BAB
III
AKTUALISASI
NILAI-NILAI ISLAM INKLUSIF
DALAM
PENDIDIKAN ISLAM
A.
Pandangan
Abdurrahman Wahid Tentang Nilai-Nilai Pluralisme Dalam Kehidupan Sosial
Beragama
Istilah pluralisme
berbeda dengan pluralitas yang menunjukan pada fakta adanya keragaman atau kemajemukan.
Sedangkan pluralisme tidak hanya menunjukan pada makna banyak, jamak, multi
kebhinakean, keberagaman atau keanekaragaman saja. Namun lebih menekankan pada
sikap positif, yaitu kesediaan mengakui, menghormati dan menerima adanya
perbedaan.
Alwi Shihab menegaskan
bahwa pluralisme agama adalah sikap keberagaman yang berbeda jauh dan tidak
sama dengan kosmopolitanisme, relativisme dan sinkretisme. Kosmopolitan
menunjukan kepada suatu realita dimana keanekaragaman agama, ras dan suku
bangsa hidup berdampingan di suatu wilayah. Misalnya di kota New York, kota ini
adalah kota kosmopolitan yang didalamnya terdapat orang Yahudi, Nasrani, Islam,
Hindu, Budha bahkan orang-orang yang tidak mempunyai agama sekalipun. Seakan
seluruh dunia berada dikota ini. Namun sangat disayangkan masih terlalu minim
interaksi positif antara penduduk di kota tersebut.
Sedangkan relativisme
adalah pandangan bahwa hal-hal yang menyangkut “kebenaran” atau “nilai”
ditentukan oleh padangan hidup serta kerangka berfikr seseorang atau
masyarakatnya. Sebagai akibatnya makna doktrin agama apapun harus dinyatakan
benar, tegasnya semua agama adalah sama. Karena kebenaran agama-agama walaupun
berbeda-beda dan bertentangan satu dengan yang lainya tetap harus diterima.
Oleh sebab itu, konsep atau paham ini tidak mengenal kebenaran absolute atau kebenaran abadi.
Pluralitas agama juga
bukan pula sinkretisme. Sinkretisme dapat diartikan sebagai penciptaan suatu
agama baru dengan memadukan unsur-unsur tertentu atau sebagian komponen ajaran
dari beberapa agama untuk dijadikan bagian yang utuh dari agama baru tersebut.
Dari keterangan di atas
dapat disimpulkan bahwa menurut Alwi Shihab pluralitas agama adalah paham
keberagaman yang selalu terbuka dan interaktif secara produktif dengan penganut
agama lain tanpa harus kehilangan jati diri akan agamanya sendiri. Maka dari
dari itu seseorang harus memilikikomitmen dan keyakinan yang kuat terhadap
agamanya tersebut, akan tetapi juga tidak menafikan adanya unsur kebenaran pada
agama-agama lain.
Sehubungan dengan hal
tersebut, maka yang yang perlu digariskan dalam hal ini adalah bahwa kerika
konsep pluralitas agama ini hendak diterapkan di Indonesia. Secara tidak
langsung ia harus bersyarat satu hal yaitu komitmen yang kokoh terhadap agama
masing-masing. Seseorang yang pluralis dalam berinteraksi dengan keanekaragaman
unsur masyarakat tidak saja dituntut untuk selalu membuka diri, belajar dan
menghormati teman dialognya. Terlepas dari hal tersebut ia juga harus
berkomitmen terhadap agama yang dianutnya. Karena denga sikap yang demikian,
seseorang akan terhindar
dari paham relativisme dan sinkretisme.
Pluralis merupakan suatu
sikap keberagaman yang memandang semua agama sejajar dalam lingkup sosial
masyarakat. Sikap ini lahir merupakan bentuk keniscayaan di saat pola
keberagaman agama, kultur, ras bersama-sama hidup dalam satu komunitas suatu
wilayah. Dengan sikap dan kesadaran ini pula dapat memunculkan toleransi,
kerukunan beragama, dialog beragama, kerjasama, solidaritas, persamaan dan
tatanan politik yang demokratis.
Dalam pandangan
Abdurrahman Wahid, sikap pluralis ini perlu dikembangkan untuk membina
kerukunan antar umat beragama. Penerimaan secara teologis merupakan suatu yang
signifikan ketika wacana tersebut dibawa dalam kerangka truth claim dalam beragama. Menurut Abdurrahman Wahid, bahwa
perbedaan keyakinan secara teologis tidak akan menghalangi untuk bekerjasama antar
Islam dengan pemeluk agama yang lainnya, terutama dalam menyangkut berbagai
masalah kemanusiaan. Baginnya, sikap saling pengertian merupakan yang paling
mendasar bagi umat beragama. Sehingga dapat bersama-sama melakukan refleksi
diri dan bersama-sama menegakkan moralitas, keadilan dan perdamaian umat
manusia.
Dengan menjaga
dinamisasi keagamaan Abdurrahman Wahid menolak pliralitas indefferent, paham relativisme yang menganggap semua agama sama.
Tetapi Abdurrahman Wahid menghargai pluralitas nonindefferent yang mengakui dan menghormati keberagaman agama. Kesamaan
hak dan martabat semua penganut agama dan kepercayaan di bumi nusantara menjadi
hal mutlak yang diayomi oleh pandangan inklusifnya.
Dalam bidang keagamaan,
Abdurrahman Wahid meyakini Pancasila menjamin kebebasan beragama bukan hanya
sebatas memeluk agama, tetapi juga mencakup peran “Etika Kemasyarakatan” agama
di ruang publik.
Disinilah letak signifikansi sila pertama Pancasila. Sekedar kebebasan memeluk
agama, nilai kedua, ketiga dan seterusnya sudah cukup menjamin. Keunikan sila
pertama yaitu mendorong agama-agama menjalankan peran etika kemasyarakatan di
ruang publik.
Abdurrahman Wahid
mengatakan bahwa Islam tidak lagi cukup menjadi ekspresi keimanan sebagai
muslim untuk menegakkan ajaran formal Islam belaka. Lebih dari itu harus
menjadi bagian dari upaya kemanusiaan umum untuk membebaskan rakyat-rakyat yang
tertindas dari belenggu kenistaan dan kehinaan yang menurunkan derajat sebagai
makhluk mulia. Untuk itu dari gerakan-gerakan perlawana kultural kaum muslimin
untuk terlebih dahulu mapu hidup bersama dengan manusia-manusia dari agama,
ideologi, politik dan pandangan budaya yang memiliki kesamaan pandangan yang
mendasar tentang hakikat tempat manusia dalam kahidupan dan cara-cara untuk
mewujudkannya.
Abdurrahman Wahid
menolak dengan keras fatwa MUI yang telah mangharamkan pluralitas. Menurutnya,
Indonesia bukan suatu negara yang didasarkan hanya pada satu agama tertentu.
MUI bukan institusi yang berhak menentukan sesuatu hal benar atau salah.
Menurutnya, pluralitas merupakan suatu keharusan bagi masyarakat majemuk ini.
Dengan fatwanya,
MUI memperlihatkan adanya sikap yang tidak mau tahu dengan toleransi, yang
sebenarnya menjadi inti dari kehidupan beragama yang serba majemuk di Indonesia.
Hal ini berarti fatwa MUI membawa masalah baru dalam hubungan antar umat
beragama di Indonesia. Pandangan serba sempit yang dimiliki MUI ini telah
merugikan seluruh komponen bangsa. Menurut Abdurrahman Wahid, arogansi yang
sudah diperlihatkan MUI telah menyadarkan kita agar tidak mudah tertipu
terhadap sikap yang seolah-olah mewakili umat Islam itu.
Dalam pernyataanya:
Kelompok minoritas
seperti Kristen, Khatolik, Hindu, Budha, Konghuchu dan keyakinan atau
kepercayaan diluar itu hanya ingin diperlakukan sebagaimana manusia umunya. UUD
1945 telah menjamin perlindungan bagi semua warga Negara tanpa pandang agama,
etnis ataupun budayanya.
Abdurrahman Wahid
menekankan bahwa parameter utama untuk dapat memelihara keragaman adalah
mengolah kemampuan toleransi. Beliau berkeyakinan bahwa memeknai ajaran agama
tidak akan pernah lepas dari sisi kemanusiaan. Apabila nilai.nilai kemanusiaan
diabaikan, aka nilai-nilai keagamaan yang benar akan hilang. Tentu dengan tetap
meyakini kebenaran ajarannya.
Abdurrahman Wahid juga menegaskan pentingnya toleransi plus atau pluralitas
dengan tidak hanya mempraktikkan pola kehidupan berdampingan secra damai saja (peaceful coexistence), karena demikian
masih sangat rentan dengan kesalah-pahaman antar kelompok masyarakat dan antar
kelompok agama yang pada akhirnya akan menimbulakan suatu disintegrasi bangsa
yang akan berakibat pada adanya konflik atau kekerasan bernuansa SARA.
Dalam hal ini
Abdurrahman Wahid memberikan pemikiran bahwa apa yang bisa diundangkan dalam
hukum positif adalah sebatas sumber hukum yang telah mengalami obyektifikasi.
Dalam proses pengakuan norma-norma hukum secara subyektif sebagai sesuatu yang
bisa diterima masyarakat secara keseluruhan meskipun hukum itu berasal dari
paham agama tertentu, harus sudah mengalami internalisasi di masyarakat.
Abdurrahman Wahid
berpendapat bahwa Indonesia bukanlah
negara agama, bukan pula negara Islam, sehingga tidak perlu
memberlakukan syariat Islam secara formal dan total. Indonesia adalah negara
plural yang menampung berbagai agama bukan cuma Islam. Sehingga produk
perundangannya tidak boleh ekslusif secara keseluruhan, tetapi menampung
aspirasi agama-agama yang lain. Bagi Abdurrahman Wahid bahwa pandangan yang
pluralis dan universal akan tercermin dalam monoteismenya (tauhid), hukumnya
(fiqh), dan etikanya (akhlak). Komunitas keagamaan berhak melakukan
mempromosikan nilai-nilai spiritual ataupun moral, mendamaikan, merekonstruksi
sesuai dengan ajaran agama mereka sendiri. Selain itu, penganut agama
diharapkan tetap kritis terhadap dirinya sendiri dan berupaya menghilangkan
diskriminasi berdasarkan gender, ras, bahasa ataupun status sosial dalam
masyarakat. Selain itu juga menghindari konspirasi atau pelanggaran kepentingan
publik dan hak umum orang lain.
Maka dengan demikian
pemikiran Abdurrahman Wahid tentang pluralias tidak pernah mengada-ada. Karena
beliau mempunyai sumber hukum yang kuat, sebab apa yang dilakukannya bertitik
tolak dari pemahaman yang telah dijelaskan dalam Al Qur’an Surat Hujurat Ayat 13.
Abdurrahman Wahid
berada di barisan depan untuk memperkuat pluralitas di republik ini.
Istimewanya, pluralitas yang dikembangkan Abdurrahman Wahid tidak hanya pada
tataran pemikiran, melainkan menjadi sebuah tindakan atau nilai yang digunakan
dalam memperjuangkan pluralitas agama di Indonesia. Karena bagi beliau agama
Islam adalah rahmat bagi semesta alam. Maka dari itulah keislaman dan
keindonesaan harus bisa berjalan beriringan.
1. Sikap Toleransi Dalam Keberagaman
Bagi kelompok minoritas
yang tertindas, Abdurrahman Wahid merupakan sosok kiai inklusif dan toleran
yang tidak segan-segan mempertaruhkan citra dirinya untuk membela hak-hak
mereka sebagai warga negara. Berkat perjuangannya, Abdurrahman Wahid
dianugerahi Bapak Pluralisme. Etnis Tionghoa menganggap Abdurrahman Wahid bukan
hanya sekedar mantan presiden Republik Indonesia, tetapi lebih dari itu mereka
menganggap Abdurrahman Wahid sebagai pahlawan bagi kelompok mereka karena
berkat Keppres Nomor 6/2000 yang dikeluarkannya, etnis Tionghoa di Indonesia
merasaan kebebasan mengekspresikan budaya dan kepercayaan mereka di tengah
masyarakat luas.
Abdurrahman Wahid
menemukan prinsip toleransi yang diserap dari hadis Nabi bahwa pencari
kebenaran hukum akan mendapatkan dua pahala jia benar dan mendapat satu pahala
jika salah (man ijtahada fa ashoba fa
lahu ajroni fa man ijtahada fa akhta’a fa ahu ajrun waahidun). Serta pada
jargon toleransi Al-Syafi’i: “Pendapat kami benar tetapi mungkin salah,
sedangkan pendapat kalian salah tetapi mungkin benar” (ro’yuna showabun yuhtamilu al-khoto’ wa ra’yu ghairina khata’un
yuhtamilu al-showab).
Dunia pesantren telah memberikan banyak hal pada kehidupan serta pemikiran
seorang Abdurrahman Wahid. Hal itu terbukti karena salah satu prinsip hidupnya
telah ia temukan dalam dinding-dinding pesantren. Pada prinsip pertama memliki
makna yang dalam bila kita cermati lebih dalam. Bahwasanya pencari kebenaran
akan dihargai oleh Tuhan meskipun dia salah sekalipun. Maka dari itu, kita
berkewajiban untuk menghargai segala pendapat yang ada. Suatu kebenaran
pemikran manusia tidaklah absolut dan seseorang tidak boleh merasa benar
sendiri sembari menyesatkan pendapat orang lain. Seorang Abdurrahman Wahid
kurang setuju dengan sikap dogmatis dan fanatik. Sebaliknya ia lebih banyak
belajar dari Al-Syafi’i tentang prinsip toleransi yang terbangun dari
kerendahan hati yang didalamnya terdapat pengakuan salah pada dirinya sendiri.
Dalam banyak tulisan
atau esai yang ditulis Abdurrahman Wahid kerap tapak dilengakapi dengan
semboyan populer dikalangan dunnia pesantren yaitu “perbedaan umat Islam adalah
rahmat”. Perbedaan seyogyanya tidak menyebabkan perpecahan dan permusuhan.
Perbedaan justru merupakan kasih sayang yang muncul ditengah-tengah kebinakaan
sebuah bangsa. Prinsip keislaman ini kemudian bersinergi dengan prinsip
kebangsaan Bineka Tunggal Ika yang tidak mempersoalkan perbedaan agama,
keyakinan, etnis, warna kulit dan posisi struktur sosial dalam masyarakat.
Sikap toleransi Abdurrahman Wahid berakar dari penghayatan terhadap teks-teks
inklusif Al-Qur’an. Allah berfirman bahwa “Tidak
ada paksaan dalam agama.” (QS Al-Baqarah [2]: 256). “Untukmu agamamu dan untuku agamaku.” (QS Al-Kafirun [109]: 6). “Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu Dia
menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselih pendapat.”
(QS Hud [11]: 119). Ayat-ayat tersebut menjadi landasan toleransi seorang
Abdurrahman Wahid.
Pada kenyataannya di
dalam Al-Qur’an pun jelas menegaskan bahwa suatu agama sekalipun bersifat
privat yang tidak bisa diintervensikan atau dipaksakan antara satu dengan yang
lain. Dari ayat-ayat tersebut juga telah jelas menerangkan bahwa keberagaman
merupakan sebuah keniscayaan yang harus diterima manusia. Tuhan tidak
berkehendak menjadikan umat manusiadalam satu keyakinan karena mereka senantiasa
berbeda pendapat. Maka dari itu kesadaran untuk bersikap saling toleransi
antara satu dengan yang lain perlu diterapkan sedini mungkin. Prinsip itulah
yang seharusnya bisa ditanamkan dibenak generasi bangsa demi menyongsong
perdamaian hidup berdampingan antarpemeluk agama dimuka bumi ini.
Cita-cita perdamaian
seorang Abdurrahman Wahid didasari spirit multikulturalisme dan inklusivisme
yang tergambar dalam Al-Qur’an. Allah berfirman, “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki
dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku
supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia
diantara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS Al-Hujurot
[49]: 13). Bila kita menghayati makna
dari ayat ini secara mendalam maka kita akan semakin yakin bahwa keberagaman
suku dan bangsa bukan untuk saling berperang satu sama lain, melainkan untuk
saling toleransi, saling menghargai serta saling mengenal dalam dialog
antarbudaya dan peradaban kehidupan. Setelah belajar nilai-nilai toleransi dari
dunia pesantren kemudian Abdurrahman Wahid melanjutkan studinya di Universitas
Al-Azhar Kairo dan Universitas Baghdad yang memungkinkannya berkenalan dengan
gagasan-gagasan pembaharuan Islam yang berkembang di wilayah Timur Tengah.
Al-Azhar merupakan universitas Islam tertua di dunia yang mengusung moderatisme
(wasatiyah) dan toleransi (tasamuh). Moderatisme dan toleransi
Al-Azhar tampak dalam pernyataan reformis Al-Azhar kenamaan, Muhammad Abduh,
Jika seseorang mengeluarkan
kata-kata yang mengandung kemungkunan kekufuran dari seratus sisi tetapi
mengandung keimanan dari satu sisi saja, maka arahkan kata-kata itu kepada
keimanan dan tidak boleh dikafirkan.
Pemikiran Abdurrahman Wahid sekiranya sejalan dengan
Muhammad Abduh yang menolak tentang pengafiran. Hal itu terbukti dalam
kritik-kritiknya terhadap kelompok Islam garis keras yang mudah menyesatkan
kelompok atau golongan lain. Abdurrahman Wahid menekankan untuk menjadi seorang
Muslim yang toleran yang bisa bersikap inklusif dan terbuka kepada siapa saja.
Seorang Muslim harus membersihkan hati dan pikirannya sehingga tidak mudah
berburuk sangka kepada orang lain yang berbeda pendapat. Inilah langkah-langkah
menjadi Muslim toleran.
2.
Mewujudkan
Kerukunan Beragama
Adalah suatu kenyataan yang tidak bisa dipungkiri
bahwa bumi kita ini hanya ada satu. Sementara manusia yang mendiaminya terdiri
dari berbagai suku, etnis dan agama. Itulah sebabnya agama sering kali muncul
dalam bentuk keragaman yang berbeda-beda. Dengan begitu, maka membayangkan
hanya ada satu agama dalam kehidupan umat manusia adalah sesuatu yang tampaknya
kurang relistis.
Agama bagi setiap pemeluknya memang merupakan
petunjuk dari Tuhan. Namun kehidupan beragama tetaplah merupakan fenomena
budaya ditengah masyarakat. Hal itu berarti manifestasi kberagaman seseorang
mengambil dari tempat pelataran budaya yang berbeda. Sebagai implikasinya, maka praktik keberagaman
seseorang melahirkan bentuk-bentuk berbeda dan bahkan membuat
pengelompokan-pengelompokan yang berbeda pula satu sama lain. Dengan agama
masyarakat dapat bersatu dengan menciptakan suatu ikatan kelompok bagi agama
mereka sendiri. Namun disisi lain kerap menciptakan jurang pemisahan dengan
kelompok lain yang berbeda agama maupun berbeda golongan.
Fakta telah bercerita bagaimana ketidakserasian
kehidupan yang beragam dan plural telah menjadi salah satu pemicu terjadinya
berbagai konflik dan kekerasan yang ada di negeri ini. Untuk menciptakan
keharmonisan hidup yang beragam dalam keagamaan, maka banga Indonesia harus
melakukan upaya secara maksimal dalam menjaga kerukunan beragama. Upaya
tersebut terbagi menjadi dua kelompok, yaitu: Pertama, upaya konstitusional dan politik, seperti terlihat di
dalam penetapan undang-undang, peraturan dan sejumlah petunjuk mengenai
penataan pluralitas itu. Kedua, membangun
ketulusan pluralitas melalui penumbuhan kesadaran titik temu (kalimaun sawa’) di tingkat esoterik agama-agama secara tulus, untuk
kemudian membangun harmonitas kehidupan.
Secara konstitusional pemeliharaan kerukunan
beragama bisa kita lihat pada UUD 1945 dan Pancasila. Dapat dilihat pula pada
hasil Sidang Istimewa MPR RI 1998 yang
merumuskan bahwa salah satu upaya reformasi bidang kehidupan beragama adalah
“membina kerukunan anta-umat beragama serta pembentukan dan pemberdayaan
jaringan kerja antar-umat beragama”. Lebih dari itu, UUD 1945 memberikan
kebebasan bagi pemeluk agama-agama di negeri ini untuk melaksanakan ajaran
agamanya masing-masing. Hal ini ditegaskan dalam Bab XI (agama) pasal 29 ayat 2
yang berbunyi : “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk
agamanya masing-masing dan untuk beribadah sesuai dengan agamanya dan
kepercayaannya itu”.
Sebuah aturan perundang-undangan dalam suatu bangsa
dibuat berdasarkan situasi dan kondisi bangsa tersebut. Begitu pula yang ada di
tanah air kita. Sebuah Undang-Undang Dasar terlahir dari situasi dan kondisi
masyarakat Indonesia yang pluralitstis dan beraneka ragam suku bangsa maupun
agamanya. Sebelumnya negara Indonesia mengakui lima agama menjadi agama resmi
dalam sebuah bangsa. Adapun lima agama tersebut meliputi agama Hindu, Budha,
Islam, Katolik dan Protestan. Namun saat Abdurrahman Wahid menjabat sebagai
Presiden Republik Indonesia, beliau mengeluarkan peraturan pemerintah yang
menetapkan Kong Hu Chu sebagai salah satu agama yang resmi bagi bangsa
Indonesia, sehingga agama yang dilayani dan diakui secara resmi di Indonesia
menjadi enam agama.
Abdurrahman Wahid merupakan sosok yang tegas dan
disiplin dalam menentukan atau memutuskan sebuah permasalahan negara maupun
agama. Abdurrahman Wahid membela umat Tionghoa agar masuk kedalam salah satu
agama yang diakui bangsa Indonesia bukan dilatar belakangi oleh landasan
teologisnya. Karena bila dilihat dari segi ketuhanan, agama Islam dengan Kong
Hu Chu jelas sangatnya berbeda, baik secara hakikat maupun secara syariatnya.
Keputusan itu di ambil atas dasar pengamalan Pancasila dan UUD 1945. Dalam
pembukaan UUD 1945 disebutkan bahwa untuk memebentuk suatu pemerintahan negara
Indonesia dan persatuan Indonesia. Kemudian daripada itu disebutkan pula
Pancasila dalam pembukaan UUD 1945 guna menjadikan masyarakat yang majemuk itu
dapat terbentuk menjadi satu bangsa yang utuh dan bersatu padu tanpa melihat
perbedaan yang melatar belakangi masyarakat yang ada.
Baik Undang-Undang Dasar 1945 maupun Pancasila,
keduanya adalah dasar negara Indonesia yang tidak akan pernah tergantikan. Seperti
yang dikatakan Abdurrahman Wahid mengenai penerapan Pancasila:
Pancasila adalah
serangkaian prinsip-prinsip yang bersifat lestari. Ia memuat ide yang baik
tentang hidup bernegara yang mutlak diperjuangkan. Saya akan mempertahankan
Pancasila yang murni dengan jiwa raga saya. Terlepas dari kenyataan bahwa ia
tidak jarang dikebiri atau dimanipulasi, baik oleh segelontir tentara maupun
sekelompok umat Islam. Tanpa Pancasila, Negara Republik Indonesia tidak akan
pernah ada.
Namun sayangnya, permasalahan kerap muncul dari
dalam Islam sendiri. Dalam tubuh Islam terdapat skat-skat perbedaan antara
kelompok satu dengan yang lain. Hal itu terbukti dengan maraknya konflik atau
kekerasan dalam Islam hanya dikarenakan perbedaan ideologi dan prinsip dari
masing-masing kelompok. Sekelompok orang bersikeras berusaha mempertahankan
ideologi kelompoknya sendiri, dan tak jarang mereka memaksa kelompok lain untuk
mengikutinya. Dari sinilah awal mula
suatu konflik atau kekerasan terjadi.
Menanggapi permasalahan tersebut, Abdurrahman Wahid
menyikapinya dengan cara cermat. Beliau masih mempertahankan prinsip demokrasi,
pluralisme, dan humanisme. Seseorang yang pernah mengalami dan merasakan
perjalanan religius tentu saja tidak akan pernah dirasakan dan dialami orang lain
atau kelompok lain. Artinya setiap orang atau kelompok akan mengalami
pengembaraan mereka sendiri. Pengalaman pribadi orang tidak akan pernah sama
dengan pengalaman orang lain. Dari kenyataan inilah, maka Abdurrahman Wahid
menyimpulakan bahwa Islam yang dipikirkan dan dialaminya adalah sesuatu yang
khas yang disebut “Islamku”.
Dan orang lain tidak berhak untuk memaksa agar bisa sama, karena apa yang
dirasakan dan dialami setiap orang pastilah berbeda. Kalau pandangan ini
dipaksakan juga, akan terjadi dislokasi pada diri orang lain yang justru akan
membunuh keindahan semula dari pandangannya sendiri.
Hampir tidak ada satupun agama yang mengajarkan
umatnya untuk saling melukai satu sama lain. Pada dasarnya setiap ajaran agama
mengajarkan kebaikan. Mengajarkan seseorang untuk saling menghargai dan menjaga
antar sesama manusia. Sudah sepantasnya kita hidup di negeri yang majemuk ini,
yang memiliki keberagaman etnis, ras, bahasa serta agama untuk saling menjaga
kelestariannya. Jadikanlah perbedaan ini sebagai rahmat Tuhan untuk kita semua.
Dengan adanya perbedaan ini justru kita jadi bisa belajar dan berinteraksi satu
sama lain.
Jika Tuhan memberikan kebebasan untuk memilih jalan
hidup bagi seseorang, maka kita tidak memiliki otoritas apapun untuk memaksa
seseorang untuk mengikuti agama tertentu. Bukan nama agama yang
dipermasalahkan. Bukan pula ajaran agama yang disalahkan. Akan tetapi perilaku
kita yang harus diutamakan.
Karen Armstrong pun
kesulitan mendefinisikan sebuah kata yang bernama agama. Dalam bukunya “Sejarah
Tuhan”, ia menuliskan definisi agama berdasarkan Philosopical Dictionary yang dikarang oleh Francois-Marie de
Voltaire,
sebagai berikut: “Bukankah itu agama yang banyak mengajarkan moralitas dan
sangat sedikit dogma? Yang condong membuat manusia menjadi adil dan tidak
membuat mereka bodoh? Yang tidak memerintahkan orang untuk meyakini sesuatu
yang mustahil, bertentangan, merusak nilai-nilai ketuhanan, dan berbahaya bagi
umat manusia, dan tidak mengancam dengan
hukuman kepada siapa saja yang memiliki akal sehat? Bukankah itu agama yang
tidak menegakkan ajarannya melalui pemaksaan dan tidak menggenangi bumi dengan
darah? Bukanya agama yang hannya mengajarkan pengabdian kepada suatu Ilahi,
kepada keadilan, toleransi dan kemanusiaan?
B.
Pandangan
Abdurrahman Wahid Tentang Nilai-Nilai Humanisme Dalam Kehidupan Beragama
Sebagai pejuang
reformis, Abdurrahman Wahid selalu ingat akan gagasan universal bahwa kita
menghargai keajemukan melalui ucapan, sikap dan perbuatan. Abdurrahman Wahid
menyadarkan sekaligus melembagakan penghormatan kita pada kemajemukan ide dan
identitas, kemajemukan pada kepercayaan agama, etnik dan kedaerahan.
Mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan bagi Abdurrahman Wahid, tidaklah dianggap
melawan logika ajaran agam. Nilai kemanusiaan (Humanisme) adalah salah satu
inti dari ajaran agama. Tidak ada agama yang tidak mengajarkan penghormatan
atas nilai-nilai tersebut.
Selanjutnya, dari
wawasan humanisme kita bisa melihat mengapa Abdurrahman Wahid begitu akrab
dengan kelompok-kelompok diluar Islam. Keterlibatannya dalam fordem dan
keterbukaanya dalam memenuhi undangan, tidak terkecuali dari penganut agama
lain. Berdasarkan pemahaman ini, menjadi wajar pula bila Abdurrahman Wahid
sangat menolak sikap bentuk kekerasan apalagi didalamnya berdimensi agama. Masih ingat kasus konflik
berdarah di Ambon serta Kupang, yang ditolaknya adalah perlibatan agama untuk
melakukan kekerasan didalam koflik tersebut.
Kasus Ahmadiyah dengan
berpegang pada UUD 1945 yang menjamin kebebasan memeluk dan menjalankan
keyakinan bagi seluruh warga negara tanpa terkecuali. Abdurrahman Wahid
menegaskan, dari segi keyakinan dirinya jelas berbeda dengan pengikut
Ahmadiyah, namun sebagai warga negara ia harus menaati konstitusi. Abdurrahman
Wahid membela Ahmadiyah dan menolak keras aksi kekerasan terhadap mereka yang
melakukan kekerasan. Kebenciannya terhadap kekerasan dan terorisme terlihat
pula pada kecaman kerasnya terhadap penggunaan kekerasan oleh kaum Islam
radikal.
Dari segi kultural,
Abdurrahman Wahid melintasi tiga model lapisan budaya. Pertama, Abdurrahman
Wahid bersentuhan dengan kultur pesantren yang sangat hierarkis, tertutup dan
penuh dengan etika yang serba formal.
Kedua, dunia Timur Tengah yang terbuka dan keras. Ketiga, budaya Barat yang
liberal, rasional dan sekuler. Kesemuanya itu tampaknya masuk dalam pribadi
membentuk sinergi. Hampir tidak ada pengaruh yang dominan dalam membentuk
kepribadian Abdurrahman Wahid. Hal itulah yang menyebabkan Abdurrahman Wahid
selalu kelihatan dinamis dan tekadang sulit untuk dipahami.
Kasus etnis Tiong Hoa
dan agama Kong Hu Chu yang berupa peristiwa gugatan pasangan Tiong Hoa yang
tidak di akui perkawinannya. Dalam sidang pengadilan tersebut Abdurrahman Wahid
datang memberikan dukungan moral terhadap kedua pasangan tersebut. Walaupun
dalam kasus ini kalah, namun dengan peristiwa ini setidaknya Abdurrahman Wahid
menunjukan perhatiannya terhadap kalangan minoritas. Ketika penganut Kong Hu
Chu mencoba memperoleh pengakuan
pemerintah pada tahun 1996, Abdurrahman Wahid
mengatakan bahwa jika pemerintah tidak mengakui Kong Hu Chu sebagai
agama itu sama artinya dengan anti historis. Baginya permintaan Kong Hu Chu
sebagai hal yang wajar sebagai bagian
dari kebebasan warga Negara. Abdurrahman Wahid melihat dari sudut pandang kebebasan
bernegara, bukan melihatnya sebagai ancaman bagi agama Islam.
Peristiwa penting yang
perlu di catat untuk menunjukan sikap kontranya terhadap diskriminasi dan lebih
berfikiran universal adalah terbitnya Kepres No. 6/2000 yang memperbolehkan
etnis Tionghoa untuk mengekspresikan kebudayaannya termasuk kebebasan
menjalankan keyakinannya. Hal inilah yang mengilhami dinobatkannya Abdurrahman
Wahid sebagai “Bapak Tionghoa” pada
tahun 2004, terlepas dari ada tidaknya nuansa politik pada waktu itu.
Kemudian yang menjadi
catatan berikutnya adalah ketika mencuat kasus Goyang Ngebor Inul Daratisa.
Inul dihujat sejumlah kalangan termasuk para ulama dan seniman yang mengaggap
goyang ngebornya melanggar batas-batas kesusilaan umum. Di tengah kontroversi
tersebut Abdurrahman Wahid melindungi dan membela Inul dengan di dasarkan pada
melindungi hak asasi wong cilik bernama Inul dari hegemoni elit keagamaan dan
klaim atas moralitas kesenian yang agak represif.
Selanjutnya kasus Ulil
Absor Abdalla,
Abdurrahman Wahid tanpa ragu membela intelektual muda NU ini yang juga tokoh
muda Islam Liberal. Seperti di ketahui, sejumlah ulama dan aktifis Islam
tertentu menilai pemikiran Ulil Absor telah sesat dan keluar dari Islam. Maka
dari itu mereka meminta untuk menghukum mati Ulil Absor. Yang lebih menarik
lagi bahwasanya sejumlah tokoh NU sendiri ada yang menganggap Ulil sesat.
Menanggapi kecaman terhadap Ulil, Abdurrahman Wahid berprinsip bahwa perbeadaan
pendapat harus dihargai dan tidak seharusnya melahirkan kekerasan dan ancaman.
Menurut Abdurrahman Wahid, Ulil Absor adalah tokoh yang berhasil menekankan
bahwa kebebasan berfikir adalah sebuah
keniscayaan dalam Islam. Oleh karena itu Abdurrahman Wahid mengkritik keras
mereka yanng dengan gampang melayangkan tuduhan yang berat terhadap Ulil Absor
dan mengatakan bahwa fatwa hukuman mati tersebut sama sekali tidak mendasar.
1. Sikap Kasih Sayang Pada Semua
Islam adalah agama suka
damai, berbesar hati, murah dalam pengampunan, dan kaya akan kesayangan dan
kasih. Begitu menyedihkan jika melihat banyak kasus-kasus yang tak kenal
toleransi dan masih adanya orang-orang yang menamakan diri Muslimin tetapi
mempraktikkan teror, suka main senjata dan sempit jiwa, karena hal itu merusak
citra Islam tadi yang sebenarnya amat toleran, suka damai, penuh pengampunan
dan pengasih.
Tema yang paling muncul
dalam tulisan Abdurrahman Wahid adalah bahwa Islam adalah keyakinan yang
menebar kasih sayang, yang secara mendasar menghargai perbedaan. Bagi
Abdurrahman Wahid, Islam adalah agama kasih sayang sekalius agama keadilan dan
kejujuran. Artinya Islam adalah keyakinan yang egaliter, keyakinan yang secara
fundamental tidak mendukung perlakuan yang tidak adil karena alasan kelas,
suku, ras, gender atau pegelompokan-pengelompokan lainnya dalam masyarakat.
Bagi Abdurrahman Wahid, Islam adalah keimanan yang mengakui bahwa dalam
pandangan Tuhan semua manusia adalah setara. Bagian dari keyakinan mendasar
Abdurrahman Wahid adalah bahwa nilai-nilai yang mendasari demokrasi dan
liberalisme adalah nilai-nilai universalisme.
Abdurrahman Wahid
adalah orang yang konsisten dengan prinsip-prinsipnya. Prinsip-prinsip itu
berakar pada pemahamannya terhadap Islam liberal, yaitu pemahamannya yang
menekankan pada rahmat, pengampunan, kasih sayang Tuhan dan keharusan kita untuk
mengikuti sifat-sifat ini dalam kehidupan sehari-hari, terutama dalam kehidupan
beragama.
Abdurrahman Wahid
memang sudah lama dikenal sebagai pembela orang yang lemah dan selama
berpuluhh-puluh tahun ia adalah orang yang terus terang, sering mempertaruhkan
reputasi persoal yang cukup besar, dalam membela kelompok yang orang lain
enggan membelaya. Komitmen pada sikap keterbukaan, kasih sayang dan pembebasan
dalam hubungan atntar golongan maupun antar iman sekalipun merupakan salah satu
idntitas Abdurrahman Wahid dalam memandang kehidupan publik baik religius
maupun politik dalam amsyarakat luas.
Salah satu tugas utama
zaman kita ini tidak lain adalah untuk membangun sebuah komunias global
didalamnya semua orang dapat hidup bersama dalam sikap saling menghormati.
Namun agama yang seharusnya memberi konstribusi besar justru dianggap bagian
dari masalah. Masing-masing agama telah merumuskan versinya sendiri dari apa
yang disebut sebagai Kaidah Emas:”Jangan perlakukan orang lain dengan cara yang
tidak kita inginkan untuk diri kita sendiri” atau dalam bentuk lain berbunyi:
“Selalu perlakukan orang lain sebagaimana yang kita inginkan untuk diri kita sendiri.”
Lebih jauh lagi, hampir semua agama setuju untuk tdak membatasi kasih sayang
kita hanya kepada kelompok kita sendiri. Kita harus memiliki kepedulian untuk
semua orang bahkan musuh-musuh kita sekalipun. Namun sayangnya, belakangan ini
kita kerap mendengar opini-opini publik yang mengatakan bahwa agama sudah
menjadi penyebab seluruh kekerasan yang ada dibelahan dunia ini. Akan tetapi
pada kenyataannya, penyebab konflik atau kekerasan tersebut biasanya disebabkan
karena ketamakan, kebencian dan ambisi seorang individu atau kelompok. Tetapi
dalam upaya mensterilkannya, emosi-emosi yang memperturutkan nafsu sendiri ini
kerap dibungkus dalam retorika sebuah agama.
Karen Armstrong seorang
tokoh dari barat yang berjuang untuk peradamaian dunia membuat gagasan untuk
menciptakan sebuah Piagam Belas Kasih atau yang biasa disebut Charter for Compassion. Piagam tersebut
ditulis oleh para pemikir terkemuka dari berbagai negara besar dan akan
mengembalikan nilai kasih dan sayang sebagai inti kehidupan religius dan moral.
Piagam itu nantinya akan melawan suara-suara ekstrimisme, intoleransi dan
kebencian. Piagam itu akan menunjukan bahwa meskipun kita semua sangat
berbeda-beda, kita semua sepakat bahwa satu hal ini adalah mungkin untuk
menjembatani perbedaan itu dan bekerja sama untuk keadilan dan perdamaian.
Peresmian Piagam Belas Kasih ini diresmiakan di Swiss pada tahun 2009 kemudian
diluncurkan diberbagai negara di seluruh dunia. Adapun isi dari Charter for Compassion (Piagam Belas
Kasih) adalah sebagai berikut :
Prinsip
kasih dan sayang yang bersemaya di dalam jantung seluruh agama, etika dan
tradisi spiritual, mengibau kita untuk selalu memperlakukan semua orang lain
sebagaimana kita sendiri ingin diperlakukan.
Belas
kasih mendorong kita untuk bekerja tanpa lelah menghapuskan penderitaan sesama
manusia, melengserkan diri kita sendiri dari pusat dunia kita dan meletakkan
orang la di sana, serta menghormai kesucian setiap manusia lain, memperlakukan
setiap orang, tanpa kecuali dengan keadilan, kesetaraan dan kehormatan mutlak.
Dalam
kehidupan publik maupun pribadi pun penting untuk konsisten dan empatik
mencegah apa-apa yang menyebabkan penderitaan. Bertindak atau berbicara secara
kasar karena kebencian, kepentigan sendiri, nuntu memiskinkan, mengeksploitasi
atau mencabut hak-hak dasar dari siapa pun dan mengahasut kebencian dengan
merendahkan orang lain-musuh sekalipun-merupakan penyangkalan kemanusiaan kita
bersama.
Kami
mengakui bahwa kami telah gagal untuk hidup secara berbelas kasih dan bahwa
sebagian bahkan telah meningkatkan jumlah penderitaan manusia atas nama agama.
Kami
dengan demikian menyerukan kepada seluruh laki-laki dan perempuan :
¾ Untuk
mengembalikan belas kasih ke pusat moralitas dan agama.
¾ Untuk
kebali pada prinsip kuno bahwa setiap interpretasi atas kitab suci yang
menyuburkan kekerasan, kebencian atau kebejatan adalah tidak sah.
¾ Untuk
memastikan bahwa kaum muda diberi informasi akurat dan penuh rasa hormat
mengenai tradisi, agama dan budaya lain.
¾ Untuk
mendukung apresiasi positif atas keragaman budaya dan agama.
¾ Untuk
menumuhkan empati yang cerdas atas penderitaan manusia-bahkan mereka yang
dianggap sebagai musuh.
Kita
perlu dengan menjadikan belas kasih sebuah kekuatan yang jelas, bercahaya dan
dinamis di dunia kita yang terpolarisasi. Berakar dalam tekad yang berprinsip
mengatasi keegoisan, belas kasih dapat menembus batas-batas politik, dogmatis,
ideologi dan agama. Lahir dari saling kebegantungan kita yang menadalam, kasih
sayang adalah penting bagi hubungan manusia dan bagi kemanusiaan paripurna. Ini
adalah jalan menuju pencerahan, dan sangat diperlukan untuk mencitakan ekonomi
yang adil dan komunitas global yang damai.
2. Mewujudkan Soleh Normatif dan
Sosial
Dalam kehidupan
beragama, sering kita jumpai bahwa iman dan amal tampak tidak berimbang.
Penghayatan nilai-nilai keimanan sering terpisahkan dengan nilai-nilai amalnya.
Hal ini disebabkan dalam merumuskan keimanan, seorang beragama jarang mengaitkan
dengan urusan sosialnya. Sesungguhnya urusan sosial tersebut merupakan bagian
yang tidak terpisahkan dari iman itu sendiri. Sementara itu disisi lain
kerapkali terjadi kontradiksi atau gap antara
antara nilai iman dan nilai amal. Padahal, pada dasarnya agama diyakini
pemeluknya sebagai pembawa rahmat dan penyelamat umat dan secara normatif agama
juga dianggap kontrol sosial, edukatif dan pemersatu umat di tengah masyarakat
luas.
Secara normatif agama
selalu mengajarkan harmoni dan kasih sayang. Jika dicermati secara serius,
sesungguhnya inti agama adalah iman dan amal. Iman harus kokoh dan dibangun
lebih dahulu. Sebab jika tidak, akan menggoyahkan sendi-sendi kehidupan
manusia. Iman yang benar pasti melahirkan perbuatan dan sikap tingkah laku yang
positif (amal salih). Sebab percaya kepada Tuhan berarti patuh dengan semua
aturan-aturan-Nya. Dengan demikian, iman dan amal harus integrated dalam diri manusia beragama.
Dalam kehidupan
sehari-hari dapat kita saksiakan dala keberagaman kita, bahwa antara iman dan
amal saleh tapak tidak berimbang. Dengan kata lain, penghayatan dalam
nilai-nilai keimanan sering terpisahkan dengan peran sosial agama. Hal ini
disebabkan di satu pihak dalam merumuskan pengertian iman dalam agama tidak
mempertautkan dengan kondisi sosial sebagai gambaran implikasi secara praktis.
Akibatnya, dari ketidakseimbangan antara amal dan iman memunculkan kritik
terhadap agama dan pemeluknya. Yang terjadi adalah agama mempunyai image kurang positif. Itu disebabkan
karena seseorang hanya egois, individualis dan hanya memperhatikan praktik
ritual keagamaan tanpa melihat situasi dan kondisi tatanan masyarakat yang
membutuhkan.
Lalu bagaimana cara
kita mendapatkan keduanya? Berperilaku adil dan seimbang antara iman dan amal
saleh. Abdurrahman Wahid mengatakan bahwa sebagai jalan menuju Tuhan,
perjuangan sosio-kultural untuk membangun sistem yang menyejahterakan rakyat (hablun minannas) secara keseluruhan
merupakan jalan tertinggi dan lebih cepat sampai kepada Tuhan daripada melalui
jalan ritual-individualistik (hablun
minallah) semata. Oleh karena itu, sebagai mana yang pernah kita tahu
Abdurrahman Wahid pernah melontarkan gagasan perlunya umat Islam segera
melengkapi sistem “Rukun Iman” dan “Rukun Islam” yang sudah sangat mapan itu
dengan merumuskan dan mngajarkan “Rukun Sosial” yang masih rapuh di kalangan
umat Islam. Dengan kata lain, Abdurrahman Wahid merekomendasikan suatu
rekonstruksi sistem Etika Sosial Islam dan memberinya status yang sejajar
dengan Rukun Iman dan Rukun Islam, agar keberadaan umat Islam bisa benar-benar
menjadi rahmat bagi rakyat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Namun kenyataanya
berbalik dengan apa yang diharapkan. Menurut Budiman, sebuah agama bisa
terseret dalam kasus konflik atau kekerasan ditanah air karena agama diinstitusikan. Apabila sebuah agama telah berubah menjadi
sebuah organisasi sekelompok orang, maka ia akan dituntut untuk bersaing dengan
kelompok atau agama lain. Konflik yang terjadi dalam hal ini bukan karena
perbedaan konsep normatif yang diajarkan masing-masing agama. Melainkan
organisasi agama tersebut yang terus bersaing mendapatkan apa yang menjadi
tujuan organisasai tersebut. Apabila hati nurani sudah tertutup akan sebuah
kepentingan kelompok, maka bukan tidak mungkin mereka akan menghalalkan segala
cara untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan.
Abdurrahman Wahid
merupakan sosok tokoh Islam Indonesia sebagai perintis dan penggerak
ortopraktis. Artinya adalah konfigurasi antara nilai-nilai normatif dan
reaktualisasi ajaran agama yang dibutuhkan dalam masyarakat era global ini.
Disinilah kita bisa melihat kesejajaran yang menggembirakan dengan apa yang
diharapkan dan dibahas oleh inisiator utama Konsili Vatikan II, Paus Yohanes
XXIII dalam ajakannya mencari aggiornamento
(meng-up-to-date-kan, merelevansikan
atau mengaktualisasikan) hazanah iman, harapan dan cinta kasih kristiani Gereja
Katholik Roma dalam dinamika perubahan zaman sekarang ini.
Pola pikir yang
dilandasi dari nilai kemanusiaan yang tinggi telah melahirkan gagasan
universalnya dalam Islam. Abdurrahman Wahid menegaskan bahwa harus ada
keseimbangan antara hubungan kita dengan Tuhan (hablu minallah) dan hubungan kita dengan sesama manusia (hablu minannas). Sebuah ajaran normatif
dalam Islam haruslah dapat diterapkan dalam kehidupan dewasa ini. Hal itu harus
disesuaikan dengan kehidupan sosio-cultur
yang ada ditengah masyarakat. Agar tidak terjadi kesenjangan antara apa
yang telah diajarkan dalam Islam dengan apa yang ada ditengah masyarakat luas.
Sementara itu, inklusivisme dalam Islam tercermin dari ajaran Islam yang
bersifat universal. Artinya sebuah ajaran agama yang menampilkan kepedulian
yang sangat besar terhadap unsur-unsur kemanusiaan. Kemudian diimbangi pula
dengan kearifan yang muncul dari keterbukaan dari dalam diri tanpa kehilangan
jati diri keislaman dan keindonesiaan.
C.
Aktualisasi
Nilai-nilai Islam Inklusif Abdurrahman Wahid dalam Pendidikan Islam
Dalam agama Islam, kaum
Muslimin mempunyai tugas untuk menyebarkan agama mereka serta menegakkan hukum
Allah di bumi-Nya.
Dapat dimaknai secara umum terdapat dua perintah pokok dalam pendidikan Islam
yaitu: amar ma’ruf nahi munkar. Namun
disamping itu dalam pendidikan Islam tidak ada paksaan untuk masuk ke dalam
agama Islam itu sendiri. Dalam Islam pun melarang kaumnya untuk mengajak orang
lain masuk Islam dengan jalan kekerasan, apalagi dengan jalan peperangan bahkan
sampai membunuh. Untuk itu diperlukan konsep teologi kerukunan antar umat
beragama dalam sistem pendidikan yang ada di Indonesia.
Nilai-nilai Islam yang
bersifat inklusif dapat diaplikasikan dalam sistem pendidikan Islam
berparadigma inklusif. Berangkat dari pemikiran
inklusifnya, Abdurrahman Wahid memandang pendidikan islam merupakan
suatu sistem nilai universal untuk membentuk kepribadian anak yang sholeh, kritis
terhadap realitas yang tidak adil, menghargai plualitas serta peduli terhadap
nilai kemanusiaan. Pendidikan Islam diharapkan mampu menyesuaikan dengan nilai
modernisasi yang berbasis ilmu pengetahuan. Adapun tujuan Pendidikan Islam
menurut Abdurrahman Wahid adalah untuk menyempurnakan kepribadian anak sesuai
dengan tuntutan agama dan berakhlak universal. Dalam konteks yang lebih luas
tujuan pendidikan Islam membentuk pribadi yang kritis yang peduli terhadap
pluralitas sosial, hak asasi manusia, sadar terhadap hak-hak publik dan taat
pada hukum negara.
Nilai-nilai pluralisme Abdurrahman
Wahid adalah pandangan yang menekankan keterbukaan untuk menemukan kebenaran
dimanapun juga.
Pluralisme yang ditekankannya adalah dalam bertindak dan berpikir yang pada
akhirnya akan melahirkan sikap toleransi dan akan tercipta kerukunnan beragama
didalam kehidupan bermasyarakat. Sikap toleran tidak tergantung pada tingginya
tingkat pendidikan formal atau kepintaran pemikiran secara ilmiah, tetepi
persoalan hati dan perilaku.
Pendidikan Islam
disamping mengutamakan proses potensi, menurut H.M. Arifin juga dipentingkan
nilai-nilai Islam demi terbentuknya kepribadian muslim, lebih lanjut ia
mengatakan, pendidikan Islam sebagai sistem yang dapat memberikan kemampuan
seseorang untuk memimpin kehidupannya sesuai dengan cita-cita Islam,
sebagaimana nilai-nilai Islam yang menjiwai dan mewarnai corak kepribadiannya.
Nilai-nilai yang
diajarkan dalam pendidikan Islam merupakan nilai-nilai yang berdiensi ilahiyah
dan insaniyah. Nilai pertama, mengajarkan bagaimana hubungan manusia dengan
sang pencipta. Sedangkan nilai yang kedua menekankan pola hubungan manusia
dengan sesama dan alam sekitar. Dengan adanya kombinasi dua nilai tersebut maka
diharapkan akan terbentuk seorang siswa atau individu yang mempunyai sikap
kesholehan normatif dan kearifan sosial.
Adalah menarik bahwa ide kerukunan antar umat
beragama di masa orde baru merupakan program pemerintah. Hal ini mengidentifikasikan
bahwa pemerintah membimbing umat beragama untuk hidup toleran, rukun dan damai
dibawah payung Negara Kesatuan Republik Indonesia. Bentuk itu sendiri
dituangkan dalam program yang disebut trilogy kerukunan, yakni:
1) kerukunan intern umat beragama, 2) kerukunan antar umat beragama, 3)
kerukunan antar umat beragama dan pemerintah.
Pembaharuan pendidikan
Islam merupakan pembahasan yang penting
dalam sistem pendidikan khususnya yang ada di Indonesia. Tidak bisa dipungkiri Indonesia adalah negara yang
majemuk yang mempunyai keragaman suku, ras, etnis dan juga agama. Maka dari itu
diperlukan suatu sistem pendidikan yang bisa menjadi wadah itu semua untuk
membawa pada kemajuan bangsa. Melalui pendidikan Islam inklusif ini diharapkan
pembaharuan pendidikan Islam akan berjalan. Pembaharuan pendidikan Islam yaitu
ajaran-ajaran Islam harus diutamakan, dan kaum muslimin harus dididik mengenai
ajaran-ajaran tersebut. Yang perlu diubah atau diperbaharui adalah cara
penyampaiannya kepada peserta didik. Dengan hal itu mereka akan mampu memahami
dan mempertahankan kebenaran yang ada dalam agama Islam, tanpa terpengaruh
dogma-dogma yang ada pada agama lain. Bahwa hal ini memiliki validitas sendiri,
dapat dilihat dari kesungguhan anak-anak muda muslimnin terpelajar, untuk
menerapkan apa yang mereka anggap sebagai ajaran-ajaran yang benar tentang
Islam.
Begitu juga semangat
menjalankan ajaran agama Islam, datangnya lebih banyak dari komunikasi di luar
sekolah seperti halnya di tengah masyarakat luas. Dengan kata lain, pendidikan
Islam tidak hanya disampaikan dalam ajaran-ajaran formal Islam di
sekolah-sekolah agama/madrasah belaka, melainkan juga sekolah-sekolah non
keagamaan sekalipun diluar sana.
Dialog antar umat
beragama secara terbatas hanya melibatkan tokoh-tokoh elit organisasi
keagamaan, fungsionaris yang berwenang dalam lembaga keagamaan, tokoh-tokoh
masyarakat yang dianggap terpandang. Namun yang sangat disayangkan yaitu masih
sangat jarang sekali forum-forum dialog ini melibatkan guru-guru khususnya guru
agama. Guru agama merupakan ujung tombak pendidikan agama Islam dari tingkat
Taman Kanak-kanak (TK) sampai ke tingkat Perguruan Tinggi sekalipun nyaris
tidak tersentuh oleh gelombang pergumulan pemikiran dan diskursus pemikiran
keagamaan diseputar isu pluralitas dan dialog antar umat beragama selama hampir
30 tahun terakhir.
Khusus mengenai
guru-guru sebagai sosialisasi perlu diberi pemahaman. Guru harus menjadi
pengajar dan pendidik, selain itu juga harus menjadi teladan penghayatan nilai.
Pengakuan terhadap pluralitas data digali dalam al-Qur’an, yang menuntut
pandangan egalitarianisme.
yang tecantum dalam ayat-ayat al Qur’an yang menegaskan kedudukan manusia
diatas bumi sebagai khalifah. Yang paling pokok dalam konteks ini adalah adanya
prinsip kesatuan umat manusia ditengah-tengah pluralitas yang digariskan Allah
SWT serta sikap humanis terhadap sesama dalam masyarakat luas tanpa melihat
segala perbedaan yang ada. Maka dari itu, sebagai muslim yang baik tidaklah akan terlintas dalam benak
pikirannya mereka untuk memaksa manusia lain agar mereka masuk agama
Islam. Selain menjunjung nilai-nilai
humanisme, Allah sendiri pun menghendaki pluralitas agama di muka bumi ini
sperti yang telah difrimankan dalam Al-Qur’an.
Seperti yang kita
ketahui bahwa di negara kita terdapat 6 agama yang diakui secara resmi, yaitu
Islam, Kristen, Khatolik, Hindu, Budha
dan Konghuchu. Dari keenam agama yang ada di Indonesia ini, agama Islam
merupakan mayoritas yang dipeluk ditanah air ini. Kemajemukan yang ada dalam
republik ini bukan hanya dalam banyaknya suku, bahasa, ras maupun budaya,
melainkan hingga segi agama yang menyangkut kepercayaan seorang manusia.
Walaupun kita juga tidak bisa menafikan bahwa berbagai perbedaan dan
kemajemukan tersebut menjadi salah satu faktor munculnya sejumlah konflik yang
ada di Indonesia.
Kemajemukan yang tumbuh
subur di negeri ini, termasuk didalamnya terdapat perbedaan agama adalah suatu
relitas sosial yang harus kita terima. Berbagai perbedaan ini bila disikapi
secara bijak dengan cara mengaktualisasi dalam kehidupan sehari-hari maka
niscaya akan menciptakan tatanan masyarakat yang damai. Dengan menjunjung
tinggi nilai-nilai toleransi dan kerukunan beragama. Serta menumbuhkan
nilai-nilai kasih sayang terhadap sesama maka akan terjalin sebuah hubungan
yang harmonis dalam kehidupan. Sebuah kehidupan yang harmonis adalah ketika
terjadi keseimbangan antara urusan ketuhanan (Ibadah) dan kemanusiaan
(muamalah).
Kemajemukan bukanlah
faktor yang melemahkan pilar kesatuan bangsa, tetapi kemajemukan tersebut
menjadi pilar penguat yang seharusnya mampu menyatukan berbagai elemen dan
merekat mmenjadi suatu yang indah dalam kehidupan untuk kita nikmati bersama.
Namuin tidak bisa
dipungkiri bahwa sejarah pernah mencatat peristiwa buruk tentang keberagaman.
Tidak hanya sekali praktek keagamaan kaum muslimin menimbulkan ketegangan
antara satu kelompok dengan kelompok lain. Bahkan tidak jarang ketegangan itu
berujung pada tindak kekerasan yang beraibat perselisihan dan perpecahan.
Nucholis Madjid
menambahkan bahwa keberagaman tidak serta dapat melahirkan sikap positif,
misalnya sikap saling menghormati dan toleransi, jika tidak didukung oleh sikap
terbuka untuk menerima perbedaan dalam beragama itu.
Ketegangan-ketegangan yang muncul sepanjang perjalanan sejarah umat Islam yang
diakibatkan oleh perbedaan agama, dapat dipastikan berpangkal pada tidak adanya
sikap keterbukaan dalam suasana pluralitas agama serta minimnya nilai humanis
dalam diri manusia tersebut. Untuk menumbuhkan keterbukaan barangkali tidak semudah
membalikan telapak tangan. Ketegangan dalam perbedaan agama tersebut tidak
semata-mata muncul karena masalah pemahaman saja, tetapi sering tersamar
bercampur dengan unsur-unsur diluar permasalahan tersebut. Unsur-unsur luar itu
yang kemudian disebut “Kepentinngan Tertanam”, baik pribadi maupun kelompok.
Pendidikan Islam berparadigma
inklusif diharapkan mampu mengubah pemahaman dan penghayatan keislaman
masyarakat muslim Indonesia khususnya dan masyarakat beragama pada umumnya.
Sikap eklusivisme perlu diubah
menjadi sikap inklusivisme dan universalisme. Dengan hal tersebut
diharapkan dapat melahirkan suatu generasi yang siap toleran (Tasamuh) dan menyayangi satu sama salin
dalam beragama sehingga tidak melahirkan muslim yang ekstrem, yang membalas
kekerasan agama dengan kekerasan pula.
Dalam hal ini,
pendidikan Islam dapat dibanggakan dan diandalkan sebagai: pertama, kekuatan spiritual masyarakat
bangsa yang dianggap mampu menjadikan
masyarakat sebagai manusia yang adil dan beradab, berakhlak baik dan terpuji. Kedua, sebagai potensi dasar untuk
membentuk tradisi berpikir, bersikap dewasa, terbuka dan toleran. Ketiga, menjawab basic need masyarakat dari generasi ke generasi untuk bisa hidup
berdampingan secara dinamis dan rukun dalam keberagaman agama, etnik dan
budaya.
Inklusivisme bukanlah
semacam kompromi akidah dan ibadah. Tentang kompromi akidah dan ibadah akan
mengingatkan kita pada suatu peristiwa yang monumental dan diabadikan dalam
Al-Qur’an. Dalam kisah para pemuka kafir quraisy tiba pada suatu kondisi merasa
tak mampu lagi membendung upaya dakwah yang dilakukan Nabi Muhammad SAW dan
menyadari bahwa suatu saat kepercayaan paganisme (Penyembah Berhala) akan
tersingkir oleh risalah Islam, maka kemudian mereka mendatangi Nabi dan
menawarkan suatu kompromi dalam peribadatan.
Kaum kafir Quraisy
menawarkan mengajak kaum Muslimin untuk mengakui kebenaran kedua belah pihak
dengan cara melakukan ibadah secara bergantian. Hal tersebut dilakukan dengan
cara hari ini kedua belah pihak melakukan ibadah kaum Muslim, keesokan harinya
kedua belah pihak melakukan ibadah penyembah berhala secara berurutan
terus-menerus. Namun tawaran kompromi akidah dan ibadah itu ditolak
mentah-mentah oleh Allah dan Rasul-Nya. Kemudian tidak lama setelh peristiwa
itu Allah mengutus malaikat Jibril untuk menurunkan wahyu surat Al-Kafirun.
Pada surat Al-Kafirun ayat 2,
agama Islam menolak dengan keras segala bentuk kompromi mengenai akidah dan
ibadah dengan orang kafir.
Pada potongan ayat
tersebut dijelaskan bahwasanya larangan untuk menyembah apa yang disembah orang
kafir. Mengandung arti larangan membenarkan kepercayaan mereka dan larangan
mempercayai bahwa ajaran mereka membawa keselamatan duniawi dan ukhrawi. Tetapi
dalam hal ini tidak menghalangi para pemeluk agama lain untuk bekerjasama dalam
ranah muamalat. Hal tersebut dilakukan guna memperbaiki nasib dalam rangka
untuk mencapai kesejahteraan materi. Mereka dapat bekerja sama untuk mengatur
kesejahteraan materi tersebut dengan menggunakan ajaran masing-masing.
Abdurrahman Wahid
menegaskan bahwa prinsip dasar dalam perbedaan yang ada (termasuk perbedaan agama), merupakan sebuah keharusan
dalam sejarah kehidupan (sunnatullah) yang sudah tertuang dalam Al-Qur’an dan
sudah digariskan dalam lauhul mahfudz.
Pendangan bahwa umat selain golongannya dianggap sebagai musuh atau
setidak-tidaknya sebagai lawan, sehingga orang dengan mudah sekali terpancing
untuk membuat kerusuhan-kerusuhan mengatas namakan agama. Hal tersebut
disebabkan oleh pendangkalan dalam kehidupan beragama, sehingga menimbulkan
pertentangan. Menyikapi masalah ini, Abdurrahman Wahid memberikan solusi,
antara lain:
Pertama, kita harus menyikapi warga masyarakat
agar tidak mudah dihasut. Sebab yang melakukan hal itu jelas bertujuan politik.
Kedua, kita harus menyadari bahwa tugas kita
sekarang memang berat, kita berhadapan dengan kenyataan campur aduknya agama dengan politik;
kehidupan beragama yang mengalami pendangkalan dan manipulasi politik atas
agama. Kalau keduanya sudah berjalan seirinng, maka masalahnya akan semakinn
ruwet. Untuk menghindarkan percampuran politisi agama di satu pihak dan
pendangkalan agama dipihak lain, maka caranya adalah; (a) mendalami pengetahuan
agama kita kembali, dan (b) menyadarkan warga bahwa hubungan antar agama itu
seharusnya dijalin atas dasar saling pengertian”.
Di lain kesempatan
Abdurrahman Wahid juga sempat mengkritik pemerintah yang selama ini belum bisa
bertindak maksimal dalam program harmonisasi antara pemeluk satu dengan yang
lainnya. Dalam ungkapannya:
Inilah yang
paling krusial bahwa kita selama ini belum pernah mempunyai program dalam skala
nasional untuk saling mengerti dan memiliki kebersamaan antar umat beragama.
Yang ada sekarang adalah program bertoleransi, bertenggang rasa. Apa yang
timbul dari istilah yang dibuat pemerintah memang betul-betul cocok keadaannya:
kerukunan umat beragama. Artinnya sekedar rukun saja. Rukun itu artinya peaceful coexistence; hidup berdampingan
secara damai- tapi saling mengerti. Padahal yang harus kita kembangkan adalah
rasa kebersamaan dan saling pengertian.
Kita bisa
menunjuk contoh dekat, umpamanya, soal pendirian gereja. Kalau ada gereja berdiri, orang-orang Islam
berteriak. Itu karena mereka tidak mengerti kenapa orang Kristen berbeda dengan
kita, kaum Muslim, yang tanpa melihat apakah dari NU, atau Muhammadiyah, Sunni,
Syiah, tentara atau sipil, ulama atau awam, bahkan maling sekalipun bisa duduk
dan shalat bersama dalam satu masjid. Orang-orang Kristen tidak bisa begitu,
mereka dibagi-bagi dalam sekte, sinoda
dan aliran-aliran yang berbeda-beda. Jadi
setiap sekian kilometer ada gereja, itu tidak aneh. Bukan karena
bersaing dengan orang Islam, tapi bersaing dengan sesama mereka sendiri.
Itu perlu
ditenangkan secara terus-menerus supaya semuanya paham. Artinya akan ada titik temu. Mau membangun gereja
atau tidak, dasarnya adalah saling mengerti dan bukan saling menolak.
Pengalamann selama ini menunjukan bahwa kalau ada pengertian semuanya tidak
akan sulit. Salah satu mengalah menurut situasi dan kondisi yang ada. Karena
itu saya menilai bahwa kita masih memerlukan adanya satu program
keseluruhan-katakanlah nasional di kalangan umat beragama untuk menyadarkan dan
meningkatkan pengertian sehingga tercapai kebersamaan antara umat beragama.
Perbedaan keyakinan tidak membatasi atau melarang
kerjasama antara Islam dan agama-agama lain, terutama dalam hal-hal yang
menyangkut kepentingan umat manusia. Penerimaan Islam akan kerjasama itu,
tentunya akan dapat terwujud dalam praktek kehidupan.
Dalam Islam sendiri
perbedaan merupakan suatu hal yang diakui, sedangkan perpecahan sangatlah
dilarang. Terlepas dengan adanya perbedaan keyakinan tidak perlu dipersamakan
secara total, karena masing-masing kepercayaan atau akidah yang dianggap benar
dan selalu harus dipertahankan oleh penganutnya.
Nurcholis Madjid
menambahkan, bahwasanya Al-Qur’an menghendaki agar fenomena lahiriyah itu tidak
mengahalangi usaha menuju titik temu antara semuanya. Dan jikapun rumusan linguistic dan verbal keyakinan keagamaan itu berbeda-beda, dapat dipastikan bahwa
eksternalisasi keimanan itu didalam dimensi sosial kemanusiaan tentu sama,
karena menyangkut kerja nyata. Maka Islam sendiri menurut Nabi yang paling baik
dinyatakan dalam aktivitas kemanusiaan seperti menolong kaum miskin, dan di
dalam mengusahakan kedamaian kepada semua orang tanpa kecuali.
Jika agama bermula pada
Tuhan yang satu, lalu turun melalui proses pembumian untuk berkomunikasi dengan
realitas manusia yang plural. Selanjutnya memunculkan agama-agama di muka bumi
ini. Maka dari itu iman kepada Tuhan yang diajarkan tiap agama sebenarnya
menjadi proses transendensi menuju hanya kepada satu Tuhan saja. Proses
transendental menembus batas-batas pluralitas agama yang mengantarkan seseorang
untuk memasuki dimensi Illahi yang meliputi segala yang ada. Pada tahap ini
agama adalah rahmatan lil’alamin, menjadi
rahmat bagi kehidupan semesta. Melahirkan sosial sebagia wujud aktual dari
keimanan suatu agama.
Menurut Abdurrahman
Wahid, manusia memiliki posisi yang tinggi dalam kosmologi, sehingga ia harus
diperlakukan secara proporsional pada posisi yang mulia.
Sebelum manusia dilahirkan dan setelah meninggalnya, dia mempunyai atau tetap
mempunyai hak-hak yang diformulasikan dilindungi secara jelas oleh hukum. Hal
ini mengingat karena individu mempunyai hak dan kemampuan untuk menggunakannya.
Allah SWT menjadikan manusia sebagai khalifah-Nya dimuka bumi, sebagaimana
dinyatakan secara eksplisit dalam Al-Qur’an.
Untuk menjalin hubungan
yang baik dan harmonis dalam keberagaman agama, Abdurrahman Wahid membangun
berdasarkan nilai-nilai Islam yang pluralistik dan humanistik. Kesadaran akan
pluralitas agama dapat menciptakan toleransi, rasa kasih terhadap sesama,
dialog antar umat beragama serta sikap saling pengertian antar sesama.
Kesadaran semacam ini dalam pandangan Abdurrahman Wahid perlu ditekankan utuk
membina kerukunan antara sesama pemeluk agama. Bagaimanapun juga satu agama
dengan agama yang lain jelas berbeda. Ia mencontohkan Kristen dan Yahudi tentu
tidak bisa menerima konsep dasar, demikian juga sebaliknya, misalnya tentang
konsep ketuhanan, sebab memang berbeda.
Selanjutnya, yang perlu
menjadi perhatian disini adalah ketika perbedaan tersebut menyebabkan
kebencian. Tentu hal ini merupakan suatu bentuk sikap yang kurang terpuji dan
tidaklah dibenarkan. Dalam dunia pendidikan, pada dasarnya agama dan keyakinan
apapun maka seorang harus tetap mengabdi kepada Tuhan. Masing-masing agama
mempunyai jalannya sendiri-sendiri tetapi tetap menuju Tuhan yang satu.
Karenannya, pemeluk suatu agama tak dapat memenangkan dirinya sendiri dan
lantas menyalahkan agama orang lain. Dengan begitu, umat Islam tidak boleh
menyebut hanya Islam yang paling benar, dengan mencaci menyalahkan agama lain,
lebih baik umat beragama bekerjasama menyelesaikan permasalahan kemanusiaan.
Dalam agama Islam
sendiri mengakui adanya agama dan keyakinan diluar agama Islam, serta mengakui
adanya identitas agama-agama selain Islam. Islam tidak memaksa pemeluk agama
lain untuk masuk Islam. Mereka dibiarkan memeluk keyakinan dan agama mereka.
Hanya saja, pengakuan Islam terhadap keberagaman agama tidak boleh dipahami
bahwa Islam juga mengakui adanya kebenaran teologis pada agama selain Islam.
Islam tetap mengajarkan bahwa agama diluar Islam adalah kesesatan, meskipun
kita diijinkan untuk hidup berdampingan di dunia ini.
Apabila pendidikan
agama dapat memenuhi fungsinya, maka pendidikan agama perlu untuk melakukan
proses transformasi nilai-nilai substansial keagamaan kepada peserta didik dan
tidak terjebak dalam simbol-simbol. Setiap pendidik agama harus mempunyai
kemampuan untuk menyampaikan dan mengaktualisasikan pesan normatif agama yang
tekstual atas dasar refleksi dan realitas sosial yang ada. Sehingga antara teks
agama dan konteks sosial itu akan selalu punya relevansi yang bisa diterima setiap
pihak.
Menurut Ki Hajar
Dewantara, tujuan pendidikan bermakna kultural. Maksudnya dikembangkan oleh
pewarisnya sehingga warisan itu berguna bagi kehidupan. Begitu pula kehidupan
agama, berusaha memampulan seseorang bukan hanya mengenal agamanya tetapi mampu
pula bertumbuh dalam imannya dan memberlakukan ajaran agama dalam hidup
sehari-hari dalam kehidupan lahir dan batin.
Abdurrahman Wahid menjelaskan
bahwasanya pendidikan di Indonesia seharusnya mendasarkan diri kepada penanaman
nilai-nilai moral yang baik kepada peserta didik sehingga hasilnya kelak akan
bermanfaat untuk mendukung upaya membangun kehidupan demokrasi di
Indonesia. Disamping itu pendidikan
bukan hanya belajar ilmu semata. Tetapi juga membuat manusia berguna bagi
masyarakat.
Seperti yang telah disebutkan diatas, maka sesungguhnya pendidikan berusaha
untuk menggali kembali prinsip-prinsip hidup yang telah lama ditinggalkan.
Prinsip-prinsip itu digali dari Al-Qur’an untuk mengaktualisasikan dalam
kehidupan sekarang dan ditanamkan dalam dunia pendidikan.
Dalam hal ini,
pendidikan Islam menanamkan sikap kebersamaan yang dibangun tanpa melihat
adanya skat-skat perbedaan yang ada. Dengan cara demikian maka pendidikan
dengan berparadigma inklusif dapat berkembang modern di era globalisasi tanpa
terbawa arus. Pendidikan inklusif berada ditengah-tengah, bisa mengambil
kemajuan yang datang dari luar dengan tetap memegang identitas keislaman dan
keindonesiaan.
Pendidikan Islam bukan
hanya sekedar membahas bagaimana individu berhubungan dengan sesama manusia
maupun dengan lingkungan sekitar. Tetapi lebih dari itu, pendidikan inklusif
menginginkan terwujudnya suatu individu yang mempunyai hubungan erat dengan
sang pencipta sehingga akan terwujud sebuah sikap seorang individu yang sholeh
secara normatif serta sholeh secara sosial.
Maka dari itu,
merupakan kepentingan dalam pendidikan Islam untuk berlaku toleran terhadap
sesama, baik itu terhadap warga Muslim sendiri ataupun non-muslim yang menjadi
lawan komunikasinya setiap hari. Dalam pendidikan inklusif menekankan untuk
memberikan kesempatan yang sama terhadap orang lain untuk mengapresiasikan
pendapat atau pikirannya mengenai sebuah permasalahan yang ada ditengah
keberagaman.
Setelah memahami
tentang arti toleransi, kerukunan beragama, serta bersikap pengertian terhadap
sesama, maka tujuan akhir dari adanya pendidikan inklusif adalah adanya
perubahan perilaku peserta didik. Oleh karena itu, maka pengajaran bukan
sekedar memberikan informasi atau mentransfer pengetahuan, tetapi berusaha
bagaimana agar inforamasi yang disampaikan itu bisa menyentuh hati peserta
didik. Sehingga peserta didik tergugah hati dan pikiran untuk berubah. Peserta
didik yang mampu menyeimbangkan antara kewajiban dia dengan sesama serta
kewajibannya dengan Khaliknya.
Jika hal itu sudah
tertanamkan dalam karakter peserta didik maka nantinya akan melahirkan seorang
individu yang mempunyai sikap sholeh dalam beragama maupun dengan masyarakat.
Dalam Islam sendiri, melalui pendidikan diharapkan dapat menciptakan seorang
pribadi yang memiliki integritas diri, mampu menggunakan imannya dalam menjawab
tantangan hidup dan mampu memanusiakan sesamanya dengan berbagai kehidupan yang
sejahtera yang dikaruniakan Allah kepada
manusia.
Dalam dunia pendidikan,
terlebih lagi pendidikan agama perlu menghubungkan nilai-nilai normatif yang
abstrak yang diterima peserta didik dengan kenyataan-kenyataan sosial yang ada.
Dengan hal itu maka peserta didik akan terdorong untuk bersikap kritis dan
bijaksana dalam menghadapi kennyataan keberagaman agama yang ada. Jika
pendidikan inklusif ini dapat memenuhi fungsinya, maka dunia pendidikan dapat
memberikan sumbangan pada penumbuhan dan pemupukan sikap toleransi antar umat
beragama serta peningkatan nilai kemanusiaan kebersamaan umat beragama dalam
menghadapi masalah-masalah sosial yang ada. Jika hal itu sudah tercapai maka
tidak menutup kemungkinan dapat meminimalisir terjadinya konflik SARA yang
kerap terjadi di negeri ini.
Selanjutnya
inklusivisme dalam pendidikan diharapkan dapat menjadi jembatan yang bisa
menghubungkan antara agama yang berbeda. Dalam kaitannya dengan bangsa
Indonesia yang multi etnik. Melalui pendidikan seperti ini nantinnya akan
terbangun suasana saling menemani dalam kehidupan beragama secara dewasa. Serta
terbentuknya suatu dialog yang memungkinkan untuk membuka wawasan-wawasan
spiritual baru tentang keagamaan dan keimanan masing-masing.
Jika dunia pendidikan
memperhatikan aspek-aspek inklusivisme dan mampu mengaplikasikannya, maka
sesungguhnya pendidikan yang seperti inilah yang akan menyiapkan peserta didik
untuk hidup a part of society, atau
bagian dari masyarakata yang sesungguhnya. Masyarakat yang heterogen secara
sosial, budaya, agama, paham keagamaan dan etnis. Namun sebaliknya, jika
pendidikan mengabaikan keragaman seperti diatas maka pendidikan justru telah
menyiapkan peserta didik untuk hidup jauh dari konteks kehidupan sosial yang
sebenarnya.
Langkah terakhir dalam
pendidikan Islam adalah perlunya penekanan pada pembentukan sikap. Selama ini
seringkali dalam pembelajaran lebih menitikberatkan pada aspek normatif sesuai
dengan standar kurikulum yang ada. Hal itu dilakukan tanpa memperkaya kurikulum
tersebut secara kontekstual sehingga memungkinkan peserta didik
menginternalisasikan dan mengaktualisasikan nilai-nilai islam dalam kehidupan
sehari-hari.
Dengan adanya
pendidikan Islam ini tidak hanya sekedar menitikberatkan pada pembentukan
pribadi-pribadi yang saleh secara normatif, tetapi juga saleh secara sosial.
Karena dalam pendidikan Islam, saleh secara sosial atau kesalehan sosial adalah
aktualisasi dari nilai-nilai yang menjadi tema utama dalam pendidikan Islam.
Kemampuan untuk mengaktualisasi nilai-nilai Islam dalam kehidupan nyata
sehari-hari dapat dilihat dari kemampuan seorang individu tersebut untuk
menjaga hubungannya dengan sesama serta hubunganya dengan Sang Pencipta.
Terkait dengan
nilai-nilai yang harus dikembangkan seperti yang telah disebutkan sebelumnya
diatas maka dalam proses pendidikan Islam perlu memperhatikan aspek-aspek
sebagai berikut:
1. Aspek
Pendidik
Pendidik atau lebih dikenal dengan istilah guru
merupakan seorang pribadi yang mempunyai kecakapan ilmu dan profesional dalam
menjalankan proses pembelajaran. Pendidik dalam hal ini mempunyai fungsi
sebagai fasilitator dan transformator gagasan dan pengetahuan dengan cara
bermakna dan membebaskan. Guru adalah pendidik profesional dengan tugas
mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi
peserta didik, pada jalur pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal,
pendidikan dasar dan pendidikan menengah. Pendidik memberikan peluang
seluas-luasnya pada peserta didik untuk berpikir kritis, kreatif dan
memproduksi pengetahuan baru. Sebagai pendidik seharusnya dapat memberikan
kebebasan pada siswa untuk berbeda pendapat dan mencari gagasan baru diluar
gagasan yang ada. Pendidik juga memberikan inspirasi kepada siswa untuk terus
berkarya dan berproses menuju sebuah kemajuan dan kesuksesan.
Dalam pandangan Abdurrahman Wahid pendidik atau guru
merupakan seorang yang menmpatkan agama sebagai nilai luhur yang membawa nilai
kebenaran, keadilan dan kesejahteraan. Pendidik dalam pandangannya pribadi yang
mengajarkan wawasan keagamaan masyarakat secara inklusif, toleran agar terwujud
persaudaraan sejati lintas pemeluk agama, ikut serta mengembangkan dialog dan
kerjasama antar agama dalam menanggulangi masalah manusia yang erat kaitannya
dengan upaya memperkuat saling pengertian dan toleransi antar iman dan agama.
Pendidik mempunyai pengaruh terhadap perubahan
tingkah laku peserta didik. Guru harus menjadi contoh yang baik bagi peserta
didik, karena pada dasarnya sebagai pendidik adalah gambaran sekelompok orang
pada suatu komunitas atau masyarakat yang diharapkan menjadi teladan yang dapat
digugu dan ditiru. Seorang pendidi sangat berpengaruh terhadap hasil belajar
yang dapat ditunjukan peserta didik. Untuk itu apabila ingin menjadi tenaga
pendidik yang profesional maka sudah seharusnya ia dapat selalu meningkatkan
wawasan pengetahuan akademis dan praktis melalui jalur pendidikan berjenjang.
Tenaga pendidik yang mengembangkan nilai-nilai Islam
inklusif adalah pendidik yang sadar akan kebebasan dan kemerdekaan. Pendidik
harus dapat memposisikan peserta didik sebagai manusia merdeka dan memiliki
potensi hingga pembelajaran memberi ruang yang seluas-luasnya. Selain itu
sebagai pendidik juga harus bisa menjadikan sesuatu yang disekelilingnya
sebagai sumber belajar atau dengan kata lain semua yang ada di dalam lingkungan
masyarakat bisa dibuat menjadi sumber belajar oleh peserta didik.
Pendidik memberikan kemerdekaan sepenuhnya pada
peserta didik untuk berkembang dan bersikap kritis sesuai dengan ajaran Islam.
Pendidik harus mampu membentuk kesadaran kritis peserta didik untuk bisa
menghargai perbedaan yang terjadi ditengah masyarakat yang majemuk. Selain itu
yang lebih penting adalah penanaman pemahaman terhadap peserta didik untuk
menghargai pluralitas dan toleransi antar umat beragama serta tidak fanatiik
pada suatu paham atau aliran tertentu dan bersikap sinis terhadap segala
perbedaan yang ada.
2. Aspek
Peserta Didik
Dilihat dari sisi kedudukannya peserta didik adalah
makhluk yang sedang berada dalam proses perkembangan dan pertumbuhan menurut
fitrohnya masing-masing. Mereka memerlukan bimbingan dan pengarahan yang
konsisten optimal menuju kearah titik optimal kemampuan fitrahnya. Namun secara
sederhana dapat didefinisikan bahwa yang dimaksud peserta didik ialah setiap
orang atau sekelompok orang, tanpa ada batasan tertentu, yang menjadi sasaran
pengaruh kegiatan pendidikan yang dilakukan oleh pendidik dalam rangka
tercapainya tujuan pendidikan.
Menurut Muhammad Joko Susilo ada kriteria tentang
seseorang dapat disebut sebagai siswa atau peserta didik yaitu manakala telah
lulus ujian seleksi, mempunyai latar belakang kultural/akademis yang kuat,
wawasan yang luas dan cukup mendalam, integritas yang dewasa dan memiliki
sifat-sifat ilmuan: objektif, kritis, analisis, integratif dan komprehensif.
Dalam paradigma pendidikan Islam yang inkulsif,
peserta didik merupakan individu yang memiliki potensi untuk berpikir kritis
dan memiliki kepedulian sosial. Bebas berpandapat dan bereksplorasi untuk
menemukan pengetahuan dengan bahasanya sendiri tanpa ada paksaan. Kemerdekaan
dan kebebasan adalah fitrah yang telah dibawa manusia sejak kehadirannya di
dunia dan oleh karena itu pendidikan harus sejalan dengan hakikat tersebut,
karena pada dasarnya manusia adalah penguasa atas hidupnya sendiri. Pendidikan
haruslah berorientasi kepada pengenalan relitas yang objektif maupun subjektif.
Karena kesadaran objektif dan subjektif adalah fungsi dialektis dalam diri
manusia sehubungan dengan kenyataan yang ada.
Pendidikan tidak dapat berjalan dengan baik tanpa
adanya kurikulum. Kurkulum dalam pendidikan Islam yang inklusif dapat terlihat
dalam dua aspek yaitu:
1. Aspek
Materi
Dalam pendidikan Islam baik formal maupun nonformal
materi yang disajikan adalah materi yang diuraikan dalam Al Qur’an. Oleh karena
itu materi pendidikan Islam yang bersumber dari Al Qur’an harus dipahami,
dihayati, diyakini dan diamalkan dalam kehidupan umat Islam. Semua jenis ilmu
yang dikembangkan para ahli pemikir Islam dari kandungan Al Qur’an dapat diklasifikasikan.
Salah satunya adalah Al Farabi yang mengklarifikasikan ilmu yang terkandung
dalam Al Qur’an menjadi ilmu bahasa, logika, sains, ilmu fisika dan metafisika
dan ilmu masyarakat. Paradigma Islam inklusif yang terkait dengan aspek materi
ilmu kemasyarakatan akan mengkaji tentang hak-hak minoritas sesuai dengan
perspektif pendidikan Islam.
Paradigma Islam inklusif kaitannya dengan pendidikan
adalah adanya bahsan khusus yang terkait dengan hak minoritas khususnya
minoritas dalam kehidupan sosial beragama. Hal itu penting karena Indonesia
adalah negara majemuk yang terdiri dari berbagai etnis, budaya, dan agama yang
berbeda. Kesadaran menghormati minoritas merupakan keharusan untuk menciptakan
kondisi yang aman dan damai sesuai ajaran agama.
Materi selanjutnya mengenai hak-hak nonmuslim karena
seperti yang telah kita ketahui bahwa di Indonesia terdapat banyak agama selain
Islam. Maka dari itu pendidikan Islam harus memberikan bahasan materi yang
terkait dengan hak-hak nonmuslim yang adil sesuai prinsip nilai humanistik
dalam Islam.
Materi lain yang tidak kalah penting adalah
kebebasan berpikir. Pendidikan Islam yang sesuai dengan nilai-nilai Islam
inklusif yaitu mengembangkan kebebasan berpikir supaya banyak ide-ide yang
muncul. Dalam hal tersebut diharapkan akan melahirkan peserta didik yang kritis
dan menghargai pluralitas. Pendidikan Islam harus bisa membuka diri atas
fenomena global yang terus berkembang dewasa ini.
2. Aspek
Evaluasi
Rangkaian terakhir dari proses pendidikan adalah
evaluasi, tak terkecuali pada proses pendidikan Islam. Berhasil atau tidaknya
pendidikan Islam dalam mencapai tujuannya dapat dilihat setelah dilakukan
evaluasi terhadap output yang
dihasilkan. Jika hasilnya sesuai dengan apa yang digariskan dalam tujuan
pendidikan Islam, maka usaha pendidikan itu dapat dinilai berhasil, tetapi jika
sebaliknya dinilai gagal. Dari sisni dapat dipahami betapa urgennya evaluasi
dalam proses pendidikan Islam.
Sesuai dengan paradigma Islam inklusif, peserta
didik mempunyai hak untuk membahasakan pengetahuan dengan bahasanya sendiri,
kritis dan terbuka terhadap perbedaan. Peserta didik adalah pribadi yang
kreatif dan mempunyai ide-ide baru untuk mengembangkan kritik terhadap
pengetahuan konvensional yang mungkin cenderung otoritatif dan doktriner. Oleh
karena itu evaluasi dilakukan tidak hanya pada peserta didik tetapi juga pada
dewan pendidik di lembaga pendidikan agar tidak ada dominasi satu sama lain.
Karena pendidikan merupakan seluruh satuan yang saling bekerjawama,
mengevaluasi, membangun untuk kepentingan bersama.
Evaluasi dalam pendidikan Islam merupakan cara atau
teknik penilaian terhadap tingkah laku peserta didik berdasar standar
perhitungan yang komprehensif dari seluruh aspek-aspek kehidupan
mental-psikologis dan spiritual-religius, melainkan juga berilmu dan
berketrampilan yang sanggup beramal dan berbakti pada Tuhan dan Masyarakatnya.
Evaluasi pendidikan Islam secara garis besar meliputi empat kemampuan dasar
peserta didik, yaitu sikap dan pengamalan pribadinya dalam hubungan dengan Tuhan,
sikap dan pengamalan dengan hubungan masyarakat, sikap dan pengamalan dengan
alam sekitar, sikap dan pengamalan terhadap dirinya sendiri selaku hamba Allah
dan anggota masyarakat serta selaku khalifah
fil ardhl.
Secara umum ada empat fungsi dalam pendidikan Islam.
Pertama dari segi pendidik, evaluasi berguna untuk membantu seorang pendidik
mengetahui sejauh mana hasil yang dicapai dalam pelaksanaan tugasnya. Kedua
dari segi peserta didik, evaluasi berguna membantu peserta didik untuk
mengembangkan tingkah lakunya secara sadar kearah yang lebih baik. Ketiga dari
segi ahli pikir pendidikan Islam, evaluasi berguna untuk membantu para pemikir
untuk mengetahui kelemahan teori-teori yang relevan dengan arus dinamika zaman
yang senantiasa berubah. Keempat dari segi politik pengambil kebijakan
pendidikan Islam, evaluasi berguna untuk membantu mereka membenahi sistem
pengawasan dan mempertimbangkan kebijakan yang akan ditetapkan dalam sistem
pendidikan Islam.
Selain
aspek manusia dan kurikulum pendidikan Islam, dalam pelaksanaannya pendidikan
Islam membutuhkan metode yang tepat untuk mengahantarkan kegiatan pendidikannya
ke arah yang ingin dicita-citakan.
Metode tidak hanya diartikan sebagai cara mengajar dalam proses pembelajaran
bagi seorang pendidik, tetapi dipandang sebagai upaya perbaikan komprehensif
dari semua elemen pendidikan sehingga menjadi sebuah iklim yang mendukung
tercapainya tujuan pendidikan.
Secara leterer metode berasal dari bahasa Greek yang
terdiri dari dua kosa kata yaitu meta yang berarti melalui dan hodos yang
berarti jalan. Jadi metode berarti jalan yang ditempuh.
Kata kunci untuk mengembangkan metode dalam pendidikan Islam inklusif adalah
sejauh mana guru memahami, mendekati dan mengembangkan siswa sebagai individu
yang memiliki potensi kekhalifahan dan potensi-potensi unik sebagai makhluk
Allah sebagai Ahsanu Taqwim dan Khalifah Fil Ardl agar bisa hidup
bersama dalam keberagaman.
Adapun terdapat
beberapa metode yang bisa dijadikan alternatif pilihan untuk mencapai tujuan
pendidikan islam seperti berikut:
a. Metode
Dialogis
Metode dialogis melahirkan sikap saling keterbukaan
antara pendidik dan peserta didik, akan mendorong untuk saling memberi dan
mengambil anatara satu sama lain dalam proses pembelajaran. Dalam penerapan
metode ini, pikiran, kemauan, perasaan dan ingatan serta pengamatan akan
terbuka terhadap ide-ide baru yang timbul dalam proses pembelajaran tersebut.
Maka terjadilah dimana manusia tidak lagi dipandang sebagai objek pendidikan
melainkan sebagai subjek dari pendidikan
itu sendiri.
b. Metode
Inovasi
Metode
inovasi dalam proses pembelajaran menjadikan manusia didik diberi pelajaran
ilmu pengetahuan baru yang dapat menarik mereka. Mereka didorong secara aktif
dan inovatif serta kreatif melalui metode menyelidiki dan menemukan fakta-fakta
pengetahuan yang baru dari lingkungan sekitar dirinya sendiri. Sehingga
pendidikan Islam tidak hanya dipahami secara formal-tekstual-lahiriyah,
terjebak dalam ibadah mahdlah (murni)
dan sifatnya teoritis, namun kurang dikaitkan dengan jiwa, makna, nilai dan
spirit terdalam dari ajaran agama untuk lebih peduli dengan persoalan
kemanusiaan lingkungan secara nyata.
c. Metode
Keteladanan
Pada
metode ini lebih menekankan melalui peniruan sebagai perubahan tingkah laku.
Artinya seorang pendidik harus bisa menjadi modeling
atau sampling bagi peserta
didiknya. Atau dengan kata lain seorang pendidik mendemonstrasikan perilaku
yang hendak dicapai peserta didik. Hal ini mmerupakan sebuah penanaman nilai
inklusifisme melalui keteladanan yang dilakukan oleh pendidik kepada peserta
didik. Selain metode diatas, Islam inklusif juga mengenal metode
inklusif-pluralis yaitu menerima
pendapat dan pemahaman agama lain yang memiliki basis ketuhanan dan
kemanusiaan. Sisi multikulturalis mengandung arti penerimaan pada ekspresi
budaya yang menghormati nilai-nilai kemanusiaan dan keindahan.
Dalam penerapannya di
Indonesia terdapat tantangan dan juga kritik terhadap pemikiran Abdurrahman
Wahid tentang nilai-nilai Islam inklusif ini. Nilai-nilai Islam inklusif
Abdurrahman Wahid pada dasarnya menampilkan sikap kepedulian yang tinggi
terhadap unsur humanisme ditengah pluralisme yang ada. Sikap yang menjunjung
tinggi nilai kemanusiaan dan hak asasi manusia ditengah perbedaan yang menjadi
skat pembatas dalam ruang lingkup bermasyarakat.
Bagi Abdurrahman Wahid
nilai-nilai kebersamaaan ditengah keberagaman merupakan sebuah kondisi yang
harus diperjuangkan agar tercipta sebuah tatanan masyarakat yang rukun, damai
dan sejahtera. Hal tersebut menjadi epistemologi serta tema penting perjuangan
Abdurrahman Wahid, baik dalam konteks keagamaan maupun sosial bermasyarakat.
Secara umum kritik terhadap nilai-nilai Islam inklusif Abdurrahman Wahid antara
lain: pertama, nilai-nilai Islam inklusif Abdurrahman Wahid lahir dari
nilai-nilai utama dalam ajaran agama Islam. Kemudian nilai-nilai itu berkembang
berkat kemajemukan kehidupan yang di alami Abdurrahman Wahid. Kehidupan yang
berawal dari lingkungan pesantren menumbuhkan sikap keteguhan dalam iman
kemudian ditambah lagi kehidupan timur yang mempunyai keragaman paham dan
ideologi setelah itu merasakan kebebasan di dunia barat. Hak itulah yang
menjadi corak pemkiran Abdurrahman Wahid. Dalam konsep Islam inklusifnya
Abdurrahman Wahid menyerukan ketertundukkan kepada Tuhan. Hal ini dikarenakan
kepatuhan pada Tuhan merupakan asas paling tinggi dalam ideologi Islam
inklusifnya. Namun disisi lain Abdurrahman Wahid memberikan penghargaan yang
tinggi terhadap martabat dan eksistensi manusia itu sendiri didunia ini. Hal
itu yang menjadikan Abdurrahman Wahid berani mempertaruhkan hidupnya untuk
menciptakan kondisi masyarakat yang humanistik.
Yang kedua sering kali
nilai-nilai Islam inklusifnya terbungkus dalam tulisan yang kurang sistematis
dan melompat-lompat. Itu dapat kita lihat dari berbagai tulisan-tulisan beliau
yang didalamnya membahas tentang nilai-nilai pluralistik dan humanistik, namun
belum tuntas pengupasanya terkadang masuk kedalam ranah lain seperti ranah
politik misalnya. Hal tersebut seringkali menjadikan pembaca kurang bisa
memahami arah dari pemikiran seorang Abdurrahman Wahid sebagai pemuka agama
atau sebagai negarawan.
Yang ketiga yang
menjadi kritik terhadap sosok Abdurrahman Wahid adalah sikap konsistensinya.
Abdurrahman Wahid yang dikenal dengan sikap penanaman nilai-nilai Islam
inklusif namun atas dasar itu pula beliau seringkali terlihat keras, otoriter
dan mungkin menjadi kontroversi di masyarakat. Hal tersebut seolah manjadi
paradigma yang bertolak belakang dengan nilai-nilai Islam inklusifnya yang
beliau perjuangkan. Namun setelah berjalannya waktu masyarakat akan bisa
belajar memahami arah pemikiran seorang Abdurrahman Wahid.
Adapun beberapa kritik
terhadap Abdurrahman Wahid tidak akan mengurangi sikap kritisnya dalam
memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan ditengah berbagai kergaman yang ada di
Indonesia. Melalui tulisan ini penulis berharap dapat memberikan sumbangan
filosofis berangkat dari nilai-nilai Islam inklusif Abdurrahman Wahid melalui
pendidikan Islam agar dapat melahirkan generasi yang mempunyai keteguhan iman
yang terpancar dari soleh normatifnya serta kearifan terhadap sesama manusia
yang diwujudkan dalam sikap soleh sosial. Jika hal tersebut dapat tercapai maka
bukan lagi tidak mungkin untuk bisa mewujudkan kehidupan masyarakat yang
harmonis ditengah perbedaan yang ada di negeri ini.