Sebuah aturan perundang-undangan dalam suatu bangsa dibuat berdasarkan situasi dan kondisi bangsa tersebut. Begitu pula yang ada di tanah air kita. Sebuah Undang-Undang Dasar terlahir dari situasi dan kondisi masyarakat Indonesia yang pluralitstis dan beraneka ragam suku bangsa maupun agamanya. Sebelumnya negara Indonesia mengakui lima agama menjadi agama resmi dalam sebuah bangsa. Adapun lima agama tersebut meliputi agama Hindu, Budha, Islam, Katolik dan Protestan. Namun saat Abdurrahman Wahid menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia, beliau mengeluarkan peraturan pemerintah yang menetapkan Kong Hu Chu sebagai salah satu agama yang resmi bagi bangsa Indonesia, sehingga agama yang dilayani dan diakui secara resmi di Indonesia menjadi enam agama.
Abdurrahman Wahid merupakan sosok yang tegas dan disiplin dalam menentukan atau memutuskan sebuah permasalahan negara maupun agama. Abdurrahman Wahid membela umat Tionghoa agar masuk kedalam salah satu agama yang diakui bangsa Indonesia bukan dilatar belakangi oleh landasan teologisnya. Karena bila dilihat dari segi ketuhanan, agama Islam dengan Kong Hu Chu jelas sangatnya berbeda, baik secara hakikat maupun secara syariatnya. Keputusan itu di ambil atas dasar pengamalan Pancasila dan UUD 1945. Dalam pembukaan UUD 1945 disebutkan bahwa untuk memebentuk suatu pemerintahan negara Indonesia dan persatuan Indonesia. Kemudian daripada itu disebutkan pula Pancasila dalam pembukaan UUD 1945 guna menjadikan masyarakat yang majemuk itu dapat terbentuk menjadi satu bangsa yang utuh dan bersatu padu tanpa melihat perbedaan yang melatar belakangi masyarakat yang ada.
Baik Undang-Undang Dasar 1945 maupun Pancasila, keduanya adalah dasar negara Indonesia yang tidak akan pernah tergantikan. Seperti yang dikatakan Abdurrahman Wahid mengenai penerapan Pancasila:
Pancasila adalah serangkaian prinsip-prinsip yang bersifat lestari. Ia memuat ide yang baik tentang hidup bernegara yang mutlak diperjuangkan. Saya akan mempertahankan Pancasila yang murni dengan jiwa raga saya. Terlepas dari kenyataan bahwa ia tidak jarang dikebiri atau dimanipulasi, baik oleh segelontir tentara maupun sekelompok umat Islam. Tanpa Pancasila, Negara Republik Indonesia tidak akan pernah ada.[82]

Namun sayangnya, permasalahan kerap muncul dari dalam Islam sendiri. Dalam tubuh Islam terdapat skat-skat perbedaan antara kelompok satu dengan yang lain. Hal itu terbukti dengan maraknya konflik atau kekerasan dalam Islam hanya dikarenakan perbedaan ideologi dan prinsip dari masing-masing kelompok. Sekelompok orang bersikeras berusaha mempertahankan ideologi kelompoknya sendiri, dan tak jarang mereka memaksa kelompok lain untuk mengikutinya. Dari sinilah awal mula  suatu konflik atau kekerasan terjadi.
Menanggapi permasalahan tersebut, Abdurrahman Wahid menyikapinya dengan cara cermat. Beliau masih mempertahankan prinsip demokrasi, pluralisme, dan humanisme. Seseorang yang pernah mengalami dan merasakan perjalanan religius tentu saja tidak akan pernah dirasakan dan dialami orang lain atau kelompok lain. Artinya setiap orang atau kelompok akan mengalami pengembaraan mereka sendiri. Pengalaman pribadi orang tidak akan pernah sama dengan pengalaman orang lain. Dari kenyataan inilah, maka Abdurrahman Wahid menyimpulakan bahwa Islam yang dipikirkan dan dialaminya adalah sesuatu yang khas yang disebut “Islamku”.[83] Dan orang lain tidak berhak untuk memaksa agar bisa sama, karena apa yang dirasakan dan dialami setiap orang pastilah berbeda. Kalau pandangan ini dipaksakan juga, akan terjadi dislokasi pada diri orang lain yang justru akan membunuh keindahan semula dari pandangannya sendiri.
Hampir tidak ada satupun agama yang mengajarkan umatnya untuk saling melukai satu sama lain. Pada dasarnya setiap ajaran agama mengajarkan kebaikan. Mengajarkan seseorang untuk saling menghargai dan menjaga antar sesama manusia. Sudah sepantasnya kita hidup di negeri yang majemuk ini, yang memiliki keberagaman etnis, ras, bahasa serta agama untuk saling menjaga kelestariannya. Jadikanlah perbedaan ini sebagai rahmat Tuhan untuk kita semua. Dengan adanya perbedaan ini justru kita jadi bisa belajar dan berinteraksi satu sama lain.
Jika Tuhan memberikan kebebasan untuk memilih jalan hidup bagi seseorang, maka kita tidak memiliki otoritas apapun untuk memaksa seseorang untuk mengikuti agama tertentu. Bukan nama agama yang dipermasalahkan. Bukan pula ajaran agama yang disalahkan. Akan tetapi perilaku kita yang harus diutamakan.
Karen Armstrong pun kesulitan mendefinisikan sebuah kata yang bernama agama. Dalam bukunya “Sejarah Tuhan”, ia menuliskan definisi agama berdasarkan Philosopical Dictionary yang dikarang oleh Francois-Marie de Voltaire,[84] sebagai berikut: “Bukankah itu agama yang banyak mengajarkan moralitas dan sangat sedikit dogma? Yang condong membuat manusia menjadi adil dan tidak membuat mereka bodoh? Yang tidak memerintahkan orang untuk meyakini sesuatu yang mustahil, bertentangan, merusak nilai-nilai ketuhanan, dan berbahaya bagi umat manusia,  dan tidak mengancam dengan hukuman kepada siapa saja yang memiliki akal sehat? Bukankah itu agama yang tidak menegakkan ajarannya melalui pemaksaan dan tidak menggenangi bumi dengan darah? Bukanya agama yang hannya mengajarkan pengabdian kepada suatu Ilahi, kepada keadilan, toleransi dan kemanusiaan?

B.     Pandangan Abdurrahman Wahid Tentang Nilai-Nilai Humanisme Dalam Kehidupan Beragama
Sebagai pejuang reformis, Abdurrahman Wahid selalu ingat akan gagasan universal bahwa kita menghargai keajemukan melalui ucapan, sikap dan perbuatan. Abdurrahman Wahid menyadarkan sekaligus melembagakan penghormatan kita pada kemajemukan ide dan identitas, kemajemukan pada kepercayaan agama, etnik dan kedaerahan. Mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan bagi Abdurrahman Wahid, tidaklah dianggap melawan logika ajaran agam. Nilai kemanusiaan (Humanisme) adalah salah satu inti dari ajaran agama. Tidak ada agama yang tidak mengajarkan penghormatan atas nilai-nilai tersebut.
Selanjutnya, dari wawasan humanisme kita bisa melihat mengapa Abdurrahman Wahid begitu akrab dengan kelompok-kelompok diluar Islam. Keterlibatannya dalam fordem dan keterbukaanya dalam memenuhi undangan, tidak terkecuali dari penganut agama lain. Berdasarkan pemahaman ini, menjadi wajar pula bila Abdurrahman Wahid sangat menolak sikap bentuk kekerasan apalagi didalamnya  berdimensi agama. Masih ingat kasus konflik berdarah di Ambon serta Kupang, yang ditolaknya adalah perlibatan agama untuk melakukan kekerasan didalam koflik tersebut.
Kasus Ahmadiyah dengan berpegang pada UUD 1945 yang menjamin kebebasan memeluk dan menjalankan keyakinan bagi seluruh warga negara tanpa terkecuali. Abdurrahman Wahid menegaskan, dari segi keyakinan dirinya jelas berbeda dengan pengikut Ahmadiyah, namun sebagai warga negara ia harus menaati konstitusi. Abdurrahman Wahid membela Ahmadiyah dan menolak keras aksi kekerasan terhadap mereka yang melakukan kekerasan. Kebenciannya terhadap kekerasan dan terorisme terlihat pula pada kecaman kerasnya terhadap penggunaan kekerasan oleh kaum Islam radikal.[85]
Dari segi kultural, Abdurrahman Wahid melintasi tiga model lapisan budaya. Pertama, Abdurrahman Wahid bersentuhan dengan kultur pesantren yang sangat hierarkis, tertutup dan penuh dengan etika yang  serba formal. Kedua, dunia Timur Tengah yang terbuka dan keras. Ketiga, budaya Barat yang liberal, rasional dan sekuler. Kesemuanya itu tampaknya masuk dalam pribadi membentuk sinergi. Hampir tidak ada pengaruh yang dominan dalam membentuk kepribadian Abdurrahman Wahid. Hal itulah yang menyebabkan Abdurrahman Wahid selalu kelihatan dinamis dan tekadang sulit untuk dipahami.[86]
Kasus etnis Tiong Hoa dan agama Kong Hu Chu yang berupa peristiwa gugatan pasangan Tiong Hoa yang tidak di akui perkawinannya. Dalam sidang pengadilan tersebut Abdurrahman Wahid datang memberikan dukungan moral terhadap kedua pasangan tersebut. Walaupun dalam kasus ini kalah, namun dengan peristiwa ini setidaknya Abdurrahman Wahid menunjukan perhatiannya terhadap kalangan minoritas. Ketika penganut Kong Hu Chu mencoba  memperoleh pengakuan pemerintah pada tahun 1996, Abdurrahman Wahid  mengatakan bahwa jika pemerintah tidak mengakui Kong Hu Chu sebagai agama itu sama artinya dengan anti historis. Baginya permintaan Kong Hu Chu sebagai hal yang  wajar sebagai bagian dari kebebasan warga Negara. Abdurrahman Wahid melihat dari sudut pandang kebebasan bernegara, bukan melihatnya sebagai ancaman bagi agama Islam.[87]
Peristiwa penting yang perlu di catat untuk menunjukan sikap kontranya terhadap diskriminasi dan lebih berfikiran universal adalah terbitnya Kepres No. 6/2000 yang memperbolehkan etnis Tionghoa untuk mengekspresikan kebudayaannya termasuk kebebasan menjalankan keyakinannya. Hal inilah yang mengilhami dinobatkannya Abdurrahman Wahid  sebagai “Bapak Tionghoa” pada tahun 2004, terlepas dari ada tidaknya nuansa politik pada waktu itu.
Kemudian yang menjadi catatan berikutnya adalah ketika mencuat kasus Goyang Ngebor Inul Daratisa. Inul dihujat sejumlah kalangan termasuk para ulama dan seniman yang mengaggap goyang ngebornya melanggar batas-batas kesusilaan umum. Di tengah kontroversi tersebut Abdurrahman Wahid melindungi dan membela Inul dengan di dasarkan pada melindungi hak asasi wong cilik bernama Inul dari hegemoni elit keagamaan dan klaim atas moralitas kesenian yang agak represif.
Selanjutnya kasus Ulil Absor Abdalla,[88] Abdurrahman Wahid tanpa ragu membela intelektual muda NU ini yang juga tokoh muda Islam Liberal. Seperti di ketahui, sejumlah ulama dan aktifis Islam tertentu menilai pemikiran Ulil Absor telah sesat dan keluar dari Islam. Maka dari itu mereka meminta untuk menghukum mati Ulil Absor. Yang lebih menarik lagi bahwasanya sejumlah tokoh NU sendiri ada yang menganggap Ulil sesat. Menanggapi kecaman terhadap Ulil, Abdurrahman Wahid berprinsip bahwa perbeadaan pendapat harus dihargai dan tidak seharusnya melahirkan kekerasan dan ancaman. Menurut Abdurrahman Wahid, Ulil Absor adalah tokoh yang berhasil menekankan bahwa kebebasan  berfikir adalah sebuah keniscayaan dalam Islam. Oleh karena itu Abdurrahman Wahid mengkritik keras mereka yanng dengan gampang melayangkan tuduhan yang berat terhadap Ulil Absor dan mengatakan bahwa fatwa hukuman mati tersebut sama sekali tidak mendasar.[89]
1.      Sikap Kasih Sayang Pada Semua
Islam adalah agama suka damai, berbesar hati, murah dalam pengampunan, dan kaya akan kesayangan dan kasih. Begitu menyedihkan jika melihat banyak kasus-kasus yang tak kenal toleransi dan masih adanya orang-orang yang menamakan diri Muslimin tetapi mempraktikkan teror, suka main senjata dan sempit jiwa, karena hal itu merusak citra Islam tadi yang sebenarnya amat toleran, suka damai, penuh pengampunan dan pengasih.[90]
Tema yang paling muncul dalam tulisan Abdurrahman Wahid adalah bahwa Islam adalah keyakinan yang menebar kasih sayang, yang secara mendasar menghargai perbedaan. Bagi Abdurrahman Wahid, Islam adalah agama kasih sayang sekalius agama keadilan dan kejujuran. Artinya Islam adalah keyakinan yang egaliter, keyakinan yang secara fundamental tidak mendukung perlakuan yang tidak adil karena alasan kelas, suku, ras, gender atau pegelompokan-pengelompokan lainnya dalam masyarakat. Bagi Abdurrahman Wahid, Islam adalah keimanan yang mengakui bahwa dalam pandangan Tuhan semua manusia adalah setara. Bagian dari keyakinan mendasar Abdurrahman Wahid adalah bahwa nilai-nilai yang mendasari demokrasi dan liberalisme adalah nilai-nilai universalisme.[91]
Abdurrahman Wahid adalah orang yang konsisten dengan prinsip-prinsipnya. Prinsip-prinsip itu berakar pada pemahamannya terhadap Islam liberal, yaitu pemahamannya yang menekankan pada rahmat, pengampunan, kasih sayang Tuhan dan keharusan kita untuk mengikuti sifat-sifat ini dalam kehidupan sehari-hari, terutama dalam kehidupan beragama.[92]
Abdurrahman Wahid memang sudah lama dikenal sebagai pembela orang yang lemah dan selama berpuluhh-puluh tahun ia adalah orang yang terus terang, sering mempertaruhkan reputasi persoal yang cukup besar, dalam membela kelompok yang orang lain enggan membelaya. Komitmen pada sikap keterbukaan, kasih sayang dan pembebasan dalam hubungan atntar golongan maupun antar iman sekalipun merupakan salah satu idntitas Abdurrahman Wahid dalam memandang kehidupan publik baik religius maupun politik dalam amsyarakat luas.
Salah satu tugas utama zaman kita ini tidak lain adalah untuk membangun sebuah komunias global didalamnya semua orang dapat hidup bersama dalam sikap saling menghormati. Namun agama yang seharusnya memberi konstribusi besar justru dianggap bagian dari masalah. Masing-masing agama telah merumuskan versinya sendiri dari apa yang disebut sebagai Kaidah Emas:”Jangan perlakukan orang lain dengan cara yang tidak kita inginkan untuk diri kita sendiri” atau dalam bentuk lain berbunyi: “Selalu perlakukan orang lain sebagaimana yang kita inginkan untuk diri kita sendiri.” Lebih jauh lagi, hampir semua agama setuju untuk tdak membatasi kasih sayang kita hanya kepada kelompok kita sendiri. Kita harus memiliki kepedulian untuk semua orang bahkan musuh-musuh kita sekalipun. Namun sayangnya, belakangan ini kita kerap mendengar opini-opini publik yang mengatakan bahwa agama sudah menjadi penyebab seluruh kekerasan yang ada dibelahan dunia ini. Akan tetapi pada kenyataannya, penyebab konflik atau kekerasan tersebut biasanya disebabkan karena ketamakan, kebencian dan ambisi seorang individu atau kelompok. Tetapi dalam upaya mensterilkannya, emosi-emosi yang memperturutkan nafsu sendiri ini kerap dibungkus dalam retorika sebuah agama.
Karen Armstrong seorang tokoh dari barat yang berjuang untuk peradamaian dunia membuat gagasan untuk menciptakan sebuah Piagam Belas Kasih atau yang biasa disebut Charter for Compassion. Piagam tersebut ditulis oleh para pemikir terkemuka dari berbagai negara besar dan akan mengembalikan nilai kasih dan sayang sebagai inti kehidupan religius dan moral. Piagam itu nantinya akan melawan suara-suara ekstrimisme, intoleransi dan kebencian. Piagam itu akan menunjukan bahwa meskipun kita semua sangat berbeda-beda, kita semua sepakat bahwa satu hal ini adalah mungkin untuk menjembatani perbedaan itu dan bekerja sama untuk keadilan dan perdamaian. Peresmian Piagam Belas Kasih ini diresmiakan di Swiss pada tahun 2009 kemudian diluncurkan diberbagai negara di seluruh dunia. Adapun isi dari Charter for Compassion (Piagam Belas Kasih) adalah sebagai berikut :
Prinsip kasih dan sayang yang bersemaya di dalam jantung seluruh agama, etika dan tradisi spiritual, mengibau kita untuk selalu memperlakukan semua orang lain sebagaimana kita sendiri ingin diperlakukan.
Belas kasih mendorong kita untuk bekerja tanpa lelah menghapuskan penderitaan sesama manusia, melengserkan diri kita sendiri dari pusat dunia kita dan meletakkan orang la di sana, serta menghormai kesucian setiap manusia lain, memperlakukan setiap orang, tanpa kecuali dengan keadilan, kesetaraan dan kehormatan mutlak.
Dalam kehidupan publik maupun pribadi pun penting untuk konsisten dan empatik mencegah apa-apa yang menyebabkan penderitaan. Bertindak atau berbicara secara kasar karena kebencian, kepentigan sendiri, nuntu memiskinkan, mengeksploitasi atau mencabut hak-hak dasar dari siapa pun dan mengahasut kebencian dengan merendahkan orang lain-musuh sekalipun-merupakan penyangkalan kemanusiaan kita bersama.
Kami mengakui bahwa kami telah gagal untuk hidup secara berbelas kasih dan bahwa sebagian bahkan telah meningkatkan jumlah penderitaan manusia atas nama agama.
Kami dengan demikian menyerukan kepada seluruh laki-laki dan perempuan :
¾    Untuk mengembalikan belas kasih ke pusat moralitas dan agama.
¾    Untuk kebali pada prinsip kuno bahwa setiap interpretasi atas kitab suci yang menyuburkan kekerasan, kebencian atau kebejatan adalah tidak sah.
¾    Untuk memastikan bahwa kaum muda diberi informasi akurat dan penuh rasa hormat mengenai tradisi, agama dan budaya lain.
¾    Untuk mendukung apresiasi positif atas keragaman budaya dan agama.
¾    Untuk menumuhkan empati yang cerdas atas penderitaan manusia-bahkan mereka yang dianggap sebagai musuh.
Kita perlu dengan menjadikan belas kasih sebuah kekuatan yang jelas, bercahaya dan dinamis di dunia kita yang terpolarisasi. Berakar dalam tekad yang berprinsip mengatasi keegoisan, belas kasih dapat menembus batas-batas politik, dogmatis, ideologi dan agama. Lahir dari saling kebegantungan kita yang menadalam, kasih sayang adalah penting bagi hubungan manusia dan bagi kemanusiaan paripurna. Ini adalah jalan menuju pencerahan, dan sangat diperlukan untuk mencitakan ekonomi yang adil dan komunitas global yang damai.[93]

2.      Mewujudkan Soleh Normatif dan Sosial
Dalam kehidupan beragama, sering kita jumpai bahwa iman dan amal tampak tidak berimbang. Penghayatan nilai-nilai keimanan sering terpisahkan dengan nilai-nilai amalnya. Hal ini disebabkan dalam merumuskan keimanan, seorang beragama jarang mengaitkan dengan urusan sosialnya. Sesungguhnya urusan sosial tersebut merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari iman itu sendiri. Sementara itu disisi lain kerapkali terjadi kontradiksi atau gap antara antara nilai iman dan nilai amal. Padahal, pada dasarnya agama diyakini pemeluknya sebagai pembawa rahmat dan penyelamat umat dan secara normatif agama juga dianggap kontrol sosial, edukatif dan pemersatu umat di tengah masyarakat luas.
Secara normatif agama selalu mengajarkan harmoni dan kasih sayang. Jika dicermati secara serius, sesungguhnya inti agama adalah iman dan amal. Iman harus kokoh dan dibangun lebih dahulu. Sebab jika tidak, akan menggoyahkan sendi-sendi kehidupan manusia. Iman yang benar pasti melahirkan perbuatan dan sikap tingkah laku yang positif (amal salih). Sebab percaya kepada Tuhan berarti patuh dengan semua aturan-aturan-Nya. Dengan demikian, iman dan amal harus integrated dalam diri manusia beragama.[94]
Dalam kehidupan sehari-hari dapat kita saksiakan dala keberagaman kita, bahwa antara iman dan amal saleh tapak tidak berimbang. Dengan kata lain, penghayatan dalam nilai-nilai keimanan sering terpisahkan dengan peran sosial agama. Hal ini disebabkan di satu pihak dalam merumuskan pengertian iman dalam agama tidak mempertautkan dengan kondisi sosial sebagai gambaran implikasi secara praktis. Akibatnya, dari ketidakseimbangan antara amal dan iman memunculkan kritik terhadap agama dan pemeluknya. Yang terjadi adalah agama mempunyai image kurang positif. Itu disebabkan karena seseorang hanya egois, individualis dan hanya memperhatikan praktik ritual keagamaan tanpa melihat situasi dan kondisi tatanan masyarakat yang membutuhkan.
Lalu bagaimana cara kita mendapatkan keduanya? Berperilaku adil dan seimbang antara iman dan amal saleh. Abdurrahman Wahid mengatakan bahwa sebagai jalan menuju Tuhan, perjuangan sosio-kultural untuk membangun sistem yang menyejahterakan rakyat (hablun minannas) secara keseluruhan merupakan jalan tertinggi dan lebih cepat sampai kepada Tuhan daripada melalui jalan ritual-individualistik (hablun minallah) semata. Oleh karena itu, sebagai mana yang pernah kita tahu Abdurrahman Wahid pernah melontarkan gagasan perlunya umat Islam segera melengkapi sistem “Rukun Iman” dan “Rukun Islam” yang sudah sangat mapan itu dengan merumuskan dan mngajarkan “Rukun Sosial” yang masih rapuh di kalangan umat Islam. Dengan kata lain, Abdurrahman Wahid merekomendasikan suatu rekonstruksi sistem Etika Sosial Islam dan memberinya status yang sejajar dengan Rukun Iman dan Rukun Islam, agar keberadaan umat Islam bisa benar-benar menjadi rahmat bagi rakyat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.[95]
Namun kenyataanya berbalik dengan apa yang diharapkan. Menurut Budiman, sebuah agama bisa terseret dalam kasus konflik atau kekerasan ditanah air karena agama diinstitusikan.[96]  Apabila sebuah agama telah berubah menjadi sebuah organisasi sekelompok orang, maka ia akan dituntut untuk bersaing dengan kelompok atau agama lain. Konflik yang terjadi dalam hal ini bukan karena perbedaan konsep normatif yang diajarkan masing-masing agama. Melainkan organisasi agama tersebut yang terus bersaing mendapatkan apa yang menjadi tujuan organisasai tersebut. Apabila hati nurani sudah tertutup akan sebuah kepentingan kelompok, maka bukan tidak mungkin mereka akan menghalalkan segala cara untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan.
Abdurrahman Wahid merupakan sosok tokoh Islam Indonesia sebagai perintis dan penggerak ortopraktis. Artinya adalah konfigurasi antara nilai-nilai normatif dan reaktualisasi ajaran agama yang dibutuhkan dalam masyarakat era global ini. Disinilah kita bisa melihat kesejajaran yang menggembirakan dengan apa yang diharapkan dan dibahas oleh inisiator utama Konsili Vatikan II, Paus Yohanes XXIII dalam ajakannya mencari aggiornamento (meng-up-to-date-kan, merelevansikan atau mengaktualisasikan) hazanah iman, harapan dan cinta kasih kristiani Gereja Katholik Roma dalam dinamika perubahan zaman sekarang ini.[97]
Pola pikir yang dilandasi dari nilai kemanusiaan yang tinggi telah melahirkan gagasan universalnya dalam Islam. Abdurrahman Wahid menegaskan bahwa harus ada keseimbangan antara hubungan kita dengan Tuhan (hablu minallah) dan hubungan kita dengan sesama manusia (hablu minannas). Sebuah ajaran normatif dalam Islam haruslah dapat diterapkan dalam kehidupan dewasa ini. Hal itu harus disesuaikan dengan kehidupan sosio-cultur yang ada ditengah masyarakat. Agar tidak terjadi kesenjangan antara apa yang telah diajarkan dalam Islam dengan apa yang ada ditengah masyarakat luas. Sementara itu, inklusivisme dalam Islam tercermin dari ajaran Islam yang bersifat universal. Artinya sebuah ajaran agama yang menampilkan kepedulian yang sangat besar terhadap unsur-unsur kemanusiaan. Kemudian diimbangi pula dengan kearifan yang muncul dari keterbukaan dari dalam diri tanpa kehilangan jati diri keislaman dan keindonesiaan.

C.     Aktualisasi Nilai-nilai Islam Inklusif Abdurrahman Wahid dalam Pendidikan Islam
Dalam agama Islam, kaum Muslimin mempunyai tugas untuk menyebarkan agama mereka serta menegakkan hukum Allah di bumi-Nya.[98] Dapat dimaknai secara umum terdapat dua perintah pokok dalam pendidikan Islam yaitu: amar ma’ruf nahi munkar. Namun disamping itu dalam pendidikan Islam tidak ada paksaan untuk masuk ke dalam agama Islam itu sendiri. Dalam Islam pun melarang kaumnya untuk mengajak orang lain masuk Islam dengan jalan kekerasan, apalagi dengan jalan peperangan bahkan sampai membunuh. Untuk itu diperlukan konsep teologi kerukunan antar umat beragama dalam sistem pendidikan yang ada di Indonesia.
Nilai-nilai Islam yang bersifat inklusif dapat diaplikasikan dalam sistem pendidikan Islam berparadigma inklusif. Berangkat dari pemikiran  inklusifnya, Abdurrahman Wahid memandang pendidikan islam merupakan suatu sistem nilai universal untuk membentuk kepribadian anak yang sholeh, kritis terhadap realitas yang tidak adil, menghargai plualitas serta peduli terhadap nilai kemanusiaan. Pendidikan Islam diharapkan mampu menyesuaikan dengan nilai modernisasi yang berbasis ilmu pengetahuan. Adapun tujuan Pendidikan Islam menurut Abdurrahman Wahid adalah untuk menyempurnakan kepribadian anak sesuai dengan tuntutan agama dan berakhlak universal. Dalam konteks yang lebih luas tujuan pendidikan Islam membentuk pribadi yang kritis yang peduli terhadap pluralitas sosial, hak asasi manusia, sadar terhadap hak-hak publik dan taat pada hukum negara.[99]
Nilai-nilai pluralisme Abdurrahman Wahid adalah pandangan yang menekankan keterbukaan untuk menemukan kebenaran dimanapun juga.[100] Pluralisme yang ditekankannya adalah dalam bertindak dan berpikir yang pada akhirnya akan melahirkan sikap toleransi dan akan tercipta kerukunnan beragama didalam kehidupan bermasyarakat. Sikap toleran tidak tergantung pada tingginya tingkat pendidikan formal atau kepintaran pemikiran secara ilmiah, tetepi persoalan hati dan perilaku.
Pendidikan Islam disamping mengutamakan proses potensi, menurut H.M. Arifin juga dipentingkan nilai-nilai Islam demi terbentuknya kepribadian muslim, lebih lanjut ia mengatakan, pendidikan Islam sebagai sistem yang dapat memberikan kemampuan seseorang untuk memimpin kehidupannya sesuai dengan cita-cita Islam, sebagaimana nilai-nilai Islam yang menjiwai dan mewarnai corak kepribadiannya.[101]
Nilai-nilai yang diajarkan dalam pendidikan Islam merupakan nilai-nilai yang berdiensi ilahiyah dan insaniyah. Nilai pertama, mengajarkan bagaimana hubungan manusia dengan sang pencipta. Sedangkan nilai yang kedua menekankan pola hubungan manusia dengan sesama dan alam sekitar. Dengan adanya kombinasi dua nilai tersebut maka diharapkan akan terbentuk seorang siswa atau individu yang mempunyai sikap kesholehan normatif dan kearifan sosial.
Adalah  menarik bahwa ide kerukunan antar umat beragama di masa orde baru merupakan program pemerintah. Hal ini mengidentifikasikan bahwa pemerintah membimbing umat beragama untuk hidup toleran, rukun dan damai dibawah payung Negara Kesatuan Republik Indonesia. Bentuk itu sendiri dituangkan dalam program yang disebut trilogy kerukunan, yakni:[102] 1) kerukunan intern umat beragama, 2) kerukunan antar umat beragama, 3) kerukunan antar umat beragama dan pemerintah.
Pembaharuan pendidikan Islam  merupakan pembahasan yang penting dalam sistem pendidikan khususnya yang ada di Indonesia. Tidak  bisa dipungkiri Indonesia adalah negara yang majemuk yang mempunyai keragaman suku, ras, etnis dan juga agama. Maka dari itu diperlukan suatu sistem pendidikan yang bisa menjadi wadah itu semua untuk membawa pada kemajuan bangsa. Melalui pendidikan Islam inklusif ini diharapkan pembaharuan pendidikan Islam akan berjalan. Pembaharuan pendidikan Islam yaitu ajaran-ajaran Islam harus diutamakan, dan kaum muslimin harus dididik mengenai ajaran-ajaran tersebut. Yang perlu diubah atau diperbaharui adalah cara penyampaiannya kepada peserta didik. Dengan hal itu mereka akan mampu memahami dan mempertahankan kebenaran yang ada dalam agama Islam, tanpa terpengaruh dogma-dogma yang ada pada agama lain. Bahwa hal ini memiliki validitas sendiri, dapat dilihat dari kesungguhan anak-anak muda muslimnin terpelajar, untuk menerapkan apa yang mereka anggap sebagai ajaran-ajaran yang benar tentang Islam.
Begitu juga semangat menjalankan ajaran agama Islam, datangnya lebih banyak dari komunikasi di luar sekolah seperti halnya di tengah masyarakat luas. Dengan kata lain, pendidikan Islam tidak hanya disampaikan dalam ajaran-ajaran formal Islam di sekolah-sekolah agama/madrasah belaka, melainkan juga sekolah-sekolah non keagamaan sekalipun diluar sana.
Dialog antar umat beragama secara terbatas hanya melibatkan tokoh-tokoh elit organisasi keagamaan, fungsionaris yang berwenang dalam lembaga keagamaan, tokoh-tokoh masyarakat yang dianggap terpandang. Namun yang sangat disayangkan yaitu masih sangat jarang sekali forum-forum dialog ini melibatkan guru-guru khususnya guru agama. Guru agama merupakan ujung tombak pendidikan agama Islam dari tingkat Taman Kanak-kanak (TK) sampai ke tingkat Perguruan Tinggi sekalipun nyaris tidak tersentuh oleh gelombang pergumulan pemikiran dan diskursus pemikiran keagamaan diseputar isu pluralitas dan dialog antar umat beragama selama hampir 30 tahun terakhir.[103]
Khusus mengenai guru-guru sebagai sosialisasi perlu diberi pemahaman. Guru harus menjadi pengajar dan pendidik, selain itu juga harus menjadi teladan penghayatan nilai.[104] Pengakuan terhadap pluralitas data digali dalam al-Qur’an, yang menuntut pandangan egalitarianisme.[105] yang tecantum dalam ayat-ayat al Qur’an yang menegaskan kedudukan manusia diatas bumi sebagai khalifah. Yang paling pokok dalam konteks ini adalah adanya prinsip kesatuan umat manusia ditengah-tengah pluralitas yang digariskan Allah SWT serta sikap humanis terhadap sesama dalam masyarakat luas tanpa melihat segala perbedaan yang ada. Maka dari itu, sebagai muslim yang baik  tidaklah akan terlintas dalam benak pikirannya mereka untuk memaksa manusia lain agar mereka masuk agama Islam.  Selain menjunjung nilai-nilai humanisme, Allah sendiri pun menghendaki pluralitas agama di muka bumi ini sperti yang telah difrimankan dalam Al-Qur’an.[106]
Seperti yang kita ketahui bahwa di negara kita terdapat 6 agama yang diakui secara resmi, yaitu Islam, Kristen,  Khatolik, Hindu, Budha dan Konghuchu. Dari keenam agama yang ada di Indonesia ini, agama Islam merupakan mayoritas yang dipeluk ditanah air ini. Kemajemukan yang ada dalam republik ini bukan hanya dalam banyaknya suku, bahasa, ras maupun budaya, melainkan hingga segi agama yang menyangkut kepercayaan seorang manusia. Walaupun kita juga tidak bisa menafikan bahwa berbagai perbedaan dan kemajemukan tersebut menjadi salah satu faktor munculnya sejumlah konflik yang ada di Indonesia.
Kemajemukan yang tumbuh subur di negeri ini, termasuk didalamnya terdapat perbedaan agama adalah suatu relitas sosial yang harus kita terima. Berbagai perbedaan ini bila disikapi secara bijak dengan cara mengaktualisasi dalam kehidupan sehari-hari maka niscaya akan menciptakan tatanan masyarakat yang damai. Dengan menjunjung tinggi nilai-nilai toleransi dan kerukunan beragama. Serta menumbuhkan nilai-nilai kasih sayang terhadap sesama maka akan terjalin sebuah hubungan yang harmonis dalam kehidupan. Sebuah kehidupan yang harmonis adalah ketika terjadi keseimbangan antara urusan ketuhanan (Ibadah) dan kemanusiaan (muamalah).
Kemajemukan bukanlah faktor yang melemahkan pilar kesatuan bangsa, tetapi kemajemukan tersebut menjadi pilar penguat yang seharusnya mampu menyatukan berbagai elemen dan merekat mmenjadi suatu yang indah dalam kehidupan untuk kita nikmati bersama.
Namuin tidak bisa dipungkiri bahwa sejarah pernah mencatat peristiwa buruk tentang keberagaman. Tidak hanya sekali praktek keagamaan kaum muslimin menimbulkan ketegangan antara satu kelompok dengan kelompok lain. Bahkan tidak jarang ketegangan itu berujung pada tindak kekerasan yang beraibat perselisihan dan perpecahan.
Nucholis Madjid menambahkan bahwa keberagaman tidak serta dapat melahirkan sikap positif, misalnya sikap saling menghormati dan toleransi, jika tidak didukung oleh sikap terbuka untuk menerima perbedaan dalam beragama itu.[107] Ketegangan-ketegangan yang muncul sepanjang perjalanan sejarah umat Islam yang diakibatkan oleh perbedaan agama, dapat dipastikan berpangkal pada tidak adanya sikap keterbukaan dalam suasana pluralitas agama serta minimnya nilai humanis dalam diri manusia tersebut. Untuk menumbuhkan keterbukaan barangkali tidak semudah membalikan telapak tangan. Ketegangan dalam perbedaan agama tersebut tidak semata-mata muncul karena masalah pemahaman saja, tetapi sering tersamar bercampur dengan unsur-unsur diluar permasalahan tersebut. Unsur-unsur luar itu yang kemudian disebut “Kepentinngan Tertanam”, baik pribadi maupun kelompok.
Pendidikan Islam berparadigma inklusif diharapkan mampu mengubah pemahaman dan penghayatan keislaman masyarakat muslim Indonesia khususnya dan masyarakat beragama pada umumnya. Sikap eklusivisme perlu diubah menjadi sikap inklusivisme dan universalisme. Dengan hal tersebut diharapkan dapat melahirkan suatu generasi yang siap toleran (Tasamuh) dan menyayangi satu sama salin dalam beragama sehingga tidak melahirkan muslim yang ekstrem, yang membalas kekerasan agama dengan kekerasan pula.
Dalam hal ini, pendidikan Islam dapat dibanggakan dan diandalkan sebagai:[108] pertama, kekuatan spiritual masyarakat bangsa  yang dianggap mampu menjadikan masyarakat sebagai manusia yang adil dan beradab, berakhlak baik dan terpuji. Kedua, sebagai potensi dasar untuk membentuk tradisi berpikir, bersikap dewasa, terbuka dan toleran. Ketiga, menjawab basic need masyarakat dari generasi ke generasi untuk bisa hidup berdampingan secara dinamis dan rukun dalam keberagaman agama, etnik dan budaya.
Inklusivisme bukanlah semacam kompromi akidah dan ibadah. Tentang kompromi akidah dan ibadah akan mengingatkan kita pada suatu peristiwa yang monumental dan diabadikan dalam Al-Qur’an. Dalam kisah para pemuka kafir quraisy tiba pada suatu kondisi merasa tak mampu lagi membendung upaya dakwah yang dilakukan Nabi Muhammad SAW dan menyadari bahwa suatu saat kepercayaan paganisme (Penyembah Berhala) akan tersingkir oleh risalah Islam, maka kemudian mereka mendatangi Nabi dan menawarkan suatu kompromi dalam peribadatan.
Kaum kafir Quraisy menawarkan mengajak kaum Muslimin untuk mengakui kebenaran kedua belah pihak dengan cara melakukan ibadah secara bergantian. Hal tersebut dilakukan dengan cara hari ini kedua belah pihak melakukan ibadah kaum Muslim, keesokan harinya kedua belah pihak melakukan ibadah penyembah berhala secara berurutan terus-menerus. Namun tawaran kompromi akidah dan ibadah itu ditolak mentah-mentah oleh Allah dan Rasul-Nya. Kemudian tidak lama setelh peristiwa itu Allah mengutus malaikat Jibril untuk menurunkan wahyu surat Al-Kafirun. Pada surat Al-Kafirun ayat 2[109], agama Islam menolak dengan keras segala bentuk kompromi mengenai akidah dan ibadah dengan orang kafir.
Pada potongan ayat tersebut dijelaskan bahwasanya larangan untuk menyembah apa yang disembah orang kafir. Mengandung arti larangan membenarkan kepercayaan mereka dan larangan mempercayai bahwa ajaran mereka membawa keselamatan duniawi dan ukhrawi. Tetapi dalam hal ini tidak menghalangi para pemeluk agama lain untuk bekerjasama dalam ranah muamalat. Hal tersebut dilakukan guna memperbaiki nasib dalam rangka untuk mencapai kesejahteraan materi. Mereka dapat bekerja sama untuk mengatur kesejahteraan materi tersebut dengan menggunakan ajaran masing-masing.[110]
Abdurrahman Wahid menegaskan bahwa prinsip dasar dalam perbedaan yang ada (termasuk  perbedaan agama), merupakan sebuah keharusan dalam sejarah kehidupan (sunnatullah) yang sudah tertuang dalam Al-Qur’an dan sudah digariskan dalam lauhul mahfudz.[111] Pendangan bahwa umat selain golongannya dianggap sebagai musuh atau setidak-tidaknya sebagai lawan, sehingga orang dengan mudah sekali terpancing untuk membuat kerusuhan-kerusuhan mengatas namakan agama. Hal tersebut disebabkan oleh pendangkalan dalam kehidupan beragama, sehingga menimbulkan pertentangan. Menyikapi masalah ini, Abdurrahman Wahid memberikan solusi, antara lain:
Pertama, kita harus menyikapi warga masyarakat agar tidak mudah dihasut. Sebab yang melakukan hal itu jelas bertujuan politik.
Kedua, kita harus menyadari bahwa tugas kita sekarang memang berat, kita berhadapan dengan kenyataan  campur aduknya agama dengan politik; kehidupan beragama yang mengalami pendangkalan dan manipulasi politik atas agama. Kalau keduanya sudah berjalan seirinng, maka masalahnya akan semakinn ruwet. Untuk menghindarkan percampuran politisi agama di satu pihak dan pendangkalan agama dipihak lain, maka caranya adalah; (a) mendalami pengetahuan agama kita kembali, dan (b) menyadarkan warga bahwa hubungan antar agama itu seharusnya dijalin atas dasar saling pengertian”.

Di lain kesempatan Abdurrahman Wahid juga sempat mengkritik pemerintah yang selama ini belum bisa bertindak maksimal dalam program harmonisasi antara pemeluk satu dengan yang lainnya. Dalam ungkapannya:
Inilah yang paling krusial bahwa kita selama ini belum pernah mempunyai program dalam skala nasional untuk saling mengerti dan memiliki kebersamaan antar umat beragama. Yang ada sekarang adalah program bertoleransi, bertenggang rasa. Apa yang timbul dari istilah yang dibuat pemerintah memang betul-betul cocok keadaannya: kerukunan umat beragama. Artinnya sekedar rukun saja. Rukun itu artinya peaceful coexistence; hidup berdampingan secara damai- tapi saling mengerti. Padahal yang harus kita kembangkan adalah rasa kebersamaan dan saling pengertian.
Kita bisa menunjuk contoh dekat, umpamanya, soal pendirian gereja. Kalau  ada gereja berdiri, orang-orang Islam berteriak. Itu karena mereka tidak mengerti kenapa orang Kristen berbeda dengan kita, kaum Muslim, yang tanpa melihat apakah dari NU, atau Muhammadiyah, Sunni, Syiah, tentara atau sipil, ulama atau awam, bahkan maling sekalipun bisa duduk dan shalat bersama dalam satu masjid. Orang-orang Kristen tidak bisa begitu, mereka dibagi-bagi dalam sekte,  sinoda dan aliran-aliran yang berbeda-beda. Jadi  setiap sekian kilometer ada gereja, itu tidak aneh. Bukan karena bersaing dengan orang Islam, tapi bersaing dengan sesama mereka sendiri.
Itu perlu ditenangkan secara terus-menerus supaya semuanya paham. Artinya  akan ada titik temu. Mau membangun gereja atau tidak, dasarnya adalah saling mengerti dan bukan saling menolak. Pengalamann selama ini menunjukan bahwa kalau ada pengertian semuanya tidak akan sulit. Salah satu mengalah menurut situasi dan kondisi yang ada. Karena itu saya menilai bahwa kita masih memerlukan adanya satu program keseluruhan-katakanlah nasional di kalangan umat beragama untuk menyadarkan dan meningkatkan pengertian sehingga tercapai kebersamaan antara umat beragama.[112]

            Perbedaan keyakinan tidak membatasi atau melarang kerjasama antara Islam dan agama-agama lain, terutama dalam hal-hal yang menyangkut kepentingan umat manusia. Penerimaan Islam akan kerjasama itu, tentunya akan dapat terwujud dalam praktek kehidupan.
Dalam Islam sendiri perbedaan merupakan suatu hal yang diakui, sedangkan perpecahan sangatlah dilarang. Terlepas dengan adanya perbedaan keyakinan tidak perlu dipersamakan secara total, karena masing-masing kepercayaan atau akidah yang dianggap benar dan selalu harus dipertahankan oleh penganutnya.[113]
Nurcholis Madjid menambahkan, bahwasanya Al-Qur’an menghendaki agar fenomena lahiriyah itu tidak mengahalangi usaha menuju titik temu antara semuanya. Dan jikapun rumusan linguistic dan verbal keyakinan keagamaan itu berbeda-beda, dapat dipastikan bahwa eksternalisasi keimanan itu didalam dimensi sosial kemanusiaan tentu sama, karena menyangkut kerja nyata. Maka Islam sendiri menurut Nabi yang paling baik dinyatakan dalam aktivitas kemanusiaan seperti menolong kaum miskin, dan di dalam mengusahakan kedamaian kepada semua orang tanpa kecuali.[114]
Jika agama bermula pada Tuhan yang satu, lalu turun melalui proses pembumian untuk berkomunikasi dengan realitas manusia yang plural. Selanjutnya memunculkan agama-agama di muka bumi ini. Maka dari itu iman kepada Tuhan yang diajarkan tiap agama sebenarnya menjadi proses transendensi menuju hanya kepada satu Tuhan saja. Proses transendental menembus batas-batas pluralitas agama yang mengantarkan seseorang untuk memasuki dimensi Illahi yang meliputi segala yang ada. Pada tahap ini agama adalah rahmatan lil’alamin, menjadi rahmat bagi kehidupan semesta. Melahirkan sosial sebagia wujud aktual dari keimanan suatu agama.
Menurut Abdurrahman Wahid, manusia memiliki posisi yang tinggi dalam kosmologi, sehingga ia harus diperlakukan secara proporsional pada posisi yang mulia.[115] Sebelum manusia dilahirkan dan setelah meninggalnya, dia mempunyai atau tetap mempunyai hak-hak yang diformulasikan dilindungi secara jelas oleh hukum. Hal ini mengingat karena individu mempunyai hak dan kemampuan untuk menggunakannya. Allah SWT menjadikan manusia sebagai khalifah-Nya dimuka bumi, sebagaimana dinyatakan secara eksplisit dalam Al-Qur’an.[116]
Untuk menjalin hubungan yang baik dan harmonis dalam keberagaman agama, Abdurrahman Wahid membangun berdasarkan nilai-nilai Islam yang pluralistik dan humanistik. Kesadaran akan pluralitas agama dapat menciptakan toleransi, rasa kasih terhadap sesama, dialog antar umat beragama serta sikap saling pengertian antar sesama. Kesadaran semacam ini dalam pandangan Abdurrahman Wahid perlu ditekankan utuk membina kerukunan antara sesama pemeluk agama. Bagaimanapun juga satu agama dengan agama yang lain jelas berbeda. Ia mencontohkan Kristen dan Yahudi tentu tidak bisa menerima konsep dasar, demikian juga sebaliknya, misalnya tentang konsep ketuhanan, sebab memang berbeda.
Selanjutnya, yang perlu menjadi perhatian disini adalah ketika perbedaan tersebut menyebabkan kebencian. Tentu hal ini merupakan suatu bentuk sikap yang kurang terpuji dan tidaklah dibenarkan. Dalam dunia pendidikan, pada dasarnya agama dan keyakinan apapun maka seorang harus tetap mengabdi kepada Tuhan. Masing-masing agama mempunyai jalannya sendiri-sendiri tetapi tetap menuju Tuhan yang satu. Karenannya, pemeluk suatu agama tak dapat memenangkan dirinya sendiri dan lantas menyalahkan agama orang lain. Dengan begitu, umat Islam tidak boleh menyebut hanya Islam yang paling benar, dengan mencaci menyalahkan agama lain, lebih baik umat beragama bekerjasama menyelesaikan permasalahan kemanusiaan.[117]
Dalam agama Islam sendiri mengakui adanya agama dan keyakinan diluar agama Islam, serta mengakui adanya identitas agama-agama selain Islam. Islam tidak memaksa pemeluk agama lain untuk masuk Islam. Mereka dibiarkan memeluk keyakinan dan agama mereka. Hanya saja, pengakuan Islam terhadap keberagaman agama tidak boleh dipahami bahwa Islam juga mengakui adanya kebenaran teologis pada agama selain Islam. Islam tetap mengajarkan bahwa agama diluar Islam adalah kesesatan, meskipun kita diijinkan untuk hidup berdampingan di dunia ini.
Apabila pendidikan agama dapat memenuhi fungsinya, maka pendidikan agama perlu untuk melakukan proses transformasi nilai-nilai substansial keagamaan kepada peserta didik dan tidak terjebak dalam simbol-simbol. Setiap pendidik agama harus mempunyai kemampuan untuk menyampaikan dan mengaktualisasikan pesan normatif agama yang tekstual atas dasar refleksi dan realitas sosial yang ada. Sehingga antara teks agama dan konteks sosial itu akan selalu punya relevansi yang bisa diterima setiap pihak.
Menurut Ki Hajar Dewantara, tujuan pendidikan bermakna kultural. Maksudnya dikembangkan oleh pewarisnya sehingga warisan itu berguna bagi kehidupan. Begitu pula kehidupan agama, berusaha memampulan seseorang bukan hanya mengenal agamanya tetapi mampu pula bertumbuh dalam imannya dan memberlakukan ajaran agama dalam hidup sehari-hari dalam kehidupan lahir dan batin.[118]
Abdurrahman Wahid menjelaskan bahwasanya pendidikan di Indonesia seharusnya mendasarkan diri kepada penanaman nilai-nilai moral yang baik kepada peserta didik sehingga hasilnya kelak akan bermanfaat untuk mendukung upaya membangun kehidupan demokrasi di Indonesia.  Disamping itu pendidikan bukan hanya belajar ilmu semata. Tetapi juga membuat manusia berguna bagi masyarakat.[119] Seperti yang telah disebutkan diatas, maka sesungguhnya pendidikan berusaha untuk menggali kembali prinsip-prinsip hidup yang telah lama ditinggalkan. Prinsip-prinsip itu digali dari Al-Qur’an untuk mengaktualisasikan dalam kehidupan sekarang dan ditanamkan dalam dunia pendidikan.
Dalam hal ini, pendidikan Islam menanamkan sikap kebersamaan yang dibangun tanpa melihat adanya skat-skat perbedaan yang ada. Dengan cara demikian maka pendidikan dengan berparadigma inklusif dapat berkembang modern di era globalisasi tanpa terbawa arus. Pendidikan inklusif berada ditengah-tengah, bisa mengambil kemajuan yang datang dari luar dengan tetap memegang identitas keislaman dan keindonesiaan.
Pendidikan Islam bukan hanya sekedar membahas bagaimana individu berhubungan dengan sesama manusia maupun dengan lingkungan sekitar. Tetapi lebih dari itu, pendidikan inklusif menginginkan terwujudnya suatu individu yang mempunyai hubungan erat dengan sang pencipta sehingga akan terwujud sebuah sikap seorang individu yang sholeh secara normatif serta sholeh secara sosial.
Maka dari itu, merupakan kepentingan dalam pendidikan Islam untuk berlaku toleran terhadap sesama, baik itu terhadap warga Muslim sendiri ataupun non-muslim yang menjadi lawan komunikasinya setiap hari. Dalam pendidikan inklusif menekankan untuk memberikan kesempatan yang sama terhadap orang lain untuk mengapresiasikan pendapat atau pikirannya mengenai sebuah permasalahan yang ada ditengah keberagaman.
Setelah memahami tentang arti toleransi, kerukunan beragama, serta bersikap pengertian terhadap sesama, maka tujuan akhir dari adanya pendidikan inklusif adalah adanya perubahan perilaku peserta didik. Oleh karena itu, maka pengajaran bukan sekedar memberikan informasi atau mentransfer pengetahuan, tetapi berusaha bagaimana agar inforamasi yang disampaikan itu bisa menyentuh hati peserta didik. Sehingga peserta didik tergugah hati dan pikiran untuk berubah. Peserta didik yang mampu menyeimbangkan antara kewajiban dia dengan sesama serta kewajibannya dengan Khaliknya.
Jika hal itu sudah tertanamkan dalam karakter peserta didik maka nantinya akan melahirkan seorang individu yang mempunyai sikap sholeh dalam beragama maupun dengan masyarakat. Dalam Islam sendiri, melalui pendidikan diharapkan dapat menciptakan seorang pribadi yang memiliki integritas diri, mampu menggunakan imannya dalam menjawab tantangan hidup dan mampu memanusiakan sesamanya dengan berbagai kehidupan yang sejahtera yang  dikaruniakan Allah kepada manusia.[120]
Dalam dunia pendidikan, terlebih lagi pendidikan agama perlu menghubungkan nilai-nilai normatif yang abstrak yang diterima peserta didik dengan kenyataan-kenyataan sosial yang ada. Dengan hal itu maka peserta didik akan terdorong untuk bersikap kritis dan bijaksana dalam menghadapi kennyataan keberagaman agama yang ada. Jika pendidikan inklusif ini dapat memenuhi fungsinya, maka dunia pendidikan dapat memberikan sumbangan pada penumbuhan dan pemupukan sikap toleransi antar umat beragama serta peningkatan nilai kemanusiaan kebersamaan umat beragama dalam menghadapi masalah-masalah sosial yang ada. Jika hal itu sudah tercapai maka tidak menutup kemungkinan dapat meminimalisir terjadinya konflik SARA yang kerap terjadi di negeri ini.
Selanjutnya inklusivisme dalam pendidikan diharapkan dapat menjadi jembatan yang bisa menghubungkan antara agama yang berbeda. Dalam kaitannya dengan bangsa Indonesia yang multi etnik. Melalui pendidikan seperti ini nantinnya akan terbangun suasana saling menemani dalam kehidupan beragama secara dewasa. Serta terbentuknya suatu dialog yang memungkinkan untuk membuka wawasan-wawasan spiritual baru tentang keagamaan dan keimanan masing-masing.
Jika dunia pendidikan memperhatikan aspek-aspek inklusivisme dan mampu mengaplikasikannya, maka sesungguhnya pendidikan yang seperti inilah yang akan menyiapkan peserta didik untuk hidup a part of society, atau bagian dari masyarakata yang sesungguhnya. Masyarakat yang heterogen secara sosial, budaya, agama, paham keagamaan dan etnis. Namun sebaliknya, jika pendidikan mengabaikan keragaman seperti diatas maka pendidikan justru telah menyiapkan peserta didik untuk hidup jauh dari konteks kehidupan sosial yang sebenarnya.
Langkah terakhir dalam pendidikan Islam adalah perlunya penekanan pada pembentukan sikap. Selama ini seringkali dalam pembelajaran lebih menitikberatkan pada aspek normatif sesuai dengan standar kurikulum yang ada. Hal itu dilakukan tanpa memperkaya kurikulum tersebut secara kontekstual sehingga memungkinkan peserta didik menginternalisasikan dan mengaktualisasikan nilai-nilai islam dalam kehidupan sehari-hari.
Dengan adanya pendidikan Islam ini tidak hanya sekedar menitikberatkan pada pembentukan pribadi-pribadi yang saleh secara normatif, tetapi juga saleh secara sosial. Karena dalam pendidikan Islam, saleh secara sosial atau kesalehan sosial adalah aktualisasi dari nilai-nilai yang menjadi tema utama dalam pendidikan Islam. Kemampuan untuk mengaktualisasi nilai-nilai Islam dalam kehidupan nyata sehari-hari dapat dilihat dari kemampuan seorang individu tersebut untuk menjaga hubungannya dengan sesama serta hubunganya dengan Sang Pencipta.
Terkait dengan nilai-nilai yang harus dikembangkan seperti yang telah disebutkan sebelumnya diatas maka dalam proses pendidikan Islam perlu memperhatikan aspek-aspek sebagai berikut:

1.      Aspek Pendidik
Pendidik atau lebih dikenal dengan istilah guru merupakan seorang pribadi yang mempunyai kecakapan ilmu dan profesional dalam menjalankan proses pembelajaran. Pendidik dalam hal ini mempunyai fungsi sebagai fasilitator dan transformator gagasan dan pengetahuan dengan cara bermakna dan membebaskan. Guru adalah pendidik profesional dengan tugas mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi peserta didik, pada jalur pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar dan pendidikan menengah. Pendidik memberikan peluang seluas-luasnya pada peserta didik untuk berpikir kritis, kreatif dan memproduksi pengetahuan baru. Sebagai pendidik seharusnya dapat memberikan kebebasan pada siswa untuk berbeda pendapat dan mencari gagasan baru diluar gagasan yang ada. Pendidik juga memberikan inspirasi kepada siswa untuk terus berkarya dan berproses menuju sebuah kemajuan dan kesuksesan.
Dalam pandangan Abdurrahman Wahid pendidik atau guru merupakan seorang yang menmpatkan agama sebagai nilai luhur yang membawa nilai kebenaran, keadilan dan kesejahteraan. Pendidik dalam pandangannya pribadi yang mengajarkan wawasan keagamaan masyarakat secara inklusif, toleran agar terwujud persaudaraan sejati lintas pemeluk agama, ikut serta mengembangkan dialog dan kerjasama antar agama dalam menanggulangi masalah manusia yang erat kaitannya dengan upaya memperkuat saling pengertian dan toleransi antar iman dan agama.[121]
Pendidik mempunyai pengaruh terhadap perubahan tingkah laku peserta didik. Guru harus menjadi contoh yang baik bagi peserta didik, karena pada dasarnya sebagai pendidik adalah gambaran sekelompok orang pada suatu komunitas atau masyarakat yang diharapkan menjadi teladan yang dapat digugu dan ditiru. Seorang pendidi sangat berpengaruh terhadap hasil belajar yang dapat ditunjukan peserta didik. Untuk itu apabila ingin menjadi tenaga pendidik yang profesional maka sudah seharusnya ia dapat selalu meningkatkan wawasan pengetahuan akademis dan praktis melalui jalur pendidikan berjenjang.[122]
Tenaga pendidik yang mengembangkan nilai-nilai Islam inklusif adalah pendidik yang sadar akan kebebasan dan kemerdekaan. Pendidik harus dapat memposisikan peserta didik sebagai manusia merdeka dan memiliki potensi hingga pembelajaran memberi ruang yang seluas-luasnya. Selain itu sebagai pendidik juga harus bisa menjadikan sesuatu yang disekelilingnya sebagai sumber belajar atau dengan kata lain semua yang ada di dalam lingkungan masyarakat bisa dibuat menjadi sumber belajar oleh peserta didik.
Pendidik memberikan kemerdekaan sepenuhnya pada peserta didik untuk berkembang dan bersikap kritis sesuai dengan ajaran Islam. Pendidik harus mampu membentuk kesadaran kritis peserta didik untuk bisa menghargai perbedaan yang terjadi ditengah masyarakat yang majemuk. Selain itu yang lebih penting adalah penanaman pemahaman terhadap peserta didik untuk menghargai pluralitas dan toleransi antar umat beragama serta tidak fanatiik pada suatu paham atau aliran tertentu dan bersikap sinis terhadap segala perbedaan yang ada.

2.      Aspek Peserta Didik
Dilihat dari sisi kedudukannya peserta didik adalah makhluk yang sedang berada dalam proses perkembangan dan pertumbuhan menurut fitrohnya masing-masing. Mereka memerlukan bimbingan dan pengarahan yang konsisten optimal menuju kearah titik optimal kemampuan fitrahnya. Namun secara sederhana dapat didefinisikan bahwa yang dimaksud peserta didik ialah setiap orang atau sekelompok orang, tanpa ada batasan tertentu, yang menjadi sasaran pengaruh kegiatan pendidikan yang dilakukan oleh pendidik dalam rangka tercapainya tujuan pendidikan.[123]
Menurut Muhammad Joko Susilo ada kriteria tentang seseorang dapat disebut sebagai siswa atau peserta didik yaitu manakala telah lulus ujian seleksi, mempunyai latar belakang kultural/akademis yang kuat, wawasan yang luas dan cukup mendalam, integritas yang dewasa dan memiliki sifat-sifat ilmuan: objektif, kritis, analisis, integratif dan komprehensif.[124]
Dalam paradigma pendidikan Islam yang inkulsif, peserta didik merupakan individu yang memiliki potensi untuk berpikir kritis dan memiliki kepedulian sosial. Bebas berpandapat dan bereksplorasi untuk menemukan pengetahuan dengan bahasanya sendiri tanpa ada paksaan. Kemerdekaan dan kebebasan adalah fitrah yang telah dibawa manusia sejak kehadirannya di dunia dan oleh karena itu pendidikan harus sejalan dengan hakikat tersebut, karena pada dasarnya manusia adalah penguasa atas hidupnya sendiri. Pendidikan haruslah berorientasi kepada pengenalan relitas yang objektif maupun subjektif. Karena kesadaran objektif dan subjektif adalah fungsi dialektis dalam diri manusia sehubungan dengan kenyataan yang ada.
Pendidikan tidak dapat berjalan dengan baik tanpa adanya kurikulum. Kurkulum dalam pendidikan Islam yang inklusif dapat terlihat dalam dua aspek yaitu:
1.      Aspek Materi
Dalam pendidikan Islam baik formal maupun nonformal materi yang disajikan adalah materi yang diuraikan dalam Al Qur’an. Oleh karena itu materi pendidikan Islam yang bersumber dari Al Qur’an harus dipahami, dihayati, diyakini dan diamalkan dalam kehidupan umat Islam. Semua jenis ilmu yang dikembangkan para ahli pemikir Islam dari kandungan Al Qur’an dapat diklasifikasikan. Salah satunya adalah Al Farabi yang mengklarifikasikan ilmu yang terkandung dalam Al Qur’an menjadi ilmu bahasa, logika, sains, ilmu fisika dan metafisika dan ilmu masyarakat. Paradigma Islam inklusif yang terkait dengan aspek materi ilmu kemasyarakatan akan mengkaji tentang hak-hak minoritas sesuai dengan perspektif pendidikan Islam.
Paradigma Islam inklusif kaitannya dengan pendidikan adalah adanya bahsan khusus yang terkait dengan hak minoritas khususnya minoritas dalam kehidupan sosial beragama. Hal itu penting karena Indonesia adalah negara majemuk yang terdiri dari berbagai etnis, budaya, dan agama yang berbeda. Kesadaran menghormati minoritas merupakan keharusan untuk menciptakan kondisi yang aman dan damai sesuai ajaran agama.
Materi selanjutnya mengenai hak-hak nonmuslim karena seperti yang telah kita ketahui bahwa di Indonesia terdapat banyak agama selain Islam. Maka dari itu pendidikan Islam harus memberikan bahasan materi yang terkait dengan hak-hak nonmuslim yang adil sesuai prinsip nilai humanistik dalam Islam.
Materi lain yang tidak kalah penting adalah kebebasan berpikir. Pendidikan Islam yang sesuai dengan nilai-nilai Islam inklusif yaitu mengembangkan kebebasan berpikir supaya banyak ide-ide yang muncul. Dalam hal tersebut diharapkan akan melahirkan peserta didik yang kritis dan menghargai pluralitas. Pendidikan Islam harus bisa membuka diri atas fenomena global yang terus berkembang dewasa ini.
2.      Aspek Evaluasi
Rangkaian terakhir dari proses pendidikan adalah evaluasi, tak terkecuali pada proses pendidikan Islam. Berhasil atau tidaknya pendidikan Islam dalam mencapai tujuannya dapat dilihat setelah dilakukan evaluasi terhadap output yang dihasilkan. Jika hasilnya sesuai dengan apa yang digariskan dalam tujuan pendidikan Islam, maka usaha pendidikan itu dapat dinilai berhasil, tetapi jika sebaliknya dinilai gagal. Dari sisni dapat dipahami betapa urgennya evaluasi dalam proses pendidikan Islam.[125]
Sesuai dengan paradigma Islam inklusif, peserta didik mempunyai hak untuk membahasakan pengetahuan dengan bahasanya sendiri, kritis dan terbuka terhadap perbedaan. Peserta didik adalah pribadi yang kreatif dan mempunyai ide-ide baru untuk mengembangkan kritik terhadap pengetahuan konvensional yang mungkin cenderung otoritatif dan doktriner. Oleh karena itu evaluasi dilakukan tidak hanya pada peserta didik tetapi juga pada dewan pendidik di lembaga pendidikan agar tidak ada dominasi satu sama lain. Karena pendidikan merupakan seluruh satuan yang saling bekerjawama, mengevaluasi, membangun untuk kepentingan bersama.
Evaluasi dalam pendidikan Islam merupakan cara atau teknik penilaian terhadap tingkah laku peserta didik berdasar standar perhitungan yang komprehensif dari seluruh aspek-aspek kehidupan mental-psikologis dan spiritual-religius, melainkan juga berilmu dan berketrampilan yang sanggup beramal dan berbakti pada Tuhan dan Masyarakatnya. Evaluasi pendidikan Islam secara garis besar meliputi empat kemampuan dasar peserta didik, yaitu sikap dan pengamalan pribadinya dalam hubungan dengan Tuhan, sikap dan pengamalan dengan hubungan masyarakat, sikap dan pengamalan dengan alam sekitar, sikap dan pengamalan terhadap dirinya sendiri selaku hamba Allah dan anggota masyarakat serta selaku khalifah fil ardhl.[126]
Secara umum ada empat fungsi dalam pendidikan Islam. Pertama dari segi pendidik, evaluasi berguna untuk membantu seorang pendidik mengetahui sejauh mana hasil yang dicapai dalam pelaksanaan tugasnya. Kedua dari segi peserta didik, evaluasi berguna membantu peserta didik untuk mengembangkan tingkah lakunya secara sadar kearah yang lebih baik. Ketiga dari segi ahli pikir pendidikan Islam, evaluasi berguna untuk membantu para pemikir untuk mengetahui kelemahan teori-teori yang relevan dengan arus dinamika zaman yang senantiasa berubah. Keempat dari segi politik pengambil kebijakan pendidikan Islam, evaluasi berguna untuk membantu mereka membenahi sistem pengawasan dan mempertimbangkan kebijakan yang akan ditetapkan dalam sistem pendidikan Islam.[127]
            Selain aspek manusia dan kurikulum pendidikan Islam, dalam pelaksanaannya pendidikan Islam membutuhkan metode yang tepat untuk mengahantarkan kegiatan pendidikannya ke arah yang ingin dicita-citakan.[128] Metode tidak hanya diartikan sebagai cara mengajar dalam proses pembelajaran bagi seorang pendidik, tetapi dipandang sebagai upaya perbaikan komprehensif dari semua elemen pendidikan sehingga menjadi sebuah iklim yang mendukung tercapainya tujuan pendidikan.
            Secara leterer metode berasal dari bahasa Greek yang terdiri dari dua kosa kata yaitu meta yang berarti melalui dan hodos yang berarti jalan. Jadi metode berarti jalan yang ditempuh.[129] Kata kunci untuk mengembangkan metode dalam pendidikan Islam inklusif adalah sejauh mana guru memahami, mendekati dan mengembangkan siswa sebagai individu yang memiliki potensi kekhalifahan dan potensi-potensi unik sebagai makhluk Allah sebagai Ahsanu Taqwim dan Khalifah Fil Ardl agar bisa hidup bersama dalam keberagaman.
Adapun terdapat beberapa metode yang bisa dijadikan alternatif pilihan untuk mencapai tujuan pendidikan islam seperti berikut:[130]
a.       Metode Dialogis
Metode dialogis melahirkan sikap saling keterbukaan antara pendidik dan peserta didik, akan mendorong untuk saling memberi dan mengambil anatara satu sama lain dalam proses pembelajaran. Dalam penerapan metode ini, pikiran, kemauan, perasaan dan ingatan serta pengamatan akan terbuka terhadap ide-ide baru yang timbul dalam proses pembelajaran tersebut. Maka terjadilah dimana manusia tidak lagi dipandang sebagai objek pendidikan melainkan sebagai  subjek dari pendidikan itu sendiri.
b.      Metode Inovasi
Metode inovasi dalam proses pembelajaran menjadikan manusia didik diberi pelajaran ilmu pengetahuan baru yang dapat menarik mereka. Mereka didorong secara aktif dan inovatif serta kreatif melalui metode menyelidiki dan menemukan fakta-fakta pengetahuan yang baru dari lingkungan sekitar dirinya sendiri. Sehingga pendidikan Islam tidak hanya dipahami secara formal-tekstual-lahiriyah, terjebak dalam ibadah mahdlah (murni) dan sifatnya teoritis, namun kurang dikaitkan dengan jiwa, makna, nilai dan spirit terdalam dari ajaran agama untuk lebih peduli dengan persoalan kemanusiaan lingkungan secara nyata.

c.       Metode Keteladanan
Pada metode ini lebih menekankan melalui peniruan sebagai perubahan tingkah laku. Artinya seorang pendidik harus bisa menjadi modeling atau sampling bagi peserta didiknya. Atau dengan kata lain seorang pendidik mendemonstrasikan perilaku yang hendak dicapai peserta didik. Hal ini mmerupakan sebuah penanaman nilai inklusifisme melalui keteladanan yang dilakukan oleh pendidik kepada peserta didik. Selain metode diatas, Islam inklusif juga mengenal metode inklusif-pluralis yaitu  menerima pendapat dan pemahaman agama lain yang memiliki basis ketuhanan dan kemanusiaan. Sisi multikulturalis mengandung arti penerimaan pada ekspresi budaya yang menghormati nilai-nilai kemanusiaan dan keindahan.
Dalam penerapannya di Indonesia terdapat tantangan dan juga kritik terhadap pemikiran Abdurrahman Wahid tentang nilai-nilai Islam inklusif ini. Nilai-nilai Islam inklusif Abdurrahman Wahid pada dasarnya menampilkan sikap kepedulian yang tinggi terhadap unsur humanisme ditengah pluralisme yang ada. Sikap yang menjunjung tinggi nilai kemanusiaan dan hak asasi manusia ditengah perbedaan yang menjadi skat pembatas dalam ruang lingkup bermasyarakat.
Bagi Abdurrahman Wahid nilai-nilai kebersamaaan ditengah keberagaman merupakan sebuah kondisi yang harus diperjuangkan agar tercipta sebuah tatanan masyarakat yang rukun, damai dan sejahtera. Hal tersebut menjadi epistemologi serta tema penting perjuangan Abdurrahman Wahid, baik dalam konteks keagamaan maupun sosial bermasyarakat. Secara umum kritik terhadap nilai-nilai Islam inklusif Abdurrahman Wahid antara lain: pertama, nilai-nilai Islam inklusif Abdurrahman Wahid lahir dari nilai-nilai utama dalam ajaran agama Islam. Kemudian nilai-nilai itu berkembang berkat kemajemukan kehidupan yang di alami Abdurrahman Wahid. Kehidupan yang berawal dari lingkungan pesantren menumbuhkan sikap keteguhan dalam iman kemudian ditambah lagi kehidupan timur yang mempunyai keragaman paham dan ideologi setelah itu merasakan kebebasan di dunia barat. Hak itulah yang menjadi corak pemkiran Abdurrahman Wahid. Dalam konsep Islam inklusifnya Abdurrahman Wahid menyerukan ketertundukkan kepada Tuhan. Hal ini dikarenakan kepatuhan pada Tuhan merupakan asas paling tinggi dalam ideologi Islam inklusifnya. Namun disisi lain Abdurrahman Wahid memberikan penghargaan yang tinggi terhadap martabat dan eksistensi manusia itu sendiri didunia ini. Hal itu yang menjadikan Abdurrahman Wahid berani mempertaruhkan hidupnya untuk menciptakan kondisi masyarakat yang humanistik.
Yang kedua sering kali nilai-nilai Islam inklusifnya terbungkus dalam tulisan yang kurang sistematis dan melompat-lompat. Itu dapat kita lihat dari berbagai tulisan-tulisan beliau yang didalamnya membahas tentang nilai-nilai pluralistik dan humanistik, namun belum tuntas pengupasanya terkadang masuk kedalam ranah lain seperti ranah politik misalnya. Hal tersebut seringkali menjadikan pembaca kurang bisa memahami arah dari pemikiran seorang Abdurrahman Wahid sebagai pemuka agama atau sebagai negarawan.
Yang ketiga yang menjadi kritik terhadap sosok Abdurrahman Wahid adalah sikap konsistensinya. Abdurrahman Wahid yang dikenal dengan sikap penanaman nilai-nilai Islam inklusif namun atas dasar itu pula beliau seringkali terlihat keras, otoriter dan mungkin menjadi kontroversi di masyarakat. Hal tersebut seolah manjadi paradigma yang bertolak belakang dengan nilai-nilai Islam inklusifnya yang beliau perjuangkan. Namun setelah berjalannya waktu masyarakat akan bisa belajar memahami arah pemikiran seorang Abdurrahman Wahid.
Adapun beberapa kritik terhadap Abdurrahman Wahid tidak akan mengurangi sikap kritisnya dalam memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan ditengah berbagai kergaman yang ada di Indonesia. Melalui tulisan ini penulis berharap dapat memberikan sumbangan filosofis berangkat dari nilai-nilai Islam inklusif Abdurrahman Wahid melalui pendidikan Islam agar dapat melahirkan generasi yang mempunyai keteguhan iman yang terpancar dari soleh normatifnya serta kearifan terhadap sesama manusia yang diwujudkan dalam sikap soleh sosial. Jika hal tersebut dapat tercapai maka bukan lagi tidak mungkin untuk bisa mewujudkan kehidupan masyarakat yang harmonis ditengah perbedaan yang ada di negeri ini.



[65] Nur Cholis Madjid, “Kebebasan Beragama Dan Pluralisme Dalam Islam”, Dalam Komarudin Hidayat Dan Ahmad Gaus AF (ed), Passing Over: Melintas Batas Agama, (Jakarta: PT. Gramedia dan Yayasan Paramadina, 1998), hal. 184.
[66] Alwi Shihab, Islam Inklusif, (menuju sikap terbuka dalam beragama), (Bandung: Mizan, 1998), hal. 41.
[67] Alwi Shihab, Islam Inklusif, (Bandung: Mizan, 1998), hal. 41.

[69] Abdurrahman Wahid, Prisma Pemikiran Gus Dur, (Yogyakarta: Lkis, 2010), hal. 213-214.
[70] Abdurrahman Wahid, Muslim Di Tengah Pergumulan, (Jakarta: Lappenas, 1983), cet. II, hal. 11.
[71] Budhi Munawar Rahman, Argument Islam Untuk Pluralisme, (Jakarta: PT. Grasindo, 2010), hal. 31-32. Lihat juga dalam Abdurrahman Wahid, Prisma Pemikiran Abdurrahman Wahid, (Yohyakarta: LkiS, 2010), hal. 167-173.
[72] Muhammad Bakir & Zaid Wahyudi, “Abdurrahman Wahid: ketegaran pluralisme akar rumput,” dalam Zuhairi Misrawi (pengantar), Abdurrahman Wahid Santri Exellent: Teladan Sang Guru Bangsa, (Jakarta: Kompas, 2010), hal. 202.
[73]Mihammad Bakir & Zaid Wahyudi, ... hal. 200-201.
[74] Farid Esac, Al-Qur’an Liberation and Pluraisme: Membebaskan Yang Tertindas, (Bandung: Mizan, 2000), hal. 334.
[75] Lihat Al Qur’an Surat Al Hujurat (49) ayat 13 Artinya: “Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.”
[76] Abdurrahman Wahid, Islam, Kebinekaan, dan Toleransi, dalam buku Berislam Secara Toleran, (Bandung: Mizan Media Utama, 2011), hlm. 135.
[77] Abdurrahman Wahid, Islam, Kebinekaan, dan Toleransi, dalam Irwan Masduqi (ed), Berislam Secara Toleran, (Bandung: Mizan Media Utama, 2011), 136.
[78] Abdurrahman Wahid, Islam, Kebinekaan, dan Toleransi, dalam Irwan Masduqi (ed), Berislam Secara Toleran, (Bandung: Mizan Media Utama, 2011), 138
[79] Syahrin Harahap, Teologi Kerukunan, (Jakarta: Prenada Media Group, 2011), hlm. 6.
[80] Syahrin Harahap, Teologi Kerukunan, (Jakarta: Prenada Media Group, 2011), hlm. 6 .
[81] Proyek Pembinaan Kerukunan Hidup Beragama, Departemen Agama RI, Pedoman Dasar Kerukunan Hidup Beragama, (Jakarta: 1982/1983), hlm. 1.
[82] Douglas Ramage, Pemahaman Abdurrahman Wahid Tentang Pancasila dan Penerapannya Dalam Era Pasca Asas Tunggal, dalam Ellyasa Dharwis(ed), Gus Dur NU dan Masyarakat Sipil, (Yogyakarta: LKiS, 2010), hlm. 103.
[83] Abdurrahman Wahid, Islamku, Islam Anda, Islam Kita Agama Masyarakat Negara Demokrasi, (Jakarta: The Wahid Institute, 2006), hlm. 67.
[84] Argawi Kandito, Ngobrol Dengan Gus Dur Dari Alam Kubur, (Yogyakarta: LkiS, 2010), hlm. 90.
[85]   Abdurrahman Wahid, Islamku Islam Anda Islam Kita ..., hal. 291-292.
[86] Zastrow, Gus Dur, Siapa Sih Sampeyan? Tafsir Teoritik Atas Tindakan dan Pernyataan Gus Dur, (Jakarta: Erlangga, 1999), hal. 34.
[87]   Mujamil Qamar, NU Liberal ..., hal. 225.
[88] Kasusnya bermula ketika Ulil Absor Abdalla berani menulis tentang liberalisasi Islam dengan tema “Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam”. Tulisan ini menurut sebagian kalangan di anggap menghina Islam.
[89] Abdurrahman Wahid, Islamku, Islam Anda, Islam Kita ..., hal. 142-143.
[90] Abdurrahman Wahid, Sekadar Mendahului, Bunga Rampai Kata Pengantar, (Bandung: Nuansa, 2011), hlm. 33.
[91] Greg Barton, Memahami Abdurrahman Wahid, dalam Abdurrahman Wahid, Prisma Pemikiran Gus Dur, (Yogyakarta: LkiS 1999), hlm. Xxx.
[92] Greg Barton, Abdurrahman Wahid Dan Toleransi Keberagaman, dalam buku Gila Gus Dur, (Yogyakarta: LKiS, 2000), hlm. 85.
[93] Karen Armstrong, Compassion 12 Langkah Mnuju Hidup Berbelas Kasih, (Bandung: Mizan Media Utama, 2012), hlm. 14.
[94] M. Zainuddin, Kesalehan Normatif dan Kesalehan Sosial, (Malang: UIN Malang Pres, 2007), hlm. 61.
[95] Jadul Maula(peng), Metode Gus Dur, dalam Argawi Kandito, Ngobrol Dengan Gus Dur Dari Alam Kubur, (Yogyakarta: LkiS, 2010), hlm. Xvii.
[96] M. Zainuddin, Kesalehan Normatif dan Kesalehan Sosial, (Malang: UIN Malang Pres, 2007), hlm. 62.
[97] Y.B. Mangunwijaya, Kata Pengantar, dalam Abdurrahman Wahid, Sekedar Mendahului Bunga Rampai Kata Pengantar, (Bandung: Nuansa, 2011), 43.
[98] Kursyid Ahmad, Islam dan Fanatisme, (Bandung: Penerbit Pustaka, 1997), hal. 74.
[99] http://media.kompasiana.com, dalam www.Google.com, diunduh pada tanggal 25 Febuari 2014
[100] Abdurrahman Wahid, Muslim Ditengah Pergumulan, (Jakarta: Lappenas, 1981), hal. 3.
[101] Muhammad Arifin, Ilmu Pendidikan Islam: Suatu Tinjauan Historis dan Praktik, (Jakarta: Bumi Aksara, 1991), hal. 10.
[102] Nurcholis Madjid dkk., Fiqh Lintas Agama, Membangun Masyarakat Inklusif-Pluralis, (Jakarta: Paramadina, 2004), hal. 99.
[103] Amin Abdullah, “Mengajarkan Kalam dan Teologi dalam Era Kemajemukan di Indonesia”, dalam Sumartana dkk., Pluralitasme, Konflik dan Pendidikan Agama Di Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hal. 259.
[104] Paul Ngganggung, “Pendidikan Agama dalam Masyarakat Pluralistic”, dalam Sumartana dkk., Pluralisme, Konflik dan Pendidikan Agama di Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hal. 259.
[105] Ajaran Bahwa manusia yang berderajat sama memiliki takdir yang sama pula. Dalam Kamus Ilmiah Pouler.
[106] Lihat Al Qur’an Surat Al Hujurat (49) ayat 13 Artinya: “Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.”
[107] Nurcholis Majid, Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis Tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan Kemodernan, (Jakarta: Paramadina: 1995), hal. 163.
[108] Jedida T. Posumoh-Santoso, “Pluralisme dan Pendidikan Agama di Indonnesia”, dalam Sumartana Dkk., Pluralisme, Koflik dan Pendidikan Agama di Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hal. 275.
[109] Lihat Al Qur’an Surat Al Kafirun Ayat 2, Artinya: “aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah”
[110] Abdurrahman Wahid, Islamku Islam Anda Islam Kita: Agama Masyarakat Negara Demokrasi, (Jakarta: The Wahid Institute, 2006), hal. 134-135.
[111]  Muhammad Hanif Dhakiri, 41 Warisan Kebesaran Abdurrahman Wahid, (Yogyakarta: LkiS, 2010), hal. 63
[112] Abdurrahman Wahid, “Dialog Agama dan Masalah Pendangkalan Agama” dalam Passing Over Melintas Batas Agama, Komarudin Hidayat dan Ahmad Gaus. (ed), (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama Yayasan Wakaf Paramadina, 1998), hal. 53.
[113] Abdurrahman Wahid, Islamku Islam Anda Islam Kita; Agama Masyarakat Negara Demokrasi, (Jakarta: The Wahid Institute, 2006), hal. 134.
[114] Nurcholis Madjid, “Dioalog Agama-agama dalam Perspektif Universalisme Al-Islam”, dalam Passing Over Melintas Batas Agama, Komarudin Hidayat dan Ahmad Gaus. (ed), (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama Yayasan Wakaf Paramadina, 1998), hal. 27.
[115] Aden Wijan dkk., Pemikiran Dan Peradaban Islam, (Yogyakarta: Safira Insania Press PSI UII, 2007), hal. 206.
[116] Lihat Al-Qur’an Surat Al-Baqarah Ayat 30, Artinya: “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman para malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumu.” Mereka berkata: “Mengapa engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkann darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?”. Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.”
[117] Abdurrahman Wahid, “Intelektual Ditengah Eklusivisme,” dalam Nasrullah Ali Fauzi, (ed), ICMI Antara Stats Quo dan Demokrasi, (Bandung: Mizan, 1995), hal. 73.
[118] Syamsul Ma’arif, Pendidikan ..., hal. 279.
[119] Sulton Fatoni, The Wisdom of Gus Dur Butir-Butir Kearifan Sang Waskita, (Depok: Penerbit Imania, 2014), hlm. 289.
[120] Sumartana dkk, Pluralisme . . . , hal. 280.
[121] Abdurrahman Wahid, Partai Kebangkitan Bangsa, (Jakarta: PKB Press, 2005), hlm. 30.
[122] Hamzah B. Uno, Profesi Kependidikan, Problem, Solusi dan Reformasi Pendidikan di Indonesia, (Bandung: Rosdakarya Press, 2007), hlm. 17.
[123] Mangun Budiyanto, Ilmu Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Griya Santri, 2010), hlm. 92.
[124] Muhammad Joko Susilo, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), hlm. 58.
[125] Samsul Nizar, Filsafat Peniddikan Islam, (Jakarta: Ciputat Press, 2002), hlm. 76.
[126] H.M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam: Suatu Tinjauan Teoritis Dan Praktis Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner, (Jakarta: Bumi Aksara, 1996), hlm. 162.
[127] Syamsul Nizar, Filsafal Pendidikan Islam: Pendekatan Historis, Teoritis, Dan Praktis, (Jakarta: Ciputat Press, 2002), hlm. 78.
[128] Abdurrahman Saleh Abdullah, Teori-Teori Pendidikan Berdasarkan Al Quran, Terj. H.M Arifin, (Jakarta: Rineka Cipta, 1990), hlm. 197.
[129] H.M Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1994), hlm. 97.
[130] H.M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam: Suatu Tinjauan Teoritis Dan Praktis Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner, (Jakarta: Bumi Aksara, 1996), hlm. 135